Alhamdulillah, seri Renungan Harian masih bisa hadir di blog ini pada usianya yang ketiga. Saya tidak tahu apakah nanti bisa istiqomah menulis setiap hari dan mempostingnya. Saya hanya bisa berdoa semoga Renungan Harian ini memang menjadi renungan harian, bukan renungan pekanan, atau renungan bulanan. Karenanya saya juga meminta bantuan doa kepada semua kawan agar diberikan keistiqomahan menulis sebagai bagian dari usaha dakwah.
***Sekarang kita berada di bulan Jumadil Ula tahun 1430 H. Pada bulan yang sama 1422 tahun yang lalu, terjadilah persitiwa besar dalam sejarah umat Islam. Kaum muslimin terlibat peperangan dengan Romawi; 40.000 tentara Islam melawan 200.000 tentara Romawi. Perang ini kemudian terkenal dengan nama Perang Muktah.
Ketika perang ini berkecamuk, Khalid hanyalah prajurit biasa. Ia ikut berperang di bawah pimpinan tigas panglima Islam, Zaid bin Haritsah, Ja�far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Atas kehendak Allah, satu per satu panglima Islam tersebut syahid di medan Muktah. Ketika panji perang diambil oleh Tsabit bin Arqam untuk diangkat tinggi-tinggi agar kaum muslimin tidak kacau balau. Dengan gesitnya, Tsabit melarikan kudanya menuju Khalid bin Walid, sembari menyerahkan bendera kepadanya.
�Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman!� kata Tsabit.
�Aku tidak pantas memegangnya, Andalah yang lebih berhak, karena Anda lebih tua dan telah menyertai Perang Badar,� jawab Khalid.
�Ambillah, engkau lebih tahu siasat perang dari pada aku, dan demi Allah, aku tidak akan mengambil panji perang ini kecuali untuk aku serahkan kepadamu.�
Khalid semula ragu, merasa tidak pantas menerimanya. Tetapi setelah tentara Islam secara aklamasi memintanya, ia pun bangkit. Inilah momentum kepahlawanan Khalid bin Walid. Sepanjang sejarah hidup sebelumnya Khalid telah memerangi umat Islam. Baru saja ia masuk Islam beberapa bulan, kini datang momentum untuk berkarya bagi Islam. Dan, momentum ini benar-benar bersambut dengan tepat. Khalid menunjukkan karya terbaiknya sebagai ahli strategi perang. Maka, sejak saat itu ia dikenal menjadi panglima terbaik yang selalu memenangkan peperangan.
Begitulah saat momentum datang dan kita mampu mengambilnya dengan tepat. Manakala tidak, tentu kesempatan besar akan lewat dan belum tentu ia datang kedua kalinya. Saat momentum termanfaatkan dengan benar, ia akan menjadi 'lompatan sejarah' bagi manusia yang mendapatkannya. Dan, inilah yang terjadi pada Khalid.
Ini juga yang terjadi pada tahun 1998 saat gerakan mahasiswa Islam di Indonesia berteriak lantang "turunkan Soeharto"; tuntutan yang revolusioner saat itu. Lalu diikuti oleh gerakan mahasiswa yang lain. Maka, bergemalah seruan reformasi. Singkat kata, Soeharto turun dan Orde baru tumbang. Momentum ini termanfaatkan dengan baik dan belum tentu terulang kembali dalam panggung sejarah.
Saat momentum itu lewat dan baru disadari di kemudian hari, yang terjadi adalah penyesalan. Dan inilah yang dialami oleh tokoh reformasi Amin Rais. Pada tahun 1999, seluruh parpol kecuali PKB dan PDIP mendatangi Amin Rais. Rombongan yang dimotori Partai Keadilan ini meminta Amin Rais menjadi calon presiden, karena inilah momentumnya. Namun, Amin menolak. Ternyata, momentum ini lewat begitu saja dan benar, tidak terulang untuk kedua kalinya. Amin Rais batal mempersembahkan karya terbaiknya, dan keputusan ini menjadi keputusan politik yang disesalinya.
Dalam setiap kehidupan kita, akan datang momentum-momentum kepahlawanan kita. Yang menjadi soal adalah: apakah kita bisa membacanya dengan cermat dan mampu memanfaatkannya dengan tepat. Jika jawabannya ya, lompatan besar akan kita raih. Sebaliknya, jika tidak, penyesalan yang akan datang sebab momentum itu tidak datang sama persis untuk kedua kalinya. [Muchlisin]
0 comments:
Post a Comment