Satu diantara banyaknya hal yang harus kita ingat bersama. Dan, harus selalu disampaikan kepada semua kita; yang peduli dengan Islam dan kemenangannya di semua lini.
Bahwa, ketika aroma kemenangan sudah teramat menyengat, menabrak ke indra penciuman kita, ketika kita sudah melihat gelombang orang-orang masuk ke dalam kebaikan-kebaikan yang selama ini kita promosikan, maka satu hal yang mesti kita ingat, bahwa perasaan besar diri, seringkali menggelincirkan kita.
Bahwa, sebesar apapun, sedahsyat apapun gelombang yang berhasil diciptakan karena akumulasi kebaikan, harus terus diistighfari dan disikapi dengan rendah hati. Bahwa semua itu, hanya terjadi karena Allah, bukan karena upaya-upaya kita yang ala kadarnya itu.
Kita juga mesti ingat, bahwa ketergelinciran pasukan 'Uhud, terjadi karena merasa jumawah, kemudian silau dengan banyaknya ghonimah.
Kita juga mesti ingat baik-baik, ketika kemenangan Penaklukan Makkah, kemudian Rasulullah berkhutbah dalam Haji Wada', yang diturunakan justru surah tentang kemenangan, di dalamnya, kita diperintahkan untuk terus bertasbih dengan nama Allah, dan beristighfar; meminta ampun, barangkali dalam upaya kita yang sudah dilakukan selama ini, ada dosa-dosa yang dilakukan, sengaja atau tidak.
Closing ayat ini, "Sesungguhnya Dia Maha menerima taubat." Diriwayatkan, Abu Bakar yang mengerti makna ayat ini, justru menangis ketika sahabat yang lainnya tertawa. Karena beliau mengerti, bahwa Rasulullah akan segera 'pergi' meninggalkan jama'ah orang-orang pilihan itu.
Ini persis seperti yang dialami oleh Umar bin Khaththab, ketika negara Islam yang dipimpinnya selama 10 tahun, kemudian berhasil melakukan ekspansi ke berbagai penjuru bumi, Umar justru menangis dan berkata, "Aku khawatir, karena dulu, zamannya Rasulullah dan Abu Bakar, Islam tak melebar seluas ini."
Akhirnya, kita mesti melanjutkan menunduk dalam tafakkur yang dalam, di sepertiga malam terakhir kita. Ketika itu, hati kita tak bisa berbohong. Ketika itu, saatnya kita 'berdua' dan mengadukan semuanya kepada Allah.
Insya Allah, istighfar-istighfar itu, tasbih-tasbih itu, dan kerendahan hati kita untuk tetap membumi, adalah kunci paling tepat untuk menyikapi aroma kemenangan yang semakin menggejala. Sembari terus berbisik, "Perang belum usai, jalan masih panjang. Banyak hal yang harus terus dilakukan. Bukankah amal kita belum ada seujung kuku jika dibandingkan dengan amal para pendahulu kita itu?"
Robbi, terimalah tangis kami ini. Tangis yang lahir, karena haru. Bahwa, masih banyak orang yang menaruh harap pada kami. Masih banyak orang yang mencinta barisan ini.
Ya Robbi, bimbinglah kami.[]
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com
Bahwa, ketika aroma kemenangan sudah teramat menyengat, menabrak ke indra penciuman kita, ketika kita sudah melihat gelombang orang-orang masuk ke dalam kebaikan-kebaikan yang selama ini kita promosikan, maka satu hal yang mesti kita ingat, bahwa perasaan besar diri, seringkali menggelincirkan kita.
Bahwa, sebesar apapun, sedahsyat apapun gelombang yang berhasil diciptakan karena akumulasi kebaikan, harus terus diistighfari dan disikapi dengan rendah hati. Bahwa semua itu, hanya terjadi karena Allah, bukan karena upaya-upaya kita yang ala kadarnya itu.
Kita juga mesti ingat, bahwa ketergelinciran pasukan 'Uhud, terjadi karena merasa jumawah, kemudian silau dengan banyaknya ghonimah.
Kita juga mesti ingat baik-baik, ketika kemenangan Penaklukan Makkah, kemudian Rasulullah berkhutbah dalam Haji Wada', yang diturunakan justru surah tentang kemenangan, di dalamnya, kita diperintahkan untuk terus bertasbih dengan nama Allah, dan beristighfar; meminta ampun, barangkali dalam upaya kita yang sudah dilakukan selama ini, ada dosa-dosa yang dilakukan, sengaja atau tidak.
Closing ayat ini, "Sesungguhnya Dia Maha menerima taubat." Diriwayatkan, Abu Bakar yang mengerti makna ayat ini, justru menangis ketika sahabat yang lainnya tertawa. Karena beliau mengerti, bahwa Rasulullah akan segera 'pergi' meninggalkan jama'ah orang-orang pilihan itu.
Ini persis seperti yang dialami oleh Umar bin Khaththab, ketika negara Islam yang dipimpinnya selama 10 tahun, kemudian berhasil melakukan ekspansi ke berbagai penjuru bumi, Umar justru menangis dan berkata, "Aku khawatir, karena dulu, zamannya Rasulullah dan Abu Bakar, Islam tak melebar seluas ini."
Akhirnya, kita mesti melanjutkan menunduk dalam tafakkur yang dalam, di sepertiga malam terakhir kita. Ketika itu, hati kita tak bisa berbohong. Ketika itu, saatnya kita 'berdua' dan mengadukan semuanya kepada Allah.
Insya Allah, istighfar-istighfar itu, tasbih-tasbih itu, dan kerendahan hati kita untuk tetap membumi, adalah kunci paling tepat untuk menyikapi aroma kemenangan yang semakin menggejala. Sembari terus berbisik, "Perang belum usai, jalan masih panjang. Banyak hal yang harus terus dilakukan. Bukankah amal kita belum ada seujung kuku jika dibandingkan dengan amal para pendahulu kita itu?"
Robbi, terimalah tangis kami ini. Tangis yang lahir, karena haru. Bahwa, masih banyak orang yang menaruh harap pada kami. Masih banyak orang yang mencinta barisan ini.
Ya Robbi, bimbinglah kami.[]
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment