“Aku mau ikut liqo ukh…”
Kalimat itu, dua tahun lalu terasa lancar melewati pita suaraku. Padahal kalau boleh jujur aku tidak mengetahui apa sebenarnya dan siapa. Yang kutahu, aku terpengaruh.
***
“Ini orang-orang maksudnya apa sih?”, gerutuku sekitar tiga tahun silam melihat tayangan televisi yang menyiarkan ratusan manusia membawa bendera berlambang meneriakan pembebasan Palestina. Sebelumnya aku pernah mengalami yang dinamakan ‘kesal tidak jelas’ saat melihat tayangan di televisi yang menampilkan seorang anggota parlemen yang kedapatan melihat video ‘tidak patut’. Pikirku, “Ini orang-orang kayaknya ngaku-ngaku doank Islam, tapi nggak merepresentasikan dirinya sebagai Muslim”
Ya, aku benci dengan manusia-manusia yang mengatas-namakan agama demi kepentingan dirinya sendiri. Apalagi kalau itu dilakukan secara berjama’ah. Tayangan-tayangan berita di televisi itu sangat mempengaruhiku, membenci orang-orang yang bahkan kenalpun aku tidak.
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku waktu itu, apatis, kurasa. Aku tidak percaya dengan slogan-slogan. Aku melihat semua mereka yang berada di atas ‘panggung’ sana sama. Memperebutkan kursi panas!
Terbayangkan? It’s so horrible! Bagaimana sebuah informasi televisi bisa mempengaruhi seseorang begitu rupa, brain wash, memang benar ada. Tapi entahlah, kemungkinan aku tipe orang yang selalu ingin mencari tahu –dari sumbernya– atau apa. Sepertinya lebih fair jika kita mencari tahu dahulu baru menjustifikasi bukan?
Tetapi hal itu tak pernah terpikir olehku sampai saatnya aku mengenal seorang gadis anggun berbalut jilbab lebar melambai dengan busana longgarnya yang senada. Senang sekali memperhatikannya berbicara, sopan tertata, cerdas bersemangat. Gadis itu tidak pernah memandang dengan perasaan merendahkan seperti yang beberapa kali sempat kurasakan dulu sewaktu bertemu dengan gadis lain sejenisnya. Padahal dulu aku masih berbalut busana yang ‘ngepas’ badan yang kadang dipadu dengan jeans juga jilbab tipis pendek berwarna-warni.
Dari caranya memperlakukan orang lain dan perlakuan orang lain kepadanya, aku semakin yakin akhlaq Islami telah mengakar kuat dalam dirinya. Aku juga semakin sering berdiskusi dengannya. Bahkan hal-hal yang kubenci dari yang kuceritakan diatas itupun aku sampaikan. And guess what? Dia menjawab semua dengan ekspresi yang teguh namun teduh, padahal pernyataan-pernyataan yang kubuat termasuk ‘pedas’, kurasa. Dengan yakin ia membalikkan semua fakta yang kuterima dari tayangan media televisi. Gadis ini mempengaruhiku lewat perilakunya, lewat tutur kata serta lewat amalan-amalan shalih yang sampai kini membuatku iri.
“Aku mau ikut liqo ukh…”
Yang terpikir saat itu adalah aku ingin tahu. Dan sejak itu aku baru tahu bahwa liqo itu sebuah pengajian rutin tiap pekan dengan bimbingan seorang murobi diantara para akhwat. Setelah menghubungi beberapa orang aku akhirnya sampai ke sebuah rumah yang nantinya menjadi jembatan bagiku mengenal indahnya ukhuwah.
Awal mengikuti halaqoh aku mencoba beradaptasi secepat mungkin. Walaupun terdapat beberapa hal yang kurang sesuai tapi aku mencoba untuk berlapang dada. Dan nyatanya sosialisasi itu memang menuntut banyak pengorbanan rasa. Mungkin kita jengkel dengan sifat telat, tidak menghargai waktu, atau tidak disiplin, atau mungkin terlalu banyak bercanda yang mungkin terselip dalam halaqoh kita. Tapi di sanalah realitanya, kita akan menemui orang-orang yang seperti itu di luar sana. Jika belum bisa memperbaiki maka usahakan untuk tidak melakukan hal yang sama.
