Seorang suami memarahi istrinya dan mengancam: “Aku akan membuatmu sengsara.”
Sang istri menjawab dengan tenang, “Engkau tak mungkin bisa menyengsarakanku.”
“Mengapa demikian?” sang suami keheranan.
“Jika kebahagiaan terletak pada harta, mungkin engkau dapat menghalangiku mendapatkannya. Jika kebahagiaan ada pada perhiasan, engkau bisa menjauhkannya dariku. Tetapi kebahagiaanku ada pada sesuatu yang tak dapat kau rampas dan tak dapat dikuasai siapapun. Aku menemukan kebahagiaanku pada keimananku. Iman yang ada dalam hatiku. Dan, tiada yang dapat menguasai hatiku kecuali Rabbku.”
***
Kisah yang ditulis Aidh Al Qarni dalam buku As’adu Imroatin fil ‘Alam itu merekam tentang kebahagiaan sejati. Bahwa kebahagiaan itu adanya di hati. Maka, bahagia atau tidak, itu keputusanmu. Jika engkau mengkondisikan hatimu bahagia, maka engkau bahagia. Namun jika engkau mengizinkan orang lain membuat hatimu menderita, engkau pun menderita.
Yang berkuasa atas hati hanyalah Allah. Maka, Aidh Al Qarni memberi nasehat: “mintalah kebahagiaan kepadaNya dengan melakukan ketaatan kepadaNya.”
Lihatlah Bilal! Dari Sirah Nabawiyah kau bisa membayangkannya. Atau dengan melihat film Umar mungkin tampak lebih nyata. Bilal yang disiksa oleh Umayyah dengan beragam siksaan, dari pukulan hingga cambukan, bahkan dipanggang di padang pasir di bawah panas matahari yang menyengat, lalu ditimpa batu yang sangat berat. “Ahad, ahad.” Bilal terus mengulang kata-kata itu seiring permintaan Umayyah untuk meninggalkan Islam dan mengakui ketuhanan berhala. “Ahad, ahad.” Bilal bertahan dalam kebahagiaan, sementara Umayyah tersiksa dalam penderitaan jiwa, menurunkan level permintaan dari penuhanan berhala menjadi menghina Muhammad saja. “Ahad, ahad.” Jiwa Bilal tetap menang dan bahagia. Umayyah semakin menderita dan putus asa.
Bahagia itu ada di hati. Bersemayam di jiwa. Jika engkau ijinkan orang lain menguasainya, itulah awal dari kerapuhan jiwa. Ia mudah terombang-ambing. Ia mudah menderita. Sebaliknya, jika engkau memberikannya hanya kepada Allah, sungguh Dia tidak menginginkan hambaNya sengsara. Hati yang bahagia, jiwa yang kokoh, ia bahkan mampu mengajak hati lainnya turut berbahagia. Ia laksana garpu tala yang membawa resonansi sehingga hati-hati lainnya terpanggil bahagia.
Mari kita lanjutkan sendiri kisah Al Qarni:
Menyadari bahwa ia tak mampu membuat istrinya sengsara, sang suami kemudian merenungi diri dan berkata dalam hati: “Mengapa aku lebih suka membuat istriku sengsara daripada menikmati bahagia bersama?” Ia pun kemudian memperbaiki diri dan meminta maaf kepada sang istri. Melihat suaminya menjadi baik terhadap dirinya, kebahagiaan sang istri bertambah menjadi berlipat ganda. Ia bersyukur, karena dengan kebahagiaannya ia mampu membahagiakan suaminya. [Abu Nida]
Sang istri menjawab dengan tenang, “Engkau tak mungkin bisa menyengsarakanku.”
“Mengapa demikian?” sang suami keheranan.
“Jika kebahagiaan terletak pada harta, mungkin engkau dapat menghalangiku mendapatkannya. Jika kebahagiaan ada pada perhiasan, engkau bisa menjauhkannya dariku. Tetapi kebahagiaanku ada pada sesuatu yang tak dapat kau rampas dan tak dapat dikuasai siapapun. Aku menemukan kebahagiaanku pada keimananku. Iman yang ada dalam hatiku. Dan, tiada yang dapat menguasai hatiku kecuali Rabbku.”
***
Kisah yang ditulis Aidh Al Qarni dalam buku As’adu Imroatin fil ‘Alam itu merekam tentang kebahagiaan sejati. Bahwa kebahagiaan itu adanya di hati. Maka, bahagia atau tidak, itu keputusanmu. Jika engkau mengkondisikan hatimu bahagia, maka engkau bahagia. Namun jika engkau mengizinkan orang lain membuat hatimu menderita, engkau pun menderita.
Yang berkuasa atas hati hanyalah Allah. Maka, Aidh Al Qarni memberi nasehat: “mintalah kebahagiaan kepadaNya dengan melakukan ketaatan kepadaNya.”
Lihatlah Bilal! Dari Sirah Nabawiyah kau bisa membayangkannya. Atau dengan melihat film Umar mungkin tampak lebih nyata. Bilal yang disiksa oleh Umayyah dengan beragam siksaan, dari pukulan hingga cambukan, bahkan dipanggang di padang pasir di bawah panas matahari yang menyengat, lalu ditimpa batu yang sangat berat. “Ahad, ahad.” Bilal terus mengulang kata-kata itu seiring permintaan Umayyah untuk meninggalkan Islam dan mengakui ketuhanan berhala. “Ahad, ahad.” Bilal bertahan dalam kebahagiaan, sementara Umayyah tersiksa dalam penderitaan jiwa, menurunkan level permintaan dari penuhanan berhala menjadi menghina Muhammad saja. “Ahad, ahad.” Jiwa Bilal tetap menang dan bahagia. Umayyah semakin menderita dan putus asa.
Bahagia itu ada di hati. Bersemayam di jiwa. Jika engkau ijinkan orang lain menguasainya, itulah awal dari kerapuhan jiwa. Ia mudah terombang-ambing. Ia mudah menderita. Sebaliknya, jika engkau memberikannya hanya kepada Allah, sungguh Dia tidak menginginkan hambaNya sengsara. Hati yang bahagia, jiwa yang kokoh, ia bahkan mampu mengajak hati lainnya turut berbahagia. Ia laksana garpu tala yang membawa resonansi sehingga hati-hati lainnya terpanggil bahagia.
Mari kita lanjutkan sendiri kisah Al Qarni:
Menyadari bahwa ia tak mampu membuat istrinya sengsara, sang suami kemudian merenungi diri dan berkata dalam hati: “Mengapa aku lebih suka membuat istriku sengsara daripada menikmati bahagia bersama?” Ia pun kemudian memperbaiki diri dan meminta maaf kepada sang istri. Melihat suaminya menjadi baik terhadap dirinya, kebahagiaan sang istri bertambah menjadi berlipat ganda. Ia bersyukur, karena dengan kebahagiaannya ia mampu membahagiakan suaminya. [Abu Nida]
0 comments:
Post a Comment