Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Izinkan Aku Menjadi Sepertimu

Written By mimin on Sunday, November 3, 2013 | 3:00 AM

Pemuda baca Qur'an (foto Antara)
Aku bukanlah seorang yang shaleh. Agama adalah sesuatu yang memang dekat denganku namun tabu. Tabu karena aku kurang memahaminya. Aku hanya menjadikannya sebagai penghias kehidupan dan cenderung meremehkan. Bahkan dahulu, aku dan kawan-kawan masih sering bermain-main dengan shalat kami. Kami saling ‘menguji iman’ dengan saling membuat tertawa saat sedang shalat, seperti tidak takut dengan Allah saja. Akan tetapi, saat bertemu dengannya, ada sebuah cahaya yang menjadi penerang dan mengikis kegelapan secara perlahan. Bak mentari yang terbit di tengah malam yang sunyi.

Dari sana semua bermula. Pertemuan sekilas yang menimbulkan kesan mendalam di hatiku. Beliau bangun ikatan dengan sebuah senyuman, bukan dengan banyak bicara atauun ribuan untaian kata. Dan kelak, ikatan inilah yang membuat kami betah dalam lingkaran cinta ini. Dan mungkin, ikatan ini masih berbekas dihati-hati kami meski kami telah jauh. Sekarang, kita bisa namai ikatan ini dengan ikatan ukhuwah. Dan sejak saat itu pula, aku mulai mengaguminya.

Pembawaan beliau dalam lingkaran itu tidak begitu spesial. Kami yang begitu mendominasi. Bahkan, saat menyampaikan materi, beliau banyak bertanya kepada kami seakan menguji, namun kami tidak merasa diuji. Beliau mampu menghidupkan suasana sehingga kami yang tidak terlalu mengerti Islam ini menjadi tertarik. Beliau membuat Islam menjadi bahasan yang menarik dan tidak menakutkan. Suatu yang kusadar sangat amat sulit untuk diciptakan.

“Memang seperti apa kehidupan masyarakat minoritas Islam di Eropa itu ?” Tanyanya penuh keingintahuan ketika salah seorang temanku menceritakan buku yang pernah dibacanya.

Begitulah cara beliau mengisi sesi sharing dalam lingkaran kecil kami. Beliau memang pembimbing kami namun senantiasa menghargai pengetahuan kami. Jika tidak tahu, beliau cenderung mengemukakan dan menanyakan kepada kami. Inilah yang membuat kami yang berguru, tidak merasa digurui. Membuat lingkaran itu benar-benar seperti tempat berbagi. Berbeda dengan kebanyakan yang senantiasa mengatakan tempat berbagi, namun ternyata dialah yang mendominasi. Beliau tidak banyak berbasa-basi, namun langsung kepada inti. Tidak banyak bicara, tapi langsung melakukan tindakan nyata. Meskipun kami tahu, ilmu beliau berada pada level yang amat jauh dari kami.

Aku tahu bahwa beliau bukan berasal dari keluarga yang mumpuni. Bahkan banyak konflik kekeluargaannya yang senantiasa menghiasi. Tapi beliau senantiasa tegar. Beliau selalu terlihat teguh. Kita yang mengenalnya tidak akan pernah menyangka bahwa ada berbagai konflik yang beliau hadapi. Mungkin kita tidak akan menyangka bahwa konflik-konflik yang kita lihat di sinetron itu benar-benar terjadi di dunia nyata. Ya, itulah yang kurang lebih beliau hadapi. Namun, beliau senantiasa menebarkan manfaat dan kebaikan hingga kami tidak pernah menyangkanya, hingga merasa nyaman berada didekatnya. Beliau tidak pernah terlihat mengeluh. Bahkan beliau senantiasa memotivasi, saat kami sedang lelah.

“Besar pahala-Nya sesuai dengan kadar lelahmu” begitu tulisnya di message handphone milikku.

Saat itu aku telah melewati agenda dakwah yang begitu padat. Kami sedang mengobrol ringan tentang dakwah hingga tanpa sadar aku terlelap begitu saja karena lelah. Saat bangun dan melihat handphone, tulisan itulah yang muncul. Sebuah cara memotivasi yang belum pernah kutemukan dimanapun. Heran rasanya kenapa beliau tidak berbicara langsung, memotivasi langsung saat kami sedang mengobrol. Kenapa beliau menulisnya di handphone padahal amat mudah berbicara langsung karena kami tinggal di bawah atap yang sama? Tapi akhirnya kusadar, terlalu banyak berbicara itu terkadang memuakkan hingga meskipun kebaikan yang kita sampaikan, kadang tak terdengar. Cara sederhana seperti itulah yang justru dapat menyentuh hati, meneguhkan jiwa serta menyegarkan kembali semangat untuk tetap berkontribusi di jalan ini. Motivasi sederhana yang masih kuingat hingga sekarang.

Namun aku tahu, mengagumi seorang sosok manusia tidaklah selalu tepat karena kita punya teladan yang telah sempurna. Terlalu terpaku pada suatu sosok adalah kesalahan karena sesungguhnya ia dapat menjadikan kita lemah saat tahu ia melakukan kesalahan. Padahal, manusia senantiasa melakukan kesalahan. Saat menjelang perpisahan kami, beliau pernah menyampaikan motivasi beliau dakwah di kampus ini. Beliau ingin dapat meninggalkan jejak berupa kisah yang senantiasa dapat memotivasi kami yang akan mengemban dakwah dikampus ini sebagaimana para pendahulu-pendahulu yang selalu beliau ceritakan kehebatannya. Tapi memang begitulah beliau, selalu membesarkan orang lain tanpa sadar bahwa beliau sebenarnya lebih hebat dari apa yang beliau ceritakan itu.

Dahulu, aku sering membanding-bandingkan amanah, akademik, dan banyak hal dengan beliau. Hanya karena aku sangat ingin melampau beliau. Namun, aku selalu berada di bawahnya, aku selalu kalah. Karena tidak mungkin aku melampauimu, maka izinkanlah, aku menjadi sepertimu. Seorang yang senantiasa ceria, selalu teguh, hobi memberi manfaat. Sosok yang selalu mengedepankan Al-qur’an dan sunnah, pandai memelihara cinta serta selalu bergerak tanpa banyak berkata-kata.

Namun kutahu, tidak boleh mengagumi seseorang secara berlebihan. Aku sadar bahwa tidak boleh ada sosok lain yang mesti dikagumi diatas rasulullah SAW. Karena itu, jika aku memang tidak boleh menjadi sepertimu, maka semoga Allah mengizinkan agar kita bisa tinggal seatap lagi di syurga-Nya. Terimakasih kak. 

Penulis : Siectio Dicko Pratama
Jakarta Timur

Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)

0 comments:

Post a Comment