Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Memahami Remaja Lebih Dekat

Written By mimin on Saturday, July 20, 2013 | 2:00 AM

“Menjadi seorang musyrifah (pembina asrama), guru atau ustadzah bukan hanya sekedar mengelola manusia (murid atau santri). Tapi ia mengelola hati dan perasaan (jiwa) seseorang” kata ustadz Sholihun dalam perjalanan terakhir saya ke Srunen awal Juli lalu. Maksudnya adalah kita tidak sekedar mengatur adik-adik binaan kita, santri atau murid kita. Yang dalam perjalanannya kita minta mereka begini dan begitu sesuai dengan berbagai program yang telah kita buat sedemikian rupa. Ada hati di sana, ada perasaan di sana, yang sewaktu-waktu berubah sesuai dengan mood dan pikiran.

Karena pada dasarnya menjadi seorang musyrifah, guru, ustadzah atau apalah sebutannya bukan hanya sekedar memberi materi-materi yang telah disesuaikan dengan kurikulum yang telah dibuat. Tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan murid atau santri kita.

Kadang kala ketika kita menyusun berbagai program dan kurikulum kita lupa bahwa ada jiwa-jiwa yang perlu kita perhatikan perasaannya, perlu kita dekati secara khusus, dan perlu kita berikan bimbingan agar menjadi pribadi yang baik karakter dan kepribadiannya.

Terutama mengelola siswa MTs atau setingkat SMP. Di mana pada masa itu adalah masa pertengahan antara anak-anak dan dewasa. Masa yang kepribadiannya bisa berubah-ubah sewaktu-waktu , masa yang membutuhkan inspirasi dalam kehidupannya. Emosinya labil dan sangat peka terhadap cara pandang orang lain terhadap diri mereka. Dan pada masa ini pengaruh teman sebaya sangat kuat terhadapnya. Maka tak heran apabila di rumah kita menjumpai adik kita yang pendiam namun setelah sering bergaul dengan teman sebayanya yang rame adik kita berubah.

Contohnya dulu sewaktu saya menjadi musyrifah di SMPIT Abu Bakar Yogya. Dulu saya kelompokkan adik-adik yang kurang rapi atau akhlaknya kurang dengan mereka yang baik dan penurut. Dalam beberapa bulan si adik yang agak ngeyelan dan kalau sholat selalu di baris belakang perlahan berubah. Sholatnya mulai rajin, karakternya juga mulai membaik.

Saudaraku, memahami remaja tidak seperti memahami anak-anak atau orang dewasa. Jikalau anak-anak, mungkin mereka cukup dibilangin lalu nurut atau sekedar bertanya “buat apa ustadzah?” atau kalau orang dewasa mereka akan mengerti atau sesekali mereka protes dengan bahasa yang sudah mereka pilih. Tapi kalau remaja, mereka bukan sekedar bertanya atau protes, ngeyel, manyun atau bahkan ketika emosi mereka tidak terkendali, mereka akan membentak dan melakukan hal-hal yang kasar adalah hal yang sering terjadi.

Maka di sinilah perasaan atau jiwa itu harus kita kelola, mengingat tipe anak-anak sangat beragam. Ada mereka yang cuek, ada mereka yang penurut, ada mereka yang manyun dan suka membantah, ada yang lugu, ada yang polos dan berbagai karakter mereka sesuai dengan latar belakang dan background mereka.

Dalam dauroh murobbi pesatren beberapa waktu yang lalu, kak wahyu salah seorang pembicaranya menjelaskan tentang keterampilan memahami remaja. Yang pertama yakni, memahami penyebabnya. Maksudnya kita cari tahu penyebab dari prilaku remaja tersebut. Misalnya, dulu salah seorang santri saya di Abu Bakar ada yang tiba-tiba menjadi pendiam dan sekali ngomong nyelekit bahasa Gresiknya, padahal biasanya si adik selalu ceria. Ternyata setelah kami telisik, dia merasa malu karena akan punya adik lagi. Atau ada salah seorang santri yang emosinya labil, sedikit-sedikit manyun, eh ternyata keluarganya broken home, ayah dan ibunya pisah saat dia masih TK.

Yang kedua adalah memberikan empati, yakni dengan memberikan perhatian pada hal-hal kecil. Misalnya dengan mengetahui kebiasaan makannya, di mana letak sepatunya, atau warna atau kesukaannya dll. Mungkin terkesan sepeleh tapi itu akan menjadi kesan tersendiri buat adik-adik. Karena kalau hal-hal kecil saja diperhatikan apalagi yang besar?

Yang ketiga yakni berbicara dari hati kehati. Yakni apabila terjadi sebuah prilaku yang kurang maka kita ajak bicara pelan-pelan. Kita minta dia menceritakan atau curcol sama kita dengan cara yang baik dan kalau bisa kita luluhkan hatinya.

Dan yang terakhir dengan melakukan konseling. Konseling ini bisa dilakukan dengan memanggil satu persatu, atau dengan melakukan pendekatan spiritual vision atau memberikan pemahaman pada anak-anak bahwa apa yang mereka lakukan adalah tidak sesuai syariat misalnya.

Contohnya ketika terjadi kasus pencurian dalam sebuah asrama, kita buat renungan, kita pahamkan pada anak-anak bahwa mencuri adalah akhlak tercela, dan hukumnya adalah haram. Kalau tidak ada yang mengaku maka kita panggil satu persatu, dan kita tanyakan baik-baik.

Kemudian dalam dauroh tersebut beliau juga menjelaskan hal-hal yang harus dihindari oleh seorang guru, ustadzah, atau teacher bahasa Inggrisnya. Yang pertama adalah membandingkan. Setiap anak atau remaja adalah unik, dia punya karakter yang khas. Dia juga ingin dihargai dan diapresiasi sekecil apapun prestasinya, dia ingin diakui eksistensi dirinya. Karena pada masa ini adalah masa pencarian jati diri mereka dan masa yang labil. Sekali mereka tidak dihargai mereka akan jatuh dan tidak akan mau berusaha lagi.

Misalnya saja, adik kita mendapat rangking 16 di kelasnya, sementara tetangga mendapat rangking 3 besar. Maka jangan sekali-kali membandingkan dia dengan tetangga kita tersebut. Kita hargai adik kita yang sudah berusaha keras untuk mendapatkan yang terbaik dan kita motivasi agar ke depannya dia berusaha lebih giat lagi hingga dapat meningkatkan prestasinya. Atau misalnya si A punya prestasi di bidang sastra tapi nilai matematikanya jeblok. Maka jangan sekali-kali menjust bahwa anak ini bodoh, tidak bisa, dan membandingkan dengan temannya yang nilainya bagus. Dia akan ngedrop dan meninggalkan hobinya menulis cerpen misalnya. Padahal di situlah bakatnya. Maka hendaklah kita bisa memotivasinya agar dia terus mengasah bakatnya hingga suatu saat dia bisa menjadi penulis besar.

Yang kedua yakni pilih kasih. Saudaraku, janganlah sekali-kali kita pilih kasih pada salah satu murid atau santri kita. Karena hal ini akan menimbulkan kesenjangan sosial diantara anak-anak. Tidak ada bedanya mau santri yang rajin, mau santri yang penurut, mau santri yang ngeyelan. Semuanya sama. Mereka punya karakter yang unik dan perlu penyikapan yang berbeda-beda.

Dan yang terakhir yakni, cuek, pasif, masa bodoh. Setiap anak selalu ingin diperhatikan, baik itu orang tua, teman, atau gurunya. Apalagi mereka yang punya prilaku “spesial” yang memerlukan perhatian khusus. Maka sikap cuek, pasif, dan masa bodoh terhadap mereka sudah selayaknya kita hindari sebagai seorang guru. Kalau kata ustadz Musyafa’, sikap ini merupakan ciri guru yang tidak bertanggung jawab. Karena seorang guru adalah pendidik, pejuang, seorang yang banyak berkorban dan seorang kader yang terus mengembangkan diri yang terus melakukan perbaikan diri.

Saudaraku, semoga yang sedikit ini menjadi pelajaran buat kita dalam memahami adik-adik, murid atau santri kita yang masih remaja. Karena mereka adalah pribadi yang unik, pibadi yang khas yang memerlukan penyikapan yang berbeda-beda.

Maka sikap pertama yang harus kita miliki dan selalu kita memiliki adalah sabar. Karena di balik kesabaran ada keikhlasan dan ketulusan, yakni ikhlas ketika sikap labil mereka membuat mereka bersikap kasar terhadap kita, dan tulus dalam memberikan setiap bimbingan dan arahan kepada mereka. Karena di balik kesabaran ada sikap qona’ah, yakni menerima mereka dengan segala keunikan sikap mereka, menerima mereka satu paket kelebihan dan kekurangan mereka. Dan di balik kesabaran itu pula ada ketegaran, yakni tegar dalam menghadapi segala bentuk tingkah laku mereka.

Waallahu a’lam bish shawab.... [Ukhtu Emil]

0 comments:

Post a Comment