Dan takdir kemudian menempatkan aku di suatu tempat yang memperlihatkan kerja nyata. Jika dulu di televisi aku disuguhi informasi betapa (maaf) tidak bergunanya pejabat pemerintah. Tapi ditempat ketika saat itu aku bekerja mengatakan sebaliknya.
Kuperhatikan sendiri bahwa walikota Depok menerapkan peraturan ‘Dilarang Merokok’ di lingkungan Balaikota, One Day No Rice dan One Day No Car. Jadi jika kau ingin melihat pejabat pemerintah berjalan kaki ke kantor mereka, datanglah setiap hari Selasa dan di sana kantin tidak akan menyediakan penganan berupa nasi. Dan ketika acara penyambutan tim penilai untuk Swasti saba Padapa di kota Depok, Pak Walikota menyatakan telah membuat peraturan yang melarang menjual minum-minuman keras dalam jarak tertentu. Juga kutemukan beberapa orang dokter, dosen yang meluangkan waktunya yang padat untuk membantu terwujudnya kota sehat. Dan tidak, mereka tidak mengharapkan imbalan.
Walaupun aku juga mengenal ada orang-orang tertentu yang tidak mencerminkan kepatutan sebagai panutan. Tapi secara individual aku menyimpulkan bahwa mereka-mereka itu yang tidak layak hanya mempunyai dua alasan, yaitu kurangnya tingkat pemahaman atau cinta dunia.
Dan kini aku masuk ke dalamnya, menjadi bagian dari Duta-duta Dakwah. Sindiran dari mulai yang terhalus sampai yang paling kasar pernah kudapati, olokan dan cemoohan juga kerap menghampiri.
Ah, memang menjadi Duta Dakwah itu tidak mudah! Setiap gerak langkah akan memacu mata untuk melirik kemudian berkomentar. Karena seperti yang kualami dulu, informasi yang keliru hanya bisa diatasi dengan karakter yang nyata. Duta Dakwah yang bertindak sebagai teladan bukan berhenti pada slogan, yang lisannya lembut dalam memberi teladan bukan bermulut penuh dengan cacian.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Ali 'Imran : 159)
Penulis : Herriyati
Depok, Jawa Barat
Kalimat itu, dua tahun lalu terasa lancar melewati pita suaraku. Padahal kalau boleh jujur aku tidak mengetahui apa sebenarnya dan siapa. Yang kutahu, aku terpengaruh.
***
“Ini orang-orang maksudnya apa sih?”, gerutuku sekitar tiga tahun silam melihat tayangan televisi yang menyiarkan ratusan manusia membawa bendera berlambang meneriakan pembebasan Palestina. Sebelumnya aku pernah mengalami yang dinamakan ‘kesal tidak jelas’ saat melihat tayangan di televisi yang menampilkan seorang anggota parlemen yang kedapatan melihat video ‘tidak patut’. Pikirku, “Ini orang-orang kayaknya ngaku-ngaku doank Islam, tapi nggak merepresentasikan dirinya sebagai Muslim”
Ya, aku benci dengan manusia-manusia yang mengatas-namakan agama demi kepentingan dirinya sendiri. Apalagi kalau itu dilakukan secara berjama’ah. Tayangan-tayangan berita di televisi itu sangat mempengaruhiku, membenci orang-orang yang bahkan kenalpun aku tidak.
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku waktu itu, apatis, kurasa. Aku tidak percaya dengan slogan-slogan. Aku melihat semua mereka yang berada di atas ‘panggung’ sana sama. Memperebutkan kursi panas!
Terbayangkan? It’s so horrible! Bagaimana sebuah informasi televisi bisa mempengaruhi seseorang begitu rupa, brain wash, memang benar ada. Tapi entahlah, kemungkinan aku tipe orang yang selalu ingin mencari tahu –dari sumbernya– atau apa. Sepertinya lebih fair jika kita mencari tahu dahulu baru menjustifikasi bukan?
Tetapi hal itu tak pernah terpikir olehku sampai saatnya aku mengenal seorang gadis anggun berbalut jilbab lebar melambai dengan busana longgarnya yang senada. Senang sekali memperhatikannya berbicara, sopan tertata, cerdas bersemangat. Gadis itu tidak pernah memandang dengan perasaan merendahkan seperti yang beberapa kali sempat kurasakan dulu sewaktu bertemu dengan gadis lain sejenisnya. Padahal dulu aku masih berbalut busana yang ‘ngepas’ badan yang kadang dipadu dengan jeans juga jilbab tipis pendek berwarna-warni.
