Bersama 350 tentara berkuda, Khalid bergerak menuju Yalamlam, sekitar 50 mil dari Makkah. Ia baru saja menghancurkan berhala Uzza yang terkenal itu. Kini ia mendapat perintah untuk mendakwahkan Islam dan menghancurkan berhala-berhala lainnya.
Sesampainya di daerah Ghuraisa, sekitar 15 mil dari Makkah menuju Yalamlam, Khalid bertemu dengan Bani Jadimah. Khalid meminta Bani Jadimah meletakkan senjata, namun ada keraguan mereka kalau-kalau Khalid mau membalas dendam atas kematian pamannya. "Hai Bani Jadimah! Celaka kalian! Itu Khalid. Sesudah meletakkan senjata tentu kita ditawan lalu dipenggal." Kata salah seorang dari mereka.
"Tidak mungkin. Kita sudah masuk Islam. Tak akan ada perang. Tak ada pertumpahan darah," jawab sebagian lainnya diiringi peletakan senjata. Setelah itulah insiden besar terjadi. Diawali dari perdebatan lagi, kemudian sebagiannya sudah terbunuh atas perintah Khalid bin Walid.
Begitu Rasulullah mengetahui insiden ini, beliau berlepas diri. "Ya Allah, Aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Khalid." Jelas Rasulullah tidak setuju pembunuhan itu. Jelas itu dianggap sebagai kesalahan. Maka tidak hanya doa. Rasulullah pun memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk mendatangi Bani Jadimah; meminta maaf, memberikan tebusan, dan menenangkan mereka.
Khalid masih saja menganggap apa yang dilakukannya benar. Mungkin karena gelar "pedang Allah" (syaifullah) yang diberikan Rasulullah sejak perang Muktah, ia begitu percaya diri dan merasa mulia. Kini ia tengah berdebat dengan Abdurrahman bin Auf yang menasehatinya. Khalid masih merasa benar, bahkan ada kesan tidak terima dengan apa yang dikatakan salah seorang assabiquunal awwaluun yang juga termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ini. Khalid mungkin terlalu agresif sehingga keluar kata-kata yang mencela Abdurrahman bin Auf. Saat itulah Rasulullah menyadarkan Khalid dengan sabdanya:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah engkau mencaci sahabatku. Andaikan salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar bukit uhud, tidak akan mampu menyamai infaq satu mud dari mereka, tidak juga separuhnya. (HR. Bukhari)
Khalid terdiam. Ia sadar. Seprestisius apapun gelar syaifullah, tetap "tidak ada apa-apanya" dibandingkan dengan assaabiquunal awwaluun. Dan semestinya itu membuatnya tahu diri.
Agha Ibrahim Akram dalam bukunya Khalid bin Walid The Sword of Allah menulis begini: "Dari peristiwa itu, Khalid mendapatkan pelajaran berharga. Yaitu walau bagaimanapun kedudukannya tidak mampu menyamai kedudukan para sahabat generasi awal. Sebab, hal itu merupakan masalah waktu, terlebih apabila ketokohannya dibandingkan dengan sahabat yang telah dijamin masuk surga. Karena itulah Khalid menyimpan pelajaran itu dengan baik sebagai pedoman pada masa-masa yang akan datang."
Ya. Khalid bin Walid belajar dari peristiwa itu. Maka lembaran-lembaran sejarah berikutnya, khususnya sejarah peperangan, dilalui Khalid dengan lebih dewasa dan matang. Sepanjang peperangan setelahnya, entah di zaman Rasulullah maupun khalifah Abu Bakar, perjalanan Khalid dipenuhi dengan prestasi gemilang tanpa pengulangan kesalahan fatal seperti yang dilakukannya pada Bani Jadimah.
Bukan hanya kematangan di medan perang. Lebih dari itu, Khalid akhirnya memiliki kematangan ruhiyah yang luar biasa. Maka saat kita belajar keikhlasan pun, yang merupakan inti kematangan ruhiyah, contohnya ada pada Khalid. Itulah yang diabadikan sejarah saat Khalid dipecat sebagai panglima saat perang Tabuk. Ia terus berperang, bahkan lebih gigih. "Aku berperang bukan untuk Umar, tetapi untuk Allah", demikian penjelasannya ketika ditanya sebagaian sahabatnya.
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Besar atau kecil. Disengaja atau tanpa sengaja. Yang menjadi masalah adalah apakah kesalahan itu kita sadari atau tidak. Lalu kita bertaubat atau bernikmat-nikmat mengulanginya. Kita belajar dari kesalahan itu sehingga menjadi lebih matang dan dewasa, atau justru terus mengulangi kesalahan yang sama; tetap kekanak-kanakan selamanya.
