Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-32, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Hadits ini membahas tafsir QS. Al-An'am ayat 83, khususnya istilah zalim pada ayat itu. Para sahabat mengkhawatirkan diri mereka terancam keimanannya karena sadar bahwa tidak seorang pun suci dari perbuatan zalim. Kemudian dijelaskanlah kepada mereka apa "zalim" yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Karenanya, pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-32 ini kita beri judul "Syirik adalah Kezaliman Terbesar".
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-32:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?" Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"
Penjelasan Hadits
Jika sebelumnya, seluruh hadits mulai dari hadits ke-1 hingga hadits ke-31 kita mendapati matan (redaksi) nya berbentuk hadits qauli (perkataan Rasulullah), hadits fi'li (perbuatan Rasulullah yang diceritakan oleh sahabat), atau gabungan keduanya; maka pada hadits ke-32 ini seakan-akan kita tidak melihat matan hadits ini dinisbatkan kepada Rasulullah, baik secara perkataan maupun perbuatan.
Secara tekstual matan hadits di atas menjelaskan perbuatan para sahabat. Hadits semacam ini lebih dikenal dengan istilah atsar. Namun yang perlu diingat, setiap atsar yang terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup (perkataan atau perbuatan sahabat itu diketahui Rasulullah), lalu Rasulullah SAW mendiamkannya, maka diamnya Rasulullah SAW itu merupakan taqrir (persetujuan). Selain hadits qauli dan hadits fi'li, hadits taqriri merupakan jenis ketiga.
Kembali ke hadits ke-32 ini, sebenarnya ada hadits lain yang hampir sama namun matannya berbeda. Diantaranya adalah hadits ke-3360. Ketika kita bertemu hadits itu, kita akan mendapati di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjawab kekhawatiran mereka dengan mengingatkan pada QS. Luqman ayat 13.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?"
Perhatikanlah hadits ini! Demikianlah para sahabat mengkhawatirkan keimanan mereka. Ada sikap khauf yang sangat besar pada diri para sahabat, sebagaimana mereka juga memiliki sikap raja' yang juga besar. Kehati-hatian para sahabat inilah yang membedakannya dengan generasi kita sekarang.
Para sahabat, meskipun mereka adalah mukmin terbaik, mereka tetap khawatir terjadi sesuatu dengan iman mereka. Sementara generasi kita saat ini, ada yang sedemikian 'yakin' bahwa imannya tak akan goyah hingga mengatakan "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."
Maka ketika turun ayat ke-82 surat Al-An'am :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An'am : 82)
Para sahabat bersedih. " أَيُّنَا لَمْ يَظْلِم ْ" (siapakah yang tidak berbuat zalim?). Pertanyaan ini mengisyaratkan kekhawatiran para sahabat kalau-kalau mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan dari Allah dan tidak mendapat petunjuk dariNya karena sangat berat menjadi orang yang benar-benar bersih dari zhulmun (perbuatan zalim).
Lihatlah di sini. Bukankah para sahabat tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang suci. Para sahabat tidak menyatakan bahwa diri mereka bebas dari kesalahan. Lalu mengapa kita yang bukan siapa-siapa merasa sebagai orang bersih dan suci?
Pertanyaan sahabat itu juga mengindikasikan bahwa mereka memahami kata "dhulm" pada ayat di atas sebagai kezaliman secara umum. Kezaliman yang berarti meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia, zalim disepadankan dengan kata aniaya. Di sini kekhawatiran para sahabat mendapatkan pembenarannya. Bukankah tidak memenuhi hak diri sendiri (baik jasadiyah, fikriyah maupun ruhiyah) dengan tepat adalah zalim; zalim terhadap diri sendiri? Bukankah tidak memenuhi hak istri dengan sempurna juga bisa dikatakan zalim? Bukankah tidak memenuhi hak anak dan orang tua dengan semestinya juga bisa disebut zalim? Makna zalim secara umum yang semula dipahami sahabat saat itu juga mendapatkan alasan karena kata "zhulmun" pada ayat di atas dalam bentuk nakirah (indefinitif).
"Menurut pendapatku," tulis Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, "para sahabat menafsirkan kata 'zhulmun' secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat lainnya, hal ini juga sebagaimana dikehendaki oleh Imam Bukhari."
يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"
Inilah tafsir ayat QS. Al-An'am : 82 itu. Bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik (mempersekutukan Allah SWT). Dan inilah langkah pertama dalam metode tafsir bil ma'tsur; menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat lain yang menjelaskannya.
Dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa setelah mengetahui bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik, para sahabat menjadi tenang; kesedihannya hilang.
Lalu bagaimana kita mengkorelasikan hadits ini dengan hadits yang lain? Pada hadits ini para sahabat mengetahui tafsirnya setelah diturunkan QS. Luqman ayat 13, sedangkan pada hadits yang lain Rasulullah mengingatkan mereka pada ayat tersebut. Di sini dapat disimpulkan bahwa sesudah QS. Al-An'am : 82 turunlah QS. Luqman : 13. Lalu Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan ayat tersebut sebagai tafsirnya.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah menjadikan keimanan dan permasalahan akhirat sebagai orientasi hidup mereka. Maka kesedihan maupun ketenangan hidupnya selalu didasarkan pada kondisi iman;
2. Para sahabat memiliki sikap khauf (takut kepada Allah, mengkhawatirkan akhiratnya) yang sangat besar;
3. Para sahabat tidak menganggap (mengklaim) diri mereka bersih dan suci dari semua kesalahan/kezaliman dalam maknanya yang umum;
4. Segala hal yang tidak benar dan tidak tepat menurut syariat bisa disebut zalim. Maka baik syirik maupun perbuatan maksiat, semuanya masuk dalam istilah zalim secara umum;
5. Kata "zhulmun" dalam QS. Al-An'am ayat 82 maknanya adalah syirik;
6. Syirik adalah kezaliman terbesar;
7. Iman dan syirik (besar) tidak mungkin berkumpul dalam diri seseorang.
Demikian hadits ke-32 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kezaliman terbesar yaitu syirik serta kezaliman secara umum yaitu segala perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
KEMBALI KE HADITS 31
Hadits ini membahas tafsir QS. Al-An'am ayat 83, khususnya istilah zalim pada ayat itu. Para sahabat mengkhawatirkan diri mereka terancam keimanannya karena sadar bahwa tidak seorang pun suci dari perbuatan zalim. Kemudian dijelaskanlah kepada mereka apa "zalim" yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Karenanya, pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-32 ini kita beri judul "Syirik adalah Kezaliman Terbesar".
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-32:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?" Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"
Penjelasan Hadits
Jika sebelumnya, seluruh hadits mulai dari hadits ke-1 hingga hadits ke-31 kita mendapati matan (redaksi) nya berbentuk hadits qauli (perkataan Rasulullah), hadits fi'li (perbuatan Rasulullah yang diceritakan oleh sahabat), atau gabungan keduanya; maka pada hadits ke-32 ini seakan-akan kita tidak melihat matan hadits ini dinisbatkan kepada Rasulullah, baik secara perkataan maupun perbuatan.
Secara tekstual matan hadits di atas menjelaskan perbuatan para sahabat. Hadits semacam ini lebih dikenal dengan istilah atsar. Namun yang perlu diingat, setiap atsar yang terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup (perkataan atau perbuatan sahabat itu diketahui Rasulullah), lalu Rasulullah SAW mendiamkannya, maka diamnya Rasulullah SAW itu merupakan taqrir (persetujuan). Selain hadits qauli dan hadits fi'li, hadits taqriri merupakan jenis ketiga.
Kembali ke hadits ke-32 ini, sebenarnya ada hadits lain yang hampir sama namun matannya berbeda. Diantaranya adalah hadits ke-3360. Ketika kita bertemu hadits itu, kita akan mendapati di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjawab kekhawatiran mereka dengan mengingatkan pada QS. Luqman ayat 13.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ
Perhatikanlah hadits ini! Demikianlah para sahabat mengkhawatirkan keimanan mereka. Ada sikap khauf yang sangat besar pada diri para sahabat, sebagaimana mereka juga memiliki sikap raja' yang juga besar. Kehati-hatian para sahabat inilah yang membedakannya dengan generasi kita sekarang.
