Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Orang Tuaku Hobi Menghukum

Written By mimin on Sunday, February 27, 2011 | 5:00 PM


Judul buku : Orang Tuaku Hobi Menghukum; Panduan Memberi Sanksi pada Anak Bagi Orang Tua dan Guru
Penulis : Miftahul Jinan
Penerbit : Filla Press, Sidoarjo
Tahun Terbit : Ramadhan 1431 H/September 2010 M
Tebal : xii + 174 hlm

Barangkali kita merasa aneh dengan judul buku ini. Bagaimana mungkin ada orang tua yang memiliki hobi menghukum anak? Namun jika dilihat dari karakteristik hobi lalu dibandingkan dengan hukuman yang diberikan orang tua kepada anak, nyatalah di sana ada sejumlah kesamaan. Dalam rangka memberikan rasionalisasi judul buku ini, penulis (Miftahul Jinan) mengemukakannya di awal-awal tulisan; pada pendahuluan.

Misalnya saja, seseorang yang mempunyai hobi tertentu akan melakukannya berkali-kali. Jika dalam waktu yang relatif lama ia tidak melakukannya, maka ada sesuatu yang “hilang”. Sebaliknya, jika ia berhasil menjalankan hobinya, ia mendapatkan kepuasan. Demikian pula orang tua yang sering menghukum anaknya. Ia melakukannya berkali-kali, tanpa mengenal jadwal. Jika dalam waktu tertentu ia belum menghukum anak ia merasa ada yang kurang; ia merasa belum mendidik anak. Begitu orang tua telah menghukum anak dan melihat perubahan sikap anak, ia merasa puas dengan perubahan itu.

Karakter hobi yang lain adalah rela berkorban demi menjalankan hobi itu. Entah itu materi ataupun waktu. Karakter keempat ini diragukan oleh Miftahul Jinan, apakah ada orang tua yang rela berkorban untuk menghukum anak.

Mengapa Orang Tua “Hobi” Menghukum Anak?
Pada bab pertama buku Orang Tuaku Hobi Menghukum ini, dijelaskan alasan mengapa orang tua “hobi” menghukum anak. Dalam pandangan Miftahul Jinan, setidaknya ada 5 hal yang melatarbelakangi atau menjadi alasan.

Pertama, karena dulunya ia dididik dengan hukuman. Semasa kecil, banyak orang tua yang dididik dengan hukuman oleh orangtuanya. Jika melakukan kesalahan dibentak, dijewer, atau dengan hukuman fisik lainnya. Nilai itu lalu terbawa sampai sekarang dan diberlakukan kepada anak-anak. Dalam bayangan orang tua seperti ini tidak ada salahnya menghukum anak sebagaimana ia dulu juga dihukum oleh orangtuanya dan nyatanya, pola pendidikan seperti itu “berhasil”.

Kedua, anggapan bahwa hukuman lebih “manjur”. Dicontohkan oleh Miftahul Jinan sebuah kasus anak yang mencoret-coret tembok. Orang tua punya –setidaknya- dua alternatif agar anak berhenti melakukannya. Pertama, memberitahukan kepada anak bahwa tempat mencoret itu di kertas atau papan tulis yang disediakan. Atau, kedua, membentak dan memukul tangannya agar berhenti mencoret di tembok.

Jika alternatif pertama yang kita lakukan, boleh jadi anak memahami kemudian beralih segera ke kertas atau papan tulis, boleh jadi anak memahami namun tidak segera beralih, boleh jadi pula anak tidak memahami sehingga tetap mencoret di tembok. Sedangkan alternatif kedua menjanjikan kepada orang tua, anak langsung berhenti mencoret di tembok. Kebanyakan orang tua lebih memilih alternatif kedua karena “keberhasilannya” yang instan itu. Padahal, bersamaan dengan hukuman itu sebenarnya kita telah menanamkan pola kekerasan yang membuat anak “hanya mau” menaati aturan setelah mendapatkan kekerasan, keputusan anak bersumber dari luar dirinya –khususnya oleh tekanan atau hal lain yang mengintimidasi, dan anak pun belajar menjadi emosional (tempramen); suka marah, membentak, kasar. Alternatif pertama akan membangun hal yang sebaliknya pada diri anak.

Ketiga, minimnya ilmu parenting. Orang tua hanya mengetahui bahwa hukuman itu adalah satu-satunya cara mendidik. Tidak ada yang lain. Jika demikian halnya, orang tua perlu mengembangkan dirinya dalam hal mendidik anak. Ia perlu membaca buku tentang parenting, mengikuti seminar, pelatihan, dan sebagainya. Kemudian ia mencoba teknik baru tersebut dan mengurangi sikap yang kurang baik pada anak.

Keempat, efek konflik orangtua. Artinya, kerap kali anak mendapatkan hukuman dari ibu sebagai ungkapan kejengkelan dan “pelampiasan” kemarahan pada suaminya yang telah menyakitinya. Maka didapatkan fakta bahwa anak yang hidup dalam keluarga konflik mendapatkan hukuman yang lebih banyak daripada anak yang hidup dalam keluarga harmonis.

Seharusnya, meskipun orang tua sedang konflik mereka tidak melibatkan anak pada konflik tersebut. Apalagi menjadikan anak sebagai sasaran kemarahan. Konflik harus dihindarkan terlihat langsung oleh anak. Tentu saja, yang terbaik adalah menghindari konflik, mengatasinya dan berusaha menjadi keluarga yang selalu harmonis. Sakinah mawaddah wa rahmah, dalam terminologi Islam.

Kelima, orang tua bisa “hobi” menghukum karena tidak ada aturan yang jelas di rumah. Mana yang boleh dilakukan anak, mana yang tidak boleh dilakukan. Mana yang benar, mana yang salah. Anak tidak pernah diberitahukan, tidak pernah ditunjukkan, tapi begitu anak melakukan sesuatu yang menurut orang tua tidak benar langsung dihukum. Anak pun menjadi bingung dan serba salah. Misalnya anak keluar rumah sambil menutup pintu dengan keras dimarahi. Besuknya, anak keluar rumah dengan membiarkan pintu terbuka juga dimarahi. Anak menjadi bingung tanpa mengetahui letak kesalahannya di mana.

Mempertimbangkan Jenis Hukuman
Kalaupun orang tua terpaksa menghukum anak, hendaklah ia mempertimbangkan jenis hukuman bagi anak. Baik dan buruknya bagi kita dan anak. Efektifitas dan juga dampaknya.

Banyak orang tua yang mengungkapkan rasa marahnya dengan membentak. Mathew meneliti bahwa 2/3 orang tua melakukan itu. Bahkan rata-rata orang tua membentak 5 kali dalam seminggu. Padahal, membentak adalah bentuk komunikasi yang tidak berguna, meningkatkan level adrenalin, membuat orang lain kesal, dan menyebabkan situasi semakin tak terkendali.

Dalam jangka panjang, anak yang sering dibentak orang tuanya akan mengalami masalah emosional, anak tumbuh tidak percaya diri khususnya jika selama dibentak orang tuanya ia hanya diam-menyerah, dan anak menjadi tertutup. Sedangkan bagi sebagian anak lainnya, khususnya yang tahan bentakan dan “berhasil” menganggapnya sebagai angin lalu, mereka tumbuh menjadi pribadi yang cuek dan masa bodoh. Namun jika ia tipe anak yang merasa dirinya memiliki kekuatan, ia tumbuh menjadi “pemberontak” dan “penentang.”

Jenis hukuman berikutnya yang sering dilakukan orang tua adalah memukul pantat anak. Biasanya pukulan ini dilakukan secara spontan, dengan nada marah dan tanpa penjelasan. Kebiasaan ini menjadikan anak terbentuk untuk juga memukul ketika ia marah. Anak bisa tumbuh menjadi orang yang cinta kekerasan. Variasi lain dari memukul pantat yang “lebih baik” adalah dengan pendekatan terencana. Yaitu orang tua mengatakan terlebih dahulu kepada anak tentang aturan bahwa jika ia melanggar kesalahan tertentu, orang tua akan memukul pantatnya. Menurut Miftahul Jinan, ini lebih manjur daripada yang pertama, namun tetap saja ia kurang baik. Hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat.

Bentuk hukuman lain adalah time out (penyetrapan). Dalam acara Nanny 911 sanksi ini cukup efektif. Anak diminta di tempat tertentu tanpa kegiatan apapun kecuali merenungi apa yang telah ia lakukan. Namun ketika orang tua menerapkan teknik ini, banyak yang hasilnya justru bertolak belakang. Dimungkinkan, karena orang tua mengabaikan beberapa aturan dalam teknik ini. Misalnya, paradigma awal bahwa time out bukan hanya hukuman namun sarana mendidik anak untuk mengontrol pikiran dan perasaannya dan keberhasilan time out tidak berbanding lurus dengan durasinya.

Time out akan berjalan efektif jika dijalankan dengan sistem peringatan, konsisten dengan waktu time out (salah satunya dengan menghitung mundur awal time out) dengan total time out satu menit untuk satu tahun usia anak, ruangannya terpantau oleh orang tua dan tanpa pengalih perhatian, meletakkan pengatur waktu di tempat yang bisa dilihat anak, orang tua tidak menginterupsi time out meskipun anak merengek, dan harus ada pembicaraan setelah time out yang disampaikan dengan tenang untuk membersihkan suasana.

Bentuk hukuman berikutnya adalah mencabut fasilitas. Misalnya anak yang suka main komputer, ia diberi hukuman tidak boleh main komputer dalam waktu tertentu. Hukuman semacam ini bagi sebagian anak lebih ditakuti daripada hukuman fisik. Ia bisa menjadi efektif jika orang tua bisa dengan cermat menentukan jenis fasilitas yang dicabut, mengkomunikasikan aturannya dengan jelas kepada anak sehingga anak yang memilihnya, dan ketika melakukannya orang tua tetap mengontrol dirinya tetap tenang; tidak menyertanya dengan marah dan teriak-teriak.

Masih ada beberapa jenis hukuman lain yang dilakukan orang tua kepada anak. Bahkan, juga dilakukan sekolah kepada siswa. Disebutkan contohnya oleh Miftahul Jinan, ada sekolah yang tidak menghukum siswanya dengan hukuman fisik tetapi memberikan sanksi dengan membaca istighfar 500 kali. Jika secara psikologi timbul perasaan bersalah dan menyesalinya dengan bacaan istighfar tadi, Miftahul Jinan memberikan selamat sekaligus menyetujui jenis hukuman ini. Namun jika tidak, ia menjadi kurang baik.

Dari Hukuman Ke Konsekuensi Logis
Apa bedanya? Tentu saja bukan hanya berbeda secara istilah tetapi juga maknanya. Untuk memudahkannya Miftahul Jinan membuat sebuah contoh. Karena kertasnya telah penuh, Romi mencoret-coretkan krayonnya ke tembok. Mengetahui ini, mamanya membentak, “Romi, nakal sekali kamu ini!” Kemudian ia meraih tangan mungil Romi, memukulinya dan menyuruhnya berdiri di bawah dinding yang dicoret-coretnya. Romi hanya menangis dengan ketakutan.

Di rumah yang lain, Rino melakukan hal yang hampir sama. Ia mencoreti dinding dengan cat air. Mengetahui anaknya sudah beralih dari kertas ke dinding, mamanya berkata, “Mas Rino… tempat mengecat itu di kertas yang mama sediakan, bukan di dinding. Sekarang ayo kita bersihkan dinding itu.” Setelah membersihkan dinding berdua, mama berkata lagi, “Mas Rino… dinding itu baru saja dicat oleh papa. Sekarang masih ada sisa kotoran dari coretanmu, ayo minta maaf pada papa.”

Yang pertama adalah hukuman. Yang kedua adalah konsekuensi logis. Yang pertama hanya membuat Romi menangis ketakutan tanpa membuatnya sadar kesalahannya, yang kedua membuat Rino menyadari kesalahannya dan menjadikannya paham akan konsekuensi tindakannya; dinding jadi kotor, ia harus membersihkannya kembali, lalu meminta maaf pada papa yang telah mengecatnya.

Jadi apa yang membedakan konsekuensi logis dengan hukuman atau sanksi? Konsekeunsi logis adalah proses belajar. Dari sana anak mengerti dan mulai berubah. Dalam konsekuensi logis orang tua berperan sebagai pendidik, bukan hakim. Orang tua bersikap obyektif tanpa dikendalikan rasa marah dan emosi yang tinggi. Maka cara penyampaiannya pun dengan lembut; tidak meledak-ledak. Dan, konsekuensi logis lahir dari hubungan antara hati dan tindakan yang menyimpang, bukan balas dendam.

Konsekuensi logis juga memiliki karakter keterkaitan antara kesalahan anak dengan apa yang diterima atau harus dilakukannya. Tidak seperti sanksi yang bisa berubah-ubah. Misalnya pada kasus di atas. Karena mencoret di dinding maka konsekuensi logisnya adalah membersihkan dinding itu. Berbeda dengan hukuman yang bisa berbentuk pukulan, jeweran, dan sebagainya. Ini juga mengajarkan anak tentang hukum sebab akibat. Membuat anak tumbuh menjadi logis dan rasional.

Konsekuensi logis juga harus disosialisasikan kepada anak terlebih dahulu sehingga nantinya ketika ia melanggar atau melakukan kesalahan, maka apa yang diterima atau harus dilakukannya adalah pilihannya sendiri, bukan ketetapan orang tua. Ada pembiasaan musyawarah yang membentuk anak berani menyampaikan pendapat, sekaligus menanamkan pada diri anak bahwa segala pilihannya akan membawa konsekuensi tertentu. Dengan demikian diharapkan anak tumbuh dengan jiwa sportif dan bertanggung jawab.

Catatan Bagi Orang Tua
Sering kali orang tua ketika mendidik anak terlalu fokus pada kesalahan yang diberikan anak. Akhirnya yang lebih banyak diterima anak adalah hukuman. Sanksi. Padahal intensitas kebaikan dan sikap benar anak lebih besar. Inilah yang perlu diperhatikan. Bagaimana orang tua mendapati anaknya berbuat benar dan memberikan penghargaan atas sikap tersebut. Penghargaan tidak harus berupa materi. Bahkan jika penghargaan selalu berupa materi, itu justru tidak baik bagi anak karena ia bisa tumbuh menjadi materialis. Penghargaan bisa berupa pujian, ungkapan kasih sayang secara verbal, atau bentuk sikap lain yang menunjukkan bahwa anak dihargai karena telah melakukan sesuatu yang benar.

Lalu dalam menerapkan konsekuensi logis, orang tua juga perlu memperhatikan tahapannya. Mengubah kebiasaan lama anak membutuhkan rentang waktu yang panjang. Karenanya anak harus diberi kesempatan yang cukup untuk berlatih dengan kebiasaan baru, sambil dibimbing agar anak mampu membuat trigger (pemicu) untuk terlatih dengan kebiasaan baru itu. Direkomendasikan pula kepada orang tua untuk memilih prioritas kebiasaan lama yang dihapus untuk diganti dengan yang baru. Jadi tidak langsung semuanya. Perlu bertahap. Sedangkan aturan yang disepakati perlu ditulis. Kaidahnya, semakin sedikit aturan semakin baik. Sebagaimana dalam pemberian sanksi, semakin sedikit atau semakin jarang, semakin baik. Tentu, tanpa “mengkhianati” konsekuensi logis yang telah disepakati bersama.

Terakhir, penanaman konsekuensi logis tidak boleh berhenti hanya “ di sini”. Sambil berjalan anak perlu dipahamkan tentang konsekeunsi logis yang lebih bermakna. Bahwa ketika kita berbuat baik, Allah akan sayang dan mencintai kita. Sebaliknya, jika kita berbuat buruk, Allah akan membenci dan murka kepada kita. [Muchlisin]

==================================
DALAM BENTUK E-BOOK, ORANG TUAKU HOBI MENGHUKUM BISA DIDOWNLOAD DI SINI

0 comments:

Post a Comment