Kapalnya tenggelam oleh hantaman badai dalam ekspedisinya ke China. Tapi Ibnu Batuta, sang pengembara asal Maroko itu, selamat. Ia terdampar di kepulauan Maldives. Ia pun menetap di tempat itu sampai lama. Kawin mawin dan beranak pinak. Kini Negara kepulauan yang bernama Republic of Maldives (Republik Maladewa) yang terdiri dari 26 atol seluruhnya beragama Islam. Musibah itu berujung berkah bagi warga kepulauan Maladewa.
Ibnu Batuta adalah nama besar dari abad ke 14 M dalam sejarah para pengembara. Ia juga sempat ke Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera, dan menceritakan detil sejarah dan budaya masyarakat ini dalam bukunya. Ia telah menempuh perjalanan 120.000 km di seluruh wilayah dunia Islam. Ia menjadi ikon dari semangat pengembaraan dan upaya pemetaan bumi ketika manusia mengenal transportasi darat dan laut.
Itu merupakan salah satu buah dari perintah Al-Qur’an untuk melakukan perjalanan di muka bumi (al sair fil ardh). Perintah itu adalah konsekuensi dari misi khilafah manusia. Jika teks harus diturunkan secara bijak ke dalam konteks ruang dan waktu, maka manusia perlu mengenal ruang kehidupannya secara komprehensif dan detil. Pengembaraan itu salah satu terapannya.
Perintah berjalan di muka bumi itu telah menjadi dasar motivasi pengembangan ilmu geografi dunia Muslim. Ilmu ini sebenarnya sudah berkembang pesat jauh sebelum era Ibnu Batuta. Dua abad sebelum Ibnu Batuta (1304-1369) melakukan pengembaraannya, Yakut Al Harmawy (1179-1229) –untuk sekedar memberi contoh- telah menulis sebuah ensiklopedi geografi Negara-negara dunia yang diberi judul Mu’jamul Buldan.
Geografi merupakan ilmu yang paling fundamental khususnya dalam dunia politik, militer dan ekonomi. Empat Khulafa Rasyidin dikenal di kalangan para sahabat sebagai ahli-ahli geografi. Abu Bakar dan Umar bin Khattab bahkan pernah memberi wasiat kepada pasukannya dengan menyebut nama-nama tempat yang sangat detil di wilayah Syam dan Irak, yang sebagiannya bahkan belum pernah mereka kunjungi. Dari sejak dahulu sekali ilmu ini melekat dalam struktur pengetahuan raja-raja.
Ilmu ini sebenarnya membangun kemampuan berpikir pemetaan (mapping mind). Dan kemampuan itu sangat fundamental dalam keseluruhan kemampuan berpikir strategis seseorang. Tapi kemampuan berpikir inilah yang justru hilang dari dunia Muslim saat ini. Itu sebabnya mengapa mereka tertatih-tatih dalam menurunkan teks dalam ruang dan waktu mereka. Mereka tidak mengerti bagaimana mereka membangun dunia mereka. Sebab mereka bahkan tidak mengenal belahan bumi yang mereka pijak sendiri.[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 243]
Ibnu Batuta adalah nama besar dari abad ke 14 M dalam sejarah para pengembara. Ia juga sempat ke Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera, dan menceritakan detil sejarah dan budaya masyarakat ini dalam bukunya. Ia telah menempuh perjalanan 120.000 km di seluruh wilayah dunia Islam. Ia menjadi ikon dari semangat pengembaraan dan upaya pemetaan bumi ketika manusia mengenal transportasi darat dan laut.
Itu merupakan salah satu buah dari perintah Al-Qur’an untuk melakukan perjalanan di muka bumi (al sair fil ardh). Perintah itu adalah konsekuensi dari misi khilafah manusia. Jika teks harus diturunkan secara bijak ke dalam konteks ruang dan waktu, maka manusia perlu mengenal ruang kehidupannya secara komprehensif dan detil. Pengembaraan itu salah satu terapannya.
Perintah berjalan di muka bumi itu telah menjadi dasar motivasi pengembangan ilmu geografi dunia Muslim. Ilmu ini sebenarnya sudah berkembang pesat jauh sebelum era Ibnu Batuta. Dua abad sebelum Ibnu Batuta (1304-1369) melakukan pengembaraannya, Yakut Al Harmawy (1179-1229) –untuk sekedar memberi contoh- telah menulis sebuah ensiklopedi geografi Negara-negara dunia yang diberi judul Mu’jamul Buldan.
Geografi merupakan ilmu yang paling fundamental khususnya dalam dunia politik, militer dan ekonomi. Empat Khulafa Rasyidin dikenal di kalangan para sahabat sebagai ahli-ahli geografi. Abu Bakar dan Umar bin Khattab bahkan pernah memberi wasiat kepada pasukannya dengan menyebut nama-nama tempat yang sangat detil di wilayah Syam dan Irak, yang sebagiannya bahkan belum pernah mereka kunjungi. Dari sejak dahulu sekali ilmu ini melekat dalam struktur pengetahuan raja-raja.
Ilmu ini sebenarnya membangun kemampuan berpikir pemetaan (mapping mind). Dan kemampuan itu sangat fundamental dalam keseluruhan kemampuan berpikir strategis seseorang. Tapi kemampuan berpikir inilah yang justru hilang dari dunia Muslim saat ini. Itu sebabnya mengapa mereka tertatih-tatih dalam menurunkan teks dalam ruang dan waktu mereka. Mereka tidak mengerti bagaimana mereka membangun dunia mereka. Sebab mereka bahkan tidak mengenal belahan bumi yang mereka pijak sendiri.[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 243]
0 comments:
Post a Comment