Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Buatlah Syetan Kecele

Written By mimin on Wednesday, September 15, 2010 | 6:00 PM


Ramadhan telah meninggalkan kita. Tamu yang sangat istimewa itu pergi dan hanya akan kembali pada kita sebelas bulan lagi. Itupun kalau kita diberikan umur yang panjang oleh Allah SWT hingga setahun mendatang. Tidak heran jika para sahabat dan salafus shalih sangat kehilangan, bersedih, dan menangis karenanya.

Diantara keistimewaan bulan Ramadhan yang tidak bisa ditemui lagi di bulan Syawal ini adalah dibelenggunya syetan penggoda manusia. Maka kita pun mendapati kebaikan-kebaikan begitu mudah dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatanlebih mudah dihindari, dan masyarakat kita menjadi lebih islami. Kedamaian hidup begitu terasa satu bulan yang lalu. Tanpa kemarahan, tanpa luapan emosi yang berarti.

Kini kita telah berada di bulan Syawal. Dan itu artinya, syetan-syetan dikembalikan untuk menggoda kita. Sebuah kabar buruk. Tetapi juga sebuah peluang yang bagus. Mengapa? Karena inilah saatnya melihat siapa kita sebenarnya. Apakah kita termasuk rabbani atau ramadhani. Rabbani jika kita tetap beribadah kepada Allah di bulan apapun. Ramadhani jika kita hanya beribadah dengan giat di bulan Ramadhan saja, lalu selepas Ramadhan kita malas mendekatkan diri pada-Nya. Tentu pilihan yang terbaik adalah menjadi hamba yang rabbani. Sebagaimana perintah Allah dalam QS. Ali Imran ayat 79. Kemudian sebagian ulama menasehatkan: "Kun rabbaaniyan wa laa takun ramadhaaniyan." Jadilah hamba yang rabbani, jangan jadi hamba yang ramadhani. Baik hanya di bulan Ramadhan. Beribadah hanya di bulan Ramadhan.

Peluang bagus yang kedua, selepas Ramadhan ini adalah justru saat yang tepat untuk membuat syetan kecele? Bagaimana caranya? Bukankah Allah telah membelenggu mereka selama Ramadhan? Itu berarti mereka tidak bertemu untuk menggoda kaum muslimin selama satu bulan penuh. Jika kita benar-benar bisa mempertahankan keimanan, ibadah, dan kebaikan-kebaikan kita seperti pada bulan Ramadhan, maka syetan akan kecele karena menjumpai kita dalam kondisi yang berbeda dengan saat ketika mereka meninggalkan kita satu bulan sebelumnya. Syetan akan kecele sekaligus kecewa karena mendapati kita berubah. Lebih susah digoda, lebih sulit dibujuk, lebih sukar dirayu.

Intinya adalah Istiqamah
Ketika kita berupaya menjadi hamba yang rabbani, sekaligus membuat syetan kecele, pada hakikatnya yang kita upayakan adalah sikap istiqamah. Kita berusaha menetapi Islam dan tetap lurus di atas jalan-Nya. Artinya pula, kita berusaha stabil dalam kebaikan; mempertahankan nilai-nilai Ramadhan yang telah berhasil kita gapai di bulan suci itu.

Persoalannya, istiqamah bukanlah hal yang mudah. Ini pekerjaan berat! Bahkan Rasulullah SAW merasakan betapa beratnya istiqamah sehingga ketika diturunkan ayat tentang perintah istiqamah, rambut beliau beruban. Ayat itu adalah firman Allah SWT yang artinya:

"Maka istiqamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Huud : 112)

Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur'an mengetengahkan hadits Nabi: "Sayyabathnii Huud" (Surat Hud telah membuat rambutku beruban). Sedangkan Ibnu Katsir meletakkan sabda Rasulullah tersebut di awal surat Huud ketika memberikan pengantar sebelum memulai tafsir surat tersebut.

Apa yang Didapatkan dengan Istiqamah?
Meskipun berat, istiqamah adalah satu-satunya pilihan bagi mukmin. Tidak ada pilihan jalan lain, sebab demikianlah perintah Allah yang kemudian dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Dengan istiqamah, seorang muslim akan mendapatkan hasil besar sebanding dengan beratnya istiqamah itu.

Pertama, istiqamah mendatangkan kecintaan Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
"Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit" (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentu akan menjadi lebih utama lagi jika amalnya banyak dan dilakukan secara terus menerus. Membaca Al-Qur'an bukan hanya sebatas Ramadhan. Demikian pula qiyamullail, infaq/shadaqah, dan amal-amal lainnya.

Kedua, istiqamah adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Cobalah amati, kita akan mendapati kenyataan bahwa mereka yang sukses adalah yang istiqamah. Yang ajeg dengan amal-amalnya. Seperti keberhasilan Ahmad Abdurrahman As-Sa'ati (ayah Hasan Al-Banna). Dalam keterbatasan ekonomi, ia terus mengorganisir hadits Musnad Imam Ahmad dan memberikan syarah/penjelasan. Ia cetak sendiri kitab-kitabnya, hingga terbitlah Fathur Rabbani sebanyak 24 jilid yang fenomenal itu. Atau Mutammimul Ula (anggota DPR dari PKS) dan Wirianingsih yang istiqamah mendidik putra-putrinya, khususnya memanfaatkan waktu ba'da Maghrib dan Subuh untuk mengajari dan menjaga hafalan putra-putrinya. Jadilah kesepuluh anak mereka menjadi penghafal Al-Qur'an.

Demikian pula kesuksesan di akhirat. Kita tak pernah tahu kapan malaikat maut datang mencabut nyawa kita. Namun dengan istiqamah, kita berusaha tetap berada dalam kebaikan sehingga kapan pun Malaikat Maut datang kita tetap dalam kondisi baik. Dengan demikian insya Allah kita termasuk husnul khatimah.

Ketiga, istiqamah akan membuat kita memiliki tiga keistimewaan: asy-syaja'ah (keberanian), al-ithmi'nan (ketenangan), dan at-tafa'ul (optimis). Ketiganya ini firimankan Allah SWT dalam QS. Fushilat ayat 30, yang artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Tuhan kami adalah Allah' kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: 'Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu'." (QS. Fushilat : 30)

Ketika menafsirkan ayat ini, ulama salaf merujuk pada hadits bahwa malaikat itu datang ketika seorang mukmin dalam kondisi sakaratul maut. Sedangkan ulama muta'akhirin mengatakan bahwa ketiganya juga bisa dirasakan mukmin dalam kehidupan ini. Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]

*Judul "Buatlah Syetan Kecele" ini diambil dari judul artikel Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA pada buku Mutiara Ramadhan hal.13
*Tulisan ini juga dimuat di buletin Ukhuwah edisi Jum'at, 8 Syawal 1431 H / 17 September 2010

0 comments:

Post a Comment