Akal-akal besar itu selalu mampu mengunyah semua masalah zamannya. Tak jarang bahkan akal mereka menembus dinding waktu zaman mereka, dan merengkuh semua masalah yang terjadi berpuluh bahkan beratus tahun sesudah mereka pergi. Bukan karena ilmu yang datang bagai embun pagi yang diteteskan di atas daun otak mereka maka mereka tahu semuanya. Bukan, mereka mengunyah semua masalah zaman mereka melalui upaya memahami yang tidak pernah berhenti. Maka mereka selalu sanggup merespon semua masalah yang muncul di zaman mereka.
Mereka bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang konstan yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realitas menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur�an dan hadits sebagai sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al Qur�an dikumpulkan di zaman Abu Bakar lalu ditulis secara formal di zaman Utsman dan dijadikan sebagai standar bacaan serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang kemudian dikenal sebagai mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al-Qur�an terjaga dari semua bentuk penyimpangan sepanjang masa. Selamanya.
Penjagaan kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Di samping perlu waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur�an karena secara lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang sedikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya yang rumit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al Zuhri, yang kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi hadist-hadist Rasulullah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa metode ilmu hadits ini adalah salah satu warisan pengetahuan Islam yang tidak pernah tertandingi oleh semua peradaban lain. Seandainya metode itu dipakai untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi Isa a.s., atau meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takkan ada riwayat yang sahih yang sampai kepada kita.
Akal-akal besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus menerus mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari ujung abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek kehidupan. Imam Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid dibanding ilmu logika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab masalah yang belum terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka melakukan itu, beliau hanya tersenyum sembari menjawab: �Orang berakal menyediakan jawaban sebelum pertanyaannya datang.�
Begitulah peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebenarnya juga tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka selalu ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantangan zaman mereka secara lebih baik. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]
Mereka bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang konstan yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realitas menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur�an dan hadits sebagai sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al Qur�an dikumpulkan di zaman Abu Bakar lalu ditulis secara formal di zaman Utsman dan dijadikan sebagai standar bacaan serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang kemudian dikenal sebagai mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al-Qur�an terjaga dari semua bentuk penyimpangan sepanjang masa. Selamanya.
Penjagaan kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Di samping perlu waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur�an karena secara lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang sedikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya yang rumit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al Zuhri, yang kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi hadist-hadist Rasulullah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa metode ilmu hadits ini adalah salah satu warisan pengetahuan Islam yang tidak pernah tertandingi oleh semua peradaban lain. Seandainya metode itu dipakai untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi Isa a.s., atau meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takkan ada riwayat yang sahih yang sampai kepada kita.
Akal-akal besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus menerus mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari ujung abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek kehidupan. Imam Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid dibanding ilmu logika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab masalah yang belum terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka melakukan itu, beliau hanya tersenyum sembari menjawab: �Orang berakal menyediakan jawaban sebelum pertanyaannya datang.�
Begitulah peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebenarnya juga tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka selalu ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantangan zaman mereka secara lebih baik. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]
0 comments:
Post a Comment