Ada kebiasaan menarik dari para salafus shalih. Mereka membiasakan muhasabah sebelum tidur. Maka kesalahannya bisa terdeteksi kurang dari 24 jam. Perputaran taubat yang cepat, pengambilan ibrah yang segera, menjadikan mereka ibarat kaca yang selalu dilap setiap hari. Mungkin ada debu yang menempel, tetapi segera bersih kembali. Dan mereka menjadi semakin dewasa, dari hari ke hari. Menjadi semakin matang, seiring perputaran masa yang mereka lalui. [Muchlisin]
Sesampainya di daerah Ghuraisa, sekitar 15 mil dari Makkah menuju Yalamlam, Khalid bertemu dengan Bani Jadimah. Khalid meminta Bani Jadimah meletakkan senjata, namun ada keraguan mereka kalau-kalau Khalid mau membalas dendam atas kematian pamannya. "Hai Bani Jadimah! Celaka kalian! Itu Khalid. Sesudah meletakkan senjata tentu kita ditawan lalu dipenggal." Kata salah seorang dari mereka.
"Tidak mungkin. Kita sudah masuk Islam. Tak akan ada perang. Tak ada pertumpahan darah," jawab sebagian lainnya diiringi peletakan senjata. Setelah itulah insiden besar terjadi. Diawali dari perdebatan lagi, kemudian sebagiannya sudah terbunuh atas perintah Khalid bin Walid.
Begitu Rasulullah mengetahui insiden ini, beliau berlepas diri. "Ya Allah, Aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Khalid." Jelas Rasulullah tidak setuju pembunuhan itu. Jelas itu dianggap sebagai kesalahan. Maka tidak hanya doa. Rasulullah pun memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk mendatangi Bani Jadimah; meminta maaf, memberikan tebusan, dan menenangkan mereka.
Khalid masih saja menganggap apa yang dilakukannya benar. Mungkin karena gelar "pedang Allah" (syaifullah) yang diberikan Rasulullah sejak perang Muktah, ia begitu percaya diri dan merasa mulia. Kini ia tengah berdebat dengan Abdurrahman bin Auf yang menasehatinya. Khalid masih merasa benar, bahkan ada kesan tidak terima dengan apa yang dikatakan salah seorang assabiquunal awwaluun yang juga termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ini. Khalid mungkin terlalu agresif sehingga keluar kata-kata yang mencela Abdurrahman bin Auf. Saat itulah Rasulullah menyadarkan Khalid dengan sabdanya:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah engkau mencaci sahabatku. Andaikan salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar bukit uhud, tidak akan mampu menyamai infaq satu mud dari mereka, tidak juga separuhnya. (HR. Bukhari)
Khalid terdiam. Ia sadar. Seprestisius apapun gelar syaifullah, tetap "tidak ada apa-apanya" dibandingkan dengan assaabiquunal awwaluun. Dan semestinya itu membuatnya tahu diri.
Agha Ibrahim Akram dalam bukunya Khalid bin Walid The Sword of Allah menulis begini: "Dari peristiwa itu, Khalid mendapatkan pelajaran berharga. Yaitu walau bagaimanapun kedudukannya tidak mampu menyamai kedudukan para sahabat generasi awal. Sebab, hal itu merupakan masalah waktu, terlebih apabila ketokohannya dibandingkan dengan sahabat yang telah dijamin masuk surga. Karena itulah Khalid menyimpan pelajaran itu dengan baik sebagai pedoman pada masa-masa yang akan datang."
Ya. Khalid bin Walid belajar dari peristiwa itu. Maka lembaran-lembaran sejarah berikutnya, khususnya sejarah peperangan, dilalui Khalid dengan lebih dewasa dan matang. Sepanjang peperangan setelahnya, entah di zaman Rasulullah maupun khalifah Abu Bakar, perjalanan Khalid dipenuhi dengan prestasi gemilang tanpa pengulangan kesalahan fatal seperti yang dilakukannya pada Bani Jadimah.
Bukan hanya kematangan di medan perang. Lebih dari itu, Khalid akhirnya memiliki kematangan ruhiyah yang luar biasa. Maka saat kita belajar keikhlasan pun, yang merupakan inti kematangan ruhiyah, contohnya ada pada Khalid. Itulah yang diabadikan sejarah saat Khalid dipecat sebagai panglima saat perang Tabuk. Ia terus berperang, bahkan lebih gigih. "Aku berperang bukan untuk Umar, tetapi untuk Allah", demikian penjelasannya ketika ditanya sebagaian sahabatnya.
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Besar atau kecil. Disengaja atau tanpa sengaja. Yang menjadi masalah adalah apakah kesalahan itu kita sadari atau tidak. Lalu kita bertaubat atau bernikmat-nikmat mengulanginya. Kita belajar dari kesalahan itu sehingga menjadi lebih matang dan dewasa, atau justru terus mengulangi kesalahan yang sama; tetap kekanak-kanakan selamanya.
Ada kebiasaan menarik dari para salafus shalih. Mereka membiasakan muhasabah sebelum tidur. Maka kesalahannya bisa terdeteksi kurang dari 24 jam. Perputaran taubat yang cepat, pengambilan ibrah yang segera, menjadikan mereka ibarat kaca yang selalu dilap setiap hari. Mungkin ada debu yang menempel, tetapi segera bersih kembali. Dan mereka menjadi semakin dewasa, dari hari ke hari. Menjadi semakin matang, seiring perputaran masa yang mereka lalui. [Muchlisin]
0 comments:
Post a Comment