Perjalanan hidup seseorang adalah satu dari sekian banyaknya misteri dalam kehidupan di dunia ini. Mereka yang terlahir dalam Islam, belum tentu mati dalam keadaan muslim. Sementara itu, orang yang bergelimang dalam kubangan dosa, jika Allah Berkehendak, maka bisa jadi, orang tersebut bertaubat sebelum Izroil datang menjemput. Oleh karena itu, kita harus selalu berupaya untuk mencari kebenaran hakiki, hingga maut mengetuk pintu kehidupan kita.
Hal inilah, yang saya fahami dari perjalanan hidup seorang teman. Sebut saja namanya Fahri. Kini, usianya sudah menjelang 40 tahun, satu istri dan empat anak. Petualangannya mencari kebenaran, terbilang unik. Apalagi, pria berbadan ideal yang piawai dalam mengola kulit bundar ini, pernah lama tergabung dalam kader LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Sebuah lembaga yang pernah difatwakan sesat oleh Majlis Ulama’ Indonesia.
Dari kisahnya yang dituturkan tempo hari, akhirnya kita bisa menelisik lebih dalam tentang pola organisasi dan pengkaderan lembaga yang sudah berkali-kali menganti namanya ini, tanpa harus terjun di dalamnya.
“Ibu saya itu, anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dari ketujuh bersaudara itu, Ibulah satu-satunya anggota keluarga yang bergabung dalam kader dan pengurus LDII,” ujarnya, mengawali kisah, seraya menerawang ke langit-langit bangunan tempat kami bercakap-cakap.
“Ibu memiliki tujuh anak juga, Mas. Semuanya dikader oleh beliau di LDII. Saya termasuk di dalamnya. Namun, lantaran satu dan banyak sebab, saya menjadi satu-satunya anak ibu yang keluar dari LDII, dengan terhormat,” lanjutnya, diiringi tawa ketika menyebut kata ‘terhormat’ pada akhir kalimatnya itu.
“Di LDII, saya masuk dalam jajaran petinggi, Mas. Tapi saya lebih suka bermain di balik layar. Jadi, hampir semua kader LDII di kota ini, insya Allah mengenal saya,” Fahri melanjutkan tuturnya, dengan bersemangat.
“Apalagi, saya tergabung dalam klub sepak bola binaan LDII. Jadi -selain memiliki kelompok-kelompok kajian untuk kader-kadernya- mereka juga mempunyai klub olahraga. Bahkan, dalam jajaran pengurus, mereka memiliki jabatan-jabatan sampai tingkat koordinator desa hingga ke RW.” Kisah lelaki berambut panjang ini, selalu menarik untuk dicermati, lantaran mata, dan anggota badannya turut berbicara.
“Di tingkat keluarga, hampir semua anak kader pasti ikut pembinaan di kajian itu. Yang dibahas, adalah al-Qur’an dan aneka jenis kitab hadits. Serta, sebuah kitab khusus yang ditulis oleh pendiri LDII yang kita sebut dengan Imam. Nah, dalam tingkat ketaatan dengan imam LDII ini, saya menemukan banyak cela hingga akhirnya saya menemukan banyak kejanggalan.” Ceritanya makin seru, semakin banyak data yang dia ungkap, dengan gamblang.
“Salah satu contoh, dalam kajian tersebut, mereka selalu menyebut kaum muslimin yang tidak ikut bai’at (janji setia) terhadap Imam LDII dengan sebutan kafir. Di sini, hati saya memberontak. Mereka dengan mudah mengkafirkan orang lain, padahal Nabi juga tidak berlaku demikian.” Diam-diam, dia yang hobi main musik ini, ternyata memiliki kedalaman pemahaman tentang Islam juga.
“Kan gak logis, tho Mas? Jadi semua yang gak dibai’at itu dianggap kafir. Meskipun saudara dan anggota keluarganya sendiri. Ketika itu, saya belum berani keluar, dengan banyak pertimbangan, dan saya harus memenangkan dialog di hati saya ini dulu, hehe,” ujar pria penyuka klub sepak bola asal Jerman itu.