Para sahabat, meskipun mereka adalah mukmin terbaik, mereka tetap khawatir terjadi sesuatu dengan iman mereka. Sementara generasi kita saat ini, ada yang sedemikian 'yakin' bahwa imannya tak akan goyah hingga mengatakan "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."
Maka ketika turun ayat ke-82 surat Al-An'am :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An'am : 82)
Para sahabat bersedih. " أَيُّنَا لَمْ يَظْلِم ْ" (siapakah yang tidak berbuat zalim?). Pertanyaan ini mengisyaratkan kekhawatiran para sahabat kalau-kalau mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan dari Allah dan tidak mendapat petunjuk dariNya karena sangat berat menjadi orang yang benar-benar bersih dari zhulmun (perbuatan zalim).
Lihatlah di sini. Bukankah para sahabat tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang suci. Para sahabat tidak menyatakan bahwa diri mereka bebas dari kesalahan. Lalu mengapa kita yang bukan siapa-siapa merasa sebagai orang bersih dan suci?
Pertanyaan sahabat itu juga mengindikasikan bahwa mereka memahami kata "dhulm" pada ayat di atas sebagai kezaliman secara umum. Kezaliman yang berarti meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia, zalim disepadankan dengan kata aniaya. Di sini kekhawatiran para sahabat mendapatkan pembenarannya. Bukankah tidak memenuhi hak diri sendiri (baik jasadiyah, fikriyah maupun ruhiyah) dengan tepat adalah zalim; zalim terhadap diri sendiri? Bukankah tidak memenuhi hak istri dengan sempurna juga bisa dikatakan zalim? Bukankah tidak memenuhi hak anak dan orang tua dengan semestinya juga bisa disebut zalim? Makna zalim secara umum yang semula dipahami sahabat saat itu juga mendapatkan alasan karena kata "zhulmun" pada ayat di atas dalam bentuk nakirah (indefinitif).
"Menurut pendapatku," tulis Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, "para sahabat menafsirkan kata 'zhulmun' secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat lainnya, hal ini juga sebagaimana dikehendaki oleh Imam Bukhari."
يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Inilah tafsir ayat QS. Al-An'am : 82 itu. Bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik (mempersekutukan Allah SWT). Dan inilah langkah pertama dalam metode tafsir bil ma'tsur; menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat lain yang menjelaskannya.
Dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa setelah mengetahui bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik, para sahabat menjadi tenang; kesedihannya hilang.
Lalu bagaimana kita mengkorelasikan hadits ini dengan hadits yang lain? Pada hadits ini para sahabat mengetahui tafsirnya setelah diturunkan QS. Luqman ayat 13, sedangkan pada hadits yang lain Rasulullah mengingatkan mereka pada ayat tersebut. Di sini dapat disimpulkan bahwa sesudah QS. Al-An'am : 82 turunlah QS. Luqman : 13. Lalu Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan ayat tersebut sebagai tafsirnya.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah menjadikan keimanan dan permasalahan akhirat sebagai orientasi hidup mereka. Maka kesedihan maupun ketenangan hidupnya selalu didasarkan pada kondisi iman;
2. Para sahabat memiliki sikap khauf (takut kepada Allah, mengkhawatirkan akhiratnya) yang sangat besar;
3. Para sahabat tidak menganggap (mengklaim) diri mereka bersih dan suci dari semua kesalahan/kezaliman dalam maknanya yang umum;
4. Segala hal yang tidak benar dan tidak tepat menurut syariat bisa disebut zalim. Maka baik syirik maupun perbuatan maksiat, semuanya masuk dalam istilah zalim secara umum;
5. Kata "zhulmun" dalam QS. Al-An'am ayat 82 maknanya adalah syirik;
6. Syirik adalah kezaliman terbesar;
7. Iman dan syirik (besar) tidak mungkin berkumpul dalam diri seseorang.
Demikian hadits ke-32 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kezaliman terbesar yaitu syirik serta kezaliman secara umum yaitu segala perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
KEMBALI KE HADITS 31
Untuk membuka seluruh hadits dengan mudah melalui DAFTAR ISI, silahkan klik
KUMPULAN HADITS SHAHIH BUKHARI
KUMPULAN HADITS SHAHIH BUKHARI
0 comments:
Post a Comment