Dari caranya memperlakukan orang lain dan perlakuan orang lain kepadanya, aku semakin yakin akhlaq Islami telah mengakar kuat dalam dirinya. Aku juga semakin sering berdiskusi dengannya. Bahkan hal-hal yang kubenci dari yang kuceritakan diatas itupun aku sampaikan. And guess what? Dia menjawab semua dengan ekspresi yang teguh namun teduh, padahal pernyataan-pernyataan yang kubuat termasuk ‘pedas’, kurasa. Dengan yakin ia membalikkan semua fakta yang kuterima dari tayangan media televisi. Gadis ini mempengaruhiku lewat perilakunya, lewat tutur kata serta lewat amalan-amalan shalih yang sampai kini membuatku iri.
“Aku mau ikut liqo ukh…”
Yang terpikir saat itu adalah aku ingin tahu. Dan sejak itu aku baru tahu bahwa liqo itu sebuah pengajian rutin tiap pekan dengan bimbingan seorang murobi diantara para akhwat. Setelah menghubungi beberapa orang aku akhirnya sampai ke sebuah rumah yang nantinya menjadi jembatan bagiku mengenal indahnya ukhuwah.
Awal mengikuti halaqoh aku mencoba beradaptasi secepat mungkin. Walaupun terdapat beberapa hal yang kurang sesuai tapi aku mencoba untuk berlapang dada. Dan nyatanya sosialisasi itu memang menuntut banyak pengorbanan rasa. Mungkin kita jengkel dengan sifat telat, tidak menghargai waktu, atau tidak disiplin, atau mungkin terlalu banyak bercanda yang mungkin terselip dalam halaqoh kita. Tapi di sanalah realitanya, kita akan menemui orang-orang yang seperti itu di luar sana. Jika belum bisa memperbaiki maka usahakan untuk tidak melakukan hal yang sama.
Dan takdir kemudian menempatkan aku di suatu tempat yang memperlihatkan kerja nyata. Jika dulu di televisi aku disuguhi informasi betapa (maaf) tidak bergunanya pejabat pemerintah. Tapi ditempat ketika saat itu aku bekerja mengatakan sebaliknya.
Kuperhatikan sendiri bahwa walikota Depok menerapkan peraturan ‘Dilarang Merokok’ di lingkungan Balaikota, One Day No Rice dan One Day No Car. Jadi jika kau ingin melihat pejabat pemerintah berjalan kaki ke kantor mereka, datanglah setiap hari Selasa dan di sana kantin tidak akan menyediakan penganan berupa nasi. Dan ketika acara penyambutan tim penilai untuk Swasti saba Padapa di kota Depok, Pak Walikota menyatakan telah membuat peraturan yang melarang menjual minum-minuman keras dalam jarak tertentu. Juga kutemukan beberapa orang dokter, dosen yang meluangkan waktunya yang padat untuk membantu terwujudnya kota sehat. Dan tidak, mereka tidak mengharapkan imbalan.
Walaupun aku juga mengenal ada orang-orang tertentu yang tidak mencerminkan kepatutan sebagai panutan. Tapi secara individual aku menyimpulkan bahwa mereka-mereka itu yang tidak layak hanya mempunyai dua alasan, yaitu kurangnya tingkat pemahaman atau cinta dunia.
Dan kini aku masuk ke dalamnya, menjadi bagian dari Duta-duta Dakwah. Sindiran dari mulai yang terhalus sampai yang paling kasar pernah kudapati, olokan dan cemoohan juga kerap menghampiri.
Ah, memang menjadi Duta Dakwah itu tidak mudah! Setiap gerak langkah akan memacu mata untuk melirik kemudian berkomentar. Karena seperti yang kualami dulu, informasi yang keliru hanya bisa diatasi dengan karakter yang nyata. Duta Dakwah yang bertindak sebagai teladan bukan berhenti pada slogan, yang lisannya lembut dalam memberi teladan bukan bermulut penuh dengan cacian.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Ali 'Imran : 159)
Penulis : Herriyati
Depok, Jawa Barat
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 comments:
Post a Comment