Ia melanjutkan kisah, dengan semangat baja. Hingga akhirnya, dia mencintai seorang wanita yang bukan angota LDII. Dilema tentunya. Karena menikah dengan bukan anggota LDII, bermakna bahwa dia harus keluar dari organisasi itu atau mengajak pasangannya untuk bergabung.
Lantas, atas usul dari sang ibu, syarat yang harus dipenuhi adalah agar wanita calon istrinya itu, mengikuti kajian di LDII. Lantaran cinta yang tak kenal rintangan, dilakukanlah upaya itu. Fahri mengajak wanita tersebut untuk mengaji di LDII, sebelum mereka akhirnya menikah. Wanita calon istrinya ini merupakan anak kader Muhammadiyah. Dimana di dalam keluarganya, selalu mengedepankan keterbukaan, dan teliti dalam setiap pengamalan ajaran Islam yang dianutnya.
Karena Allah, menikahlah dua pasangan ini, “Alhamdulillah, akhirnya kami menikah. Misi awal saya, mengajak agar istri bergabung dalam gerbong LDII.”
“Tapi, perjalanan hidup memang tidak ada yang tahu, Mas. Apalagi, keraguan saya semakin menumpuk, dan saya sering diajak diskusi dengan mertua yang sangat faham tentang Islam. Sayangnya, sekarang ini, mertua saya sudah wafat.” Semangatnya mendadak meredup ketika menyebut kepergian mertua yang dia sayangi itu.
“Hal lain yang membuat saya ragu, bahwa di LDII, kalau shalat harus diimami oleh sesama orang LDII. Makanya, setiap Jum’at, mereka tak pernah shalat Jum’at berjama’ah di masjid kaum muslimin. Mereka selalu mengadakan sholat sendiri di masjid mereka. Meskipun tempatnya jauh, sementara di sampingnya ada masjid yang mengadakan shalat Jum’at berjama’ah juga.” Ia kembali membeberkan sebab-sebab yang melahirkan keraguannya terhadap lembaga yang dulu pernah bernama LEMKARI ini.
“Ketika itu, saya bertanya, ‘Berarti kalau kita ikut jama’ah haji, shalatnya gak sah dong? Kan imam di sana bukan orang LDII? Atau, kita harus sholat sendiri-sendiri dengan meninggalkan keutamaan shalat berjama’ah?’” pertanyaan ini, tak bisa dijawab oleh ustadznya di LDII kala itu.
“Alhamdulillahnya, atas izin Allah, setelah menimbang masak-masak dan hasil dari perenungan saya, akhirnya saya memilih untuk keluar. Istri juga saya ajak keluar, Mas.” Jadi, inilah satu diantara banyaknya keanehan dalam hidup ini. Ia yang awalnya mempunyai misi menjadikan istrinya sebagai kader LDII, selepas menikah, justru dialah yang kembali mengeluarkan istrinya dari organisasi berlambang pohon beringin dan timbangan itu. Unik, tapi begitulah kehidupan.
“Untungnya, saya ini bukan tipe pendakwah, mas. Jadi saya tidak menyebarkan cerita-cerita ini kepada khalayak secara umum. Sehingga, saya aman. Tidak pernah dimata-matai ataupun diteror. Sehingga, sampai sekarang pun, saya tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga dan sahabat-sahabat saya di LDII.” Pasalnya, banyak mantan kader LDII yang harus menghadapi perlakuan tak mengenakan lantaran ‘murtad’ dari organisasinya itu.
Ceritapun berakhir, di senja yang menyemburatkan semangat itu, “Doakan saya, Mas. Agar saya istiqomah dan selalu dalam lindungan Allah. Saya berharap, semoga keluarga saya segera mendapat hidayah dan kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.”
Kami pun mengakhiri kisah dengan saling menjabat tangan, melempar senyum dan mengucap salam sambil berpamitan. Sungguh, dalam setiap jenak kehidupan, selalu ada kisah yang bisa menguatkan pijakan kita di jalan yang Allah ridhoi. Tentu, bagi siapa yang mau mengambil pelajaran dan tak lelah untuk terus memperbaiki diri. Semoga kisah ini, membuat kita semakin waspada, bahwa setan, tak kan pernah berhenti menggoda, hingga ajal menjemput kita.
