Jika kita mau jujur, tanpa melihat perintah langit pun, menikah sejatinya adalah pangilan jiwa, kebutuhan yang tak terelakkan dalam diri setiap manusia. Apalagi, ketika usia menginjak dewasa, rasa sepi yang menggelayuti tanpa diminta, hanya bisa diobati dengan hadirnya belahan hati bernama suami atau istri. Dari sudut pandang ini saja, siapapun kita, tak layak rasanya jika mempersulit diri. Apalagi, jika ada orang, baik orang tua maupun keluarga yang turut campur dalam memperlama proses suci yang disebut al-Qur’an dengan istilah perjanjian yang kuat itu.
Orang tua atau keluarga yang mempersulit anaknya untuk menikah ini, jika mereka menggunakan alasan yang tak syar’i, sejatinya mereka telah menggali lubang maksiat untuk putra/putri juga keluarganya. Apalagi, para pendahulu umat ini telah banyak memberikan contoh tentang peran orang tua dalam memilihkan pasangan hidup bagi anaknya.
Sebut saja kisah Khalifah Umar bin Khaththab yang mengumpulkan anak-anaknya untuk menikahi anak penjual susu yang jujur dan takut kepada Allah sebagai RabbNya, di tengah anak-anaknya itu, al-Faruq dengan tegas mengatakan, “Nikahi gadis itu, jika tidak ada yang mau, aku yang akan menikahinya.” Terang sekali perintah ini. Dasarnya jelas, wanita itu dipilih karena kualitas iman dan taqwanya, tanpa melihat orang tua dan status sosialnya. Padahal, kala itu, Umar adalah khalifah. Pemimpin tertinggi dari sebuah pemerintahan Islam.
Dalam cerita lain, ketika Umar meminta ijin untuk menikahi Ummu Kultsum kepada ayahnya, Ali bin Abi Thalib, Umar dengan tegas mengatakan, sebanyak dua kali, “Nikahkan aku dengannya.” Ini adalah pertanda keberanian yang berbalut taqwa, bukan nekat tanpa persiapan. Atau nekat, tanpa tahu diri. Lantas, Ali menjawab bahwa ia sudah mempersiapkan Ummu Kultsum dengan keponakannya.
Kisah kedua ini, menandakan bahwa Ali, jauh-jauh hari sudah mempersiapkan anaknya untuk menikah dengan siapa. Tentu, ini adalah bukti bahwa keluarga tersebut adalah keluarga yang menjadikan Allah sebagai tujuannya, satu buktinya : mereka tidak mempersulit keluarganya dalam melakukan ibadah.
Sayangnya, di zaman kita ini, pun ketika orang tua menjodohkan kita dengan calon yang sholih/ah, banyak diantara kita yang menolak dengan dalih bahwa zamannya sudah berbeda. Bahwa sekarang bukan lagi musimnya Siti Nurbaya. Bahwa saat ini, anak-anak bebas mau menikah dengan siapa, asal suka sama suka. Padahal, ketika anak-anak itu salah pilih –misalnya- maka iapun tetap dan hanya akan mengadu kepada orang tuanya.
Nah, ketika bisikan-bisikan hati untuk menikah itu sudah timbul, seringkali diiringi kebimbangan yang tak kalah dahsyatnya. Ironisnya, bisikan keraguan itu seringkali tak beralasan, bahkan -maaf- terkesan dibuat-buat. Dan, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an maupun sunnah nabi. Ini perlu diluruskan, mengingat dampak buruk dari menunda menikah dengan alasan yang jauh dari nilai agama, salah satunya adalah menjamurnya bujangan sehingga memperlama lahirnya generasi yang bisa dididik untuk memakmurkan negeri dengan taqwa.
Dampak lainnya, bujangan-bujangan itu –seringkali- mudah terjerumus dengan maksiat hingga akhirnya memilih jalan pintas untuk memuaskan nafsunya. Baik terhadap pasangan tak halal, atau sengaja ‘membeli’ yang haram namun diperdagangkan. Lantas, bagaimana caranya meyakinkan diri, bahwa dia adalah yang terbaik untuk kita?
Yang paling awal untuk difahami adalah, menikah itu melaksanakan perintah Allah. Maka hanya kepadaNyalah kita diwajibkan mengembalikan semua persoalan. Jika memang belum menemukan tambatan hati, berdoalah, “Ya Allah, aku ingin melakukan sunnah nabiMu, menikah. Pilihkan untukkku jodoh terbaik, dengan caraMu.”
Ikuti doa itu dengan perbanyak ibadah. Wajib dan sunnah, juga semua yang disyari’atkan. Insya Allah, yang terbaik akan segera dihadirkan. Jika misalnya sudah menemukan ‘calon’ dengan cara yang benar, maka doa tak boleh ditingalkan pula, “Ya Allah, berikan petunjuk kepadaku. Jika dia baik untukku, segerakan kami menyatu dalam mencintaiMu. Jika bukan, jauhkan dengan cara terbaik, dan berikan ganti yang terbaik pula.”
Doa ini, harus dilakukan berulang-ulang. Iringi dengan istikharoh yang disunnahkan. Jangan lupa meminta nasehat dari orang bijak di sekitar kita. Mulai orang tua, ustadz, sahabat, dan seterusnya. Jika niatmu untuk menikah dengannya dimudahkan, bisa jadi, itu adalah salah satu pertanda bahwa dia memang baik bagi diri, keluarga dan agamamu. Ingat, misi kita menikah bukan sekedar menghilangkan sepi sendiri -tapi lebih dari itu- menikah adalah melakukan salah satu sunnah Rasulullah yang mulia.
Ketika sudah selesai meminta ‘pertimbangan’ dari Allah, selanjutnya, yakinkan dirimu. Ini sangat penting. Karena sebijak apapun nasehat dari orang lain. Atau, seburuk apapun komentar dari penonton, maka andalah yang akan menjalani. Dalam tahap ini, ketika komentar dan nasehat dirasa tak lagi sehat, cobalah gunakan satu logika, “Jika anda bahagia, dan anda tidak melanggar aturanNya, meskipun seluruh dunia menolak anda, maka lakukan itu karenaNya.” Ini sudah lebih dari cukup. Karena, setelah menikah, anda berdualah yang akan menanggung semuanya.
Jika misalnya, dia adalah orang baik namun dipersepsi buruk oleh orang lain bahkan keluarga anda sebelum menikah, setelah menikah maka andalah orang pertama yang akan menerima kebaikannya. Jika sebaliknya, dia buruk tapi dipersepsi baik oleh orang lain, maka anda pula yang akan merasakan keburukannya pertama kali. Jadi, egois itu tidak baik. Tapi dalam tahap-tahap tertentu, ia bisa anda gunakan. Asal, jangan over dosis.
Terakhir, yakinkan keluarga anda dan keluarga calon pasangan anda. Ini tak kalah pentingnya. Karena bagaimanapun, anda bisa besar seperti sekarang ini adalah lantaran peran keluarga anda. Tanpa mereka, mungkin anda sudah terbuang di tempat entah tanpa mendapatkan penghidupan yang layak. Jika bukan karena keluarga anda, bisa jadi, saat ini anda tengah terlunta-lunta dalam ketidakjelasan tanpa ujung. Jika misalnya, keluarga tidak menerima calon yang anda usulkan lantaran tingginya kurang sekian sentimeter atau kulitnya kurang langsat, sebaiknya anda bicarakan baik-baik.
Bahwa menikah adalah ibadah. Jikapun casing kurang menarik, jika akhlak dan agamanya baik, maka anda wajib mencari ribuan cara, agar calon yang anda ajukan itu diterima oleh keluarga anda. Ini hanya soal persepsi saja. Apalagi, jika keluarga anda belum melek agama. Seringkali, penilaian hanya berasal dari yang tampak saja : harta, tahta dan strata.
Begitupun keluarga calon pendamping anda. Mereka, selepas ijab qobul, adalah keluarga anda juga. Jika mereka baik, anda akan nyaman. Jika mereka buruk, anda pun akan terkena dampaknya. Dalam tahap ini, selalu gunakan akal sehat sesuai yang diajarkan Islam. Jika misalnya, mereka menolak anda hanya karena belum punya rumah, maka ada baiknya anda berpikir ulang. Lantaran harta dijadikan satu-satunya alasan. Namun, jika mereka melihat kesungguhan anda, lalu menerima dan mendukung, semoga itu adalah pertanda kebaikan.
Kunci sukses langkah terakhir ini, ada pada diri anda. Karena, kebanyakan pemuda gagal meyakinkan orang tua dan calon mertuanya, bersebab dari belum bisanya dia dalam meyakinkan dirinya sendiri. Jika ia saja masih bimbang, bagaimana mungkin bisa meyakinkan orang lain? []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Orang tua atau keluarga yang mempersulit anaknya untuk menikah ini, jika mereka menggunakan alasan yang tak syar’i, sejatinya mereka telah menggali lubang maksiat untuk putra/putri juga keluarganya. Apalagi, para pendahulu umat ini telah banyak memberikan contoh tentang peran orang tua dalam memilihkan pasangan hidup bagi anaknya.
Sebut saja kisah Khalifah Umar bin Khaththab yang mengumpulkan anak-anaknya untuk menikahi anak penjual susu yang jujur dan takut kepada Allah sebagai RabbNya, di tengah anak-anaknya itu, al-Faruq dengan tegas mengatakan, “Nikahi gadis itu, jika tidak ada yang mau, aku yang akan menikahinya.” Terang sekali perintah ini. Dasarnya jelas, wanita itu dipilih karena kualitas iman dan taqwanya, tanpa melihat orang tua dan status sosialnya. Padahal, kala itu, Umar adalah khalifah. Pemimpin tertinggi dari sebuah pemerintahan Islam.
Dalam cerita lain, ketika Umar meminta ijin untuk menikahi Ummu Kultsum kepada ayahnya, Ali bin Abi Thalib, Umar dengan tegas mengatakan, sebanyak dua kali, “Nikahkan aku dengannya.” Ini adalah pertanda keberanian yang berbalut taqwa, bukan nekat tanpa persiapan. Atau nekat, tanpa tahu diri. Lantas, Ali menjawab bahwa ia sudah mempersiapkan Ummu Kultsum dengan keponakannya.
Kisah kedua ini, menandakan bahwa Ali, jauh-jauh hari sudah mempersiapkan anaknya untuk menikah dengan siapa. Tentu, ini adalah bukti bahwa keluarga tersebut adalah keluarga yang menjadikan Allah sebagai tujuannya, satu buktinya : mereka tidak mempersulit keluarganya dalam melakukan ibadah.
Sayangnya, di zaman kita ini, pun ketika orang tua menjodohkan kita dengan calon yang sholih/ah, banyak diantara kita yang menolak dengan dalih bahwa zamannya sudah berbeda. Bahwa sekarang bukan lagi musimnya Siti Nurbaya. Bahwa saat ini, anak-anak bebas mau menikah dengan siapa, asal suka sama suka. Padahal, ketika anak-anak itu salah pilih –misalnya- maka iapun tetap dan hanya akan mengadu kepada orang tuanya.
Nah, ketika bisikan-bisikan hati untuk menikah itu sudah timbul, seringkali diiringi kebimbangan yang tak kalah dahsyatnya. Ironisnya, bisikan keraguan itu seringkali tak beralasan, bahkan -maaf- terkesan dibuat-buat. Dan, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an maupun sunnah nabi. Ini perlu diluruskan, mengingat dampak buruk dari menunda menikah dengan alasan yang jauh dari nilai agama, salah satunya adalah menjamurnya bujangan sehingga memperlama lahirnya generasi yang bisa dididik untuk memakmurkan negeri dengan taqwa.
Dampak lainnya, bujangan-bujangan itu –seringkali- mudah terjerumus dengan maksiat hingga akhirnya memilih jalan pintas untuk memuaskan nafsunya. Baik terhadap pasangan tak halal, atau sengaja ‘membeli’ yang haram namun diperdagangkan. Lantas, bagaimana caranya meyakinkan diri, bahwa dia adalah yang terbaik untuk kita?
Yang paling awal untuk difahami adalah, menikah itu melaksanakan perintah Allah. Maka hanya kepadaNyalah kita diwajibkan mengembalikan semua persoalan. Jika memang belum menemukan tambatan hati, berdoalah, “Ya Allah, aku ingin melakukan sunnah nabiMu, menikah. Pilihkan untukkku jodoh terbaik, dengan caraMu.”
Ikuti doa itu dengan perbanyak ibadah. Wajib dan sunnah, juga semua yang disyari’atkan. Insya Allah, yang terbaik akan segera dihadirkan. Jika misalnya sudah menemukan ‘calon’ dengan cara yang benar, maka doa tak boleh ditingalkan pula, “Ya Allah, berikan petunjuk kepadaku. Jika dia baik untukku, segerakan kami menyatu dalam mencintaiMu. Jika bukan, jauhkan dengan cara terbaik, dan berikan ganti yang terbaik pula.”
Doa ini, harus dilakukan berulang-ulang. Iringi dengan istikharoh yang disunnahkan. Jangan lupa meminta nasehat dari orang bijak di sekitar kita. Mulai orang tua, ustadz, sahabat, dan seterusnya. Jika niatmu untuk menikah dengannya dimudahkan, bisa jadi, itu adalah salah satu pertanda bahwa dia memang baik bagi diri, keluarga dan agamamu. Ingat, misi kita menikah bukan sekedar menghilangkan sepi sendiri -tapi lebih dari itu- menikah adalah melakukan salah satu sunnah Rasulullah yang mulia.
Ketika sudah selesai meminta ‘pertimbangan’ dari Allah, selanjutnya, yakinkan dirimu. Ini sangat penting. Karena sebijak apapun nasehat dari orang lain. Atau, seburuk apapun komentar dari penonton, maka andalah yang akan menjalani. Dalam tahap ini, ketika komentar dan nasehat dirasa tak lagi sehat, cobalah gunakan satu logika, “Jika anda bahagia, dan anda tidak melanggar aturanNya, meskipun seluruh dunia menolak anda, maka lakukan itu karenaNya.” Ini sudah lebih dari cukup. Karena, setelah menikah, anda berdualah yang akan menanggung semuanya.
Jika misalnya, dia adalah orang baik namun dipersepsi buruk oleh orang lain bahkan keluarga anda sebelum menikah, setelah menikah maka andalah orang pertama yang akan menerima kebaikannya. Jika sebaliknya, dia buruk tapi dipersepsi baik oleh orang lain, maka anda pula yang akan merasakan keburukannya pertama kali. Jadi, egois itu tidak baik. Tapi dalam tahap-tahap tertentu, ia bisa anda gunakan. Asal, jangan over dosis.
Terakhir, yakinkan keluarga anda dan keluarga calon pasangan anda. Ini tak kalah pentingnya. Karena bagaimanapun, anda bisa besar seperti sekarang ini adalah lantaran peran keluarga anda. Tanpa mereka, mungkin anda sudah terbuang di tempat entah tanpa mendapatkan penghidupan yang layak. Jika bukan karena keluarga anda, bisa jadi, saat ini anda tengah terlunta-lunta dalam ketidakjelasan tanpa ujung. Jika misalnya, keluarga tidak menerima calon yang anda usulkan lantaran tingginya kurang sekian sentimeter atau kulitnya kurang langsat, sebaiknya anda bicarakan baik-baik.
Bahwa menikah adalah ibadah. Jikapun casing kurang menarik, jika akhlak dan agamanya baik, maka anda wajib mencari ribuan cara, agar calon yang anda ajukan itu diterima oleh keluarga anda. Ini hanya soal persepsi saja. Apalagi, jika keluarga anda belum melek agama. Seringkali, penilaian hanya berasal dari yang tampak saja : harta, tahta dan strata.
Begitupun keluarga calon pendamping anda. Mereka, selepas ijab qobul, adalah keluarga anda juga. Jika mereka baik, anda akan nyaman. Jika mereka buruk, anda pun akan terkena dampaknya. Dalam tahap ini, selalu gunakan akal sehat sesuai yang diajarkan Islam. Jika misalnya, mereka menolak anda hanya karena belum punya rumah, maka ada baiknya anda berpikir ulang. Lantaran harta dijadikan satu-satunya alasan. Namun, jika mereka melihat kesungguhan anda, lalu menerima dan mendukung, semoga itu adalah pertanda kebaikan.
Kunci sukses langkah terakhir ini, ada pada diri anda. Karena, kebanyakan pemuda gagal meyakinkan orang tua dan calon mertuanya, bersebab dari belum bisanya dia dalam meyakinkan dirinya sendiri. Jika ia saja masih bimbang, bagaimana mungkin bisa meyakinkan orang lain? []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment