Setelah 30 tahun dianiaya di Suriah, Ikhwanul Muslimin kini tampil menjadi salah satu kelompok paling berpengaruh dalam 14 bulan revolusi di negara itu, The Washington Post melaporkan, Sabtu (12/5) waktu setempat.
Anggota Ikhwan memegang kursi terbanyak di Dewan Nasional Suriah, kelompok oposisi utama yang menentang Assad, dan memimpin komite bantuan, yang mendistribusikan bantuan dan uang untuk warga Suriah yang berpartisipasi dalam pemberontakan.
Ikhwan hampir hancur selama revolusi terakhir di Suriah, di mana pasukan pemerintah menewaskan sebanyak 25.000 orang di Hama pada tahun 1982.
Washington Post menambahkan, kembalinya Ikhwan di Suriah telah menciptakan kekhawatiran di negara-negara tetangga dan masyarakat internasional yang lebih luas. Negara-negara lain takut jika minoritas Syiah alawi dari rezim di Damaskus jatuh, akan diikuti dengan munculnya sebuah pemerintahan Islam Sunni.
Ketakutan yang ditulis The Washington Post itu senada dengan pernyataan Kepala Kepolisian Dubai Dhahi Khalfan pertengahan bulan lalu. Khalfan yang juga ingin menangkap Yusuf Qardhawi menyatakan, jika Suriah dikuasai Ikhwan, maka Arab akan terbagi menjadi dua antara yang mendukung dan menolak.
Sementara itu, Ikhwan sendiri berupaya meyakinkan negara tetangga Suriah, termasuk Yordania, Irak dan Libanon, serta para diplomat AS dan Eropa bahwa Ikhwan tidak punya niat untuk mengambil alih sistem politik di masa depan Suriah atau mendirikan pemerintahan Islam.
"Keprihatinan ini tidak benar ketika datang ke Suriah, karena berbagai alasan," kata Molham al-Drobi, salah seorang pemimpin Ikhwan yang duduk di komite urusan luar negeri Dewan Nasional Suriah.
"Pertama, kami adalah gerakan Islam yang benar-benar moderat dibandingkan dengan lainnya di seluruh dunia. Kami berpikiran terbuka," kata al-Drobi.
"Dan saya pribadi tidak percaya kami bisa mendominasi politik di Suriah bahkan jika kami menginginkannya. Kami tidak memiliki kehendak untuk itu, dan kami tidak memiliki sarananya," tambahnya. [IK/EM/bsb]
Anggota Ikhwan memegang kursi terbanyak di Dewan Nasional Suriah, kelompok oposisi utama yang menentang Assad, dan memimpin komite bantuan, yang mendistribusikan bantuan dan uang untuk warga Suriah yang berpartisipasi dalam pemberontakan.
Ikhwan hampir hancur selama revolusi terakhir di Suriah, di mana pasukan pemerintah menewaskan sebanyak 25.000 orang di Hama pada tahun 1982.
Washington Post menambahkan, kembalinya Ikhwan di Suriah telah menciptakan kekhawatiran di negara-negara tetangga dan masyarakat internasional yang lebih luas. Negara-negara lain takut jika minoritas Syiah alawi dari rezim di Damaskus jatuh, akan diikuti dengan munculnya sebuah pemerintahan Islam Sunni.
Ketakutan yang ditulis The Washington Post itu senada dengan pernyataan Kepala Kepolisian Dubai Dhahi Khalfan pertengahan bulan lalu. Khalfan yang juga ingin menangkap Yusuf Qardhawi menyatakan, jika Suriah dikuasai Ikhwan, maka Arab akan terbagi menjadi dua antara yang mendukung dan menolak.
Sementara itu, Ikhwan sendiri berupaya meyakinkan negara tetangga Suriah, termasuk Yordania, Irak dan Libanon, serta para diplomat AS dan Eropa bahwa Ikhwan tidak punya niat untuk mengambil alih sistem politik di masa depan Suriah atau mendirikan pemerintahan Islam.
"Keprihatinan ini tidak benar ketika datang ke Suriah, karena berbagai alasan," kata Molham al-Drobi, salah seorang pemimpin Ikhwan yang duduk di komite urusan luar negeri Dewan Nasional Suriah.
"Pertama, kami adalah gerakan Islam yang benar-benar moderat dibandingkan dengan lainnya di seluruh dunia. Kami berpikiran terbuka," kata al-Drobi.
"Dan saya pribadi tidak percaya kami bisa mendominasi politik di Suriah bahkan jika kami menginginkannya. Kami tidak memiliki kehendak untuk itu, dan kami tidak memiliki sarananya," tambahnya. [IK/EM/bsb]
0 comments:
Post a Comment