Semoga kita istiqomah, hingga mati. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Hal inilah, yang saya fahami dari perjalanan hidup seorang teman. Sebut saja namanya Fahri. Kini, usianya sudah menjelang 40 tahun, satu istri dan empat anak. Petualangannya mencari kebenaran, terbilang unik. Apalagi, pria berbadan ideal yang piawai dalam mengola kulit bundar ini, pernah lama tergabung dalam kader LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Sebuah lembaga yang pernah difatwakan sesat oleh Majlis Ulama’ Indonesia.
Dari kisahnya yang dituturkan tempo hari, akhirnya kita bisa menelisik lebih dalam tentang pola organisasi dan pengkaderan lembaga yang sudah berkali-kali menganti namanya ini, tanpa harus terjun di dalamnya.
“Ibu saya itu, anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dari ketujuh bersaudara itu, Ibulah satu-satunya anggota keluarga yang bergabung dalam kader dan pengurus LDII,” ujarnya, mengawali kisah, seraya menerawang ke langit-langit bangunan tempat kami bercakap-cakap.
“Ibu memiliki tujuh anak juga, Mas. Semuanya dikader oleh beliau di LDII. Saya termasuk di dalamnya. Namun, lantaran satu dan banyak sebab, saya menjadi satu-satunya anak ibu yang keluar dari LDII, dengan terhormat,” lanjutnya, diiringi tawa ketika menyebut kata ‘terhormat’ pada akhir kalimatnya itu.
“Di LDII, saya masuk dalam jajaran petinggi, Mas. Tapi saya lebih suka bermain di balik layar. Jadi, hampir semua kader LDII di kota ini, insya Allah mengenal saya,” Fahri melanjutkan tuturnya, dengan bersemangat.
“Apalagi, saya tergabung dalam klub sepak bola binaan LDII. Jadi -selain memiliki kelompok-kelompok kajian untuk kader-kadernya- mereka juga mempunyai klub olahraga. Bahkan, dalam jajaran pengurus, mereka memiliki jabatan-jabatan sampai tingkat koordinator desa hingga ke RW.” Kisah lelaki berambut panjang ini, selalu menarik untuk dicermati, lantaran mata, dan anggota badannya turut berbicara.
“Di tingkat keluarga, hampir semua anak kader pasti ikut pembinaan di kajian itu. Yang dibahas, adalah al-Qur’an dan aneka jenis kitab hadits. Serta, sebuah kitab khusus yang ditulis oleh pendiri LDII yang kita sebut dengan Imam. Nah, dalam tingkat ketaatan dengan imam LDII ini, saya menemukan banyak cela hingga akhirnya saya menemukan banyak kejanggalan.” Ceritanya makin seru, semakin banyak data yang dia ungkap, dengan gamblang.
“Salah satu contoh, dalam kajian tersebut, mereka selalu menyebut kaum muslimin yang tidak ikut bai’at (janji setia) terhadap Imam LDII dengan sebutan kafir. Di sini, hati saya memberontak. Mereka dengan mudah mengkafirkan orang lain, padahal Nabi juga tidak berlaku demikian.” Diam-diam, dia yang hobi main musik ini, ternyata memiliki kedalaman pemahaman tentang Islam juga.
“Kan gak logis, tho Mas? Jadi semua yang gak dibai’at itu dianggap kafir. Meskipun saudara dan anggota keluarganya sendiri. Ketika itu, saya belum berani keluar, dengan banyak pertimbangan, dan saya harus memenangkan dialog di hati saya ini dulu, hehe,” ujar pria penyuka klub sepak bola asal Jerman itu.
Ia melanjutkan kisah, dengan semangat baja. Hingga akhirnya, dia mencintai seorang wanita yang bukan angota LDII. Dilema tentunya. Karena menikah dengan bukan anggota LDII, bermakna bahwa dia harus keluar dari organisasi itu atau mengajak pasangannya untuk bergabung.
Lantas, atas usul dari sang ibu, syarat yang harus dipenuhi adalah agar wanita calon istrinya itu, mengikuti kajian di LDII. Lantaran cinta yang tak kenal rintangan, dilakukanlah upaya itu. Fahri mengajak wanita tersebut untuk mengaji di LDII, sebelum mereka akhirnya menikah. Wanita calon istrinya ini merupakan anak kader Muhammadiyah. Dimana di dalam keluarganya, selalu mengedepankan keterbukaan, dan teliti dalam setiap pengamalan ajaran Islam yang dianutnya.
Karena Allah, menikahlah dua pasangan ini, “Alhamdulillah, akhirnya kami menikah. Misi awal saya, mengajak agar istri bergabung dalam gerbong LDII.”
“Tapi, perjalanan hidup memang tidak ada yang tahu, Mas. Apalagi, keraguan saya semakin menumpuk, dan saya sering diajak diskusi dengan mertua yang sangat faham tentang Islam. Sayangnya, sekarang ini, mertua saya sudah wafat.” Semangatnya mendadak meredup ketika menyebut kepergian mertua yang dia sayangi itu.
“Hal lain yang membuat saya ragu, bahwa di LDII, kalau shalat harus diimami oleh sesama orang LDII. Makanya, setiap Jum’at, mereka tak pernah shalat Jum’at berjama’ah di masjid kaum muslimin. Mereka selalu mengadakan sholat sendiri di masjid mereka. Meskipun tempatnya jauh, sementara di sampingnya ada masjid yang mengadakan shalat Jum’at berjama’ah juga.” Ia kembali membeberkan sebab-sebab yang melahirkan keraguannya terhadap lembaga yang dulu pernah bernama LEMKARI ini.
“Ketika itu, saya bertanya, ‘Berarti kalau kita ikut jama’ah haji, shalatnya gak sah dong? Kan imam di sana bukan orang LDII? Atau, kita harus sholat sendiri-sendiri dengan meninggalkan keutamaan shalat berjama’ah?’” pertanyaan ini, tak bisa dijawab oleh ustadznya di LDII kala itu.
“Alhamdulillahnya, atas izin Allah, setelah menimbang masak-masak dan hasil dari perenungan saya, akhirnya saya memilih untuk keluar. Istri juga saya ajak keluar, Mas.” Jadi, inilah satu diantara banyaknya keanehan dalam hidup ini. Ia yang awalnya mempunyai misi menjadikan istrinya sebagai kader LDII, selepas menikah, justru dialah yang kembali mengeluarkan istrinya dari organisasi berlambang pohon beringin dan timbangan itu. Unik, tapi begitulah kehidupan.
“Untungnya, saya ini bukan tipe pendakwah, mas. Jadi saya tidak menyebarkan cerita-cerita ini kepada khalayak secara umum. Sehingga, saya aman. Tidak pernah dimata-matai ataupun diteror. Sehingga, sampai sekarang pun, saya tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga dan sahabat-sahabat saya di LDII.” Pasalnya, banyak mantan kader LDII yang harus menghadapi perlakuan tak mengenakan lantaran ‘murtad’ dari organisasinya itu.
Ceritapun berakhir, di senja yang menyemburatkan semangat itu, “Doakan saya, Mas. Agar saya istiqomah dan selalu dalam lindungan Allah. Saya berharap, semoga keluarga saya segera mendapat hidayah dan kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.”
Kami pun mengakhiri kisah dengan saling menjabat tangan, melempar senyum dan mengucap salam sambil berpamitan. Sungguh, dalam setiap jenak kehidupan, selalu ada kisah yang bisa menguatkan pijakan kita di jalan yang Allah ridhoi. Tentu, bagi siapa yang mau mengambil pelajaran dan tak lelah untuk terus memperbaiki diri. Semoga kisah ini, membuat kita semakin waspada, bahwa setan, tak kan pernah berhenti menggoda, hingga ajal menjemput kita.
Semoga kita istiqomah, hingga mati. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment