Ketika mengisi acara motivasi kepada adik-adik pengurus SKI dan Remas SMA dua hari lalu, saya meminta semua peserta untuk mengangkat tangan. "Siapa yang tidak hafal nama ayahnya, silahkan tangannya diturunkan" Alhamdulillah, semua tangan masih terangkat. "Siapa yang tidak hafal nama kakeknya, silahkan tangannya diturunkan" Ternyata sudah ada dua orang yang menurunkan tangan.
"Siapa yang tidak hafal nama ayahnya kakek, silahkan tangannya diturunkan" Kini tinggal empat orang yang masih mengangkat tangan. "Siapa yang tidak hafal nama kakeknya kakek, silahkan tangannya diturunkan" Begitu selesai kalimat ini, tidak ada lagi tangan yang terangkat. Semua telah diturunkan.
Begitulah. Miliyaran orang pernah hidup di bumi ini, tetapi kebanyakan mereka akan langsung dilupakan setelah kematiannya. Namanya hanya bertahan beberapa tahun setelah kematian, itu pun dalam memori keluarga. Seperti adik-adik SMA tadi, kebanyakan kita bahkan tidak hafal nama ayah kakek kita. Jika kita saja tidak tahu, bagaimana orang lain?
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga akan segera hilang dalam pusaran zaman karena tidak berartinya peran kita, atau dunia mengenang kehadiran kita sebab karya dan kontribusi yang bermakna bagi mereka? Alangkah pendeknya sejarah kita jika hanya digoreskan dalam batu nisan. Seperti kata KH. Rahmat Abdullah "Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa tiga baris kata yang dipahatkan di nisan kita : Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian"
Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk memotivasi kita mengejar popularitas atau melambungkan nama. Hingga akhirnya kita tersibukkan dengan kerja-kerja "penokohan", "pencitraan", dan sejenisnya. Kita lalu terlupa dengan peran utama dalam menanam kebaikan dan menabur kemanfaatan. Kita menjadi tidak ikhlas: bukan mengejar ridha-Nya tapi mengejar apresiasi dari makhluk-Nya.
Betapa sulitnya memenangkan ikhlas atas tendensi popularitas hingga Ibnul Mubarok merasa perlu menulis surat pada Sufyan Ats-Tsauri, “Hati-hatilah dengan popularitas”. Namun, toh keduanya adalah orang-orang yang terkenal hingga zaman kita kini.
Ibrahim bin Adham juga pernah mengatakan: “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” Namun siapa yang berani mengatakan Ibrahim bin Adham tidak bertaqwa? Toh namanya mewangi hingga kini. Ia tak mengejar popularitas, namun popularitas tak mau berpisah dengannya.
Ternyata popularitas hakiki memang akan mengikuti peran dan kontribusi seseorang. Di mana ada sumber mata air kemanfaatan, di sana ada arus popularitas. Siapa yang menyinarkan cahaya kebaikan, bayangan popularitas akan mengikutinya di balik setiap peran dan kontribusi yang dilakukannya.
Sedangkan popularitas yang diperoleh melalui rekayasa dan kebusukan, ia hanya sementara dan akan segera hilang. Seumpama lilin yang nyalanya akan membakar dirinya sendiri. "Aku tidak mengetahui ada seseorang yang menginginkan popularitas kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang", demikian kesaksian Basyr bin Al-Harits Al-Hafi. Sejarah pun mencatat, terlalu banyak mereka yang berdiri di atas popularitas, namun bukan berdampak pujian, melainkan dihujani hujatan.
Pada akhirnya, peran dan kontribusi seseorang akan menentukan makna kehidupannya sendiri. “Orang yang hanya memikirkan diri sendiri," kata Sayyid Qutb, "ia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil." "Tetapi orang yang mau memikirkan orang lain," lanjutnya, "ia akan menjadi orang besar dan mati sebagai orang besar”.
Maka fokus kita adalah bagaimana menunaikan amanah sebaik-baiknya. Menanam kebaikan di segala ladang kehidupan yang dihamparkan Allah kepada kita. Menabur kemanfaatan pada semua hati dan jiwa yang ditakdirkan oleh berada di sekeliling kita. Kalaupun dunia tidak mengingat nama kita, Allah SWT mengabadikan segala amal kita di memori lauh mahfudz. Asalkan kita senantiasa berorientasi meraih ridha-Nya.[Muchlisin]
"Siapa yang tidak hafal nama ayahnya kakek, silahkan tangannya diturunkan" Kini tinggal empat orang yang masih mengangkat tangan. "Siapa yang tidak hafal nama kakeknya kakek, silahkan tangannya diturunkan" Begitu selesai kalimat ini, tidak ada lagi tangan yang terangkat. Semua telah diturunkan.
Begitulah. Miliyaran orang pernah hidup di bumi ini, tetapi kebanyakan mereka akan langsung dilupakan setelah kematiannya. Namanya hanya bertahan beberapa tahun setelah kematian, itu pun dalam memori keluarga. Seperti adik-adik SMA tadi, kebanyakan kita bahkan tidak hafal nama ayah kakek kita. Jika kita saja tidak tahu, bagaimana orang lain?
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga akan segera hilang dalam pusaran zaman karena tidak berartinya peran kita, atau dunia mengenang kehadiran kita sebab karya dan kontribusi yang bermakna bagi mereka? Alangkah pendeknya sejarah kita jika hanya digoreskan dalam batu nisan. Seperti kata KH. Rahmat Abdullah "Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa tiga baris kata yang dipahatkan di nisan kita : Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian"
Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk memotivasi kita mengejar popularitas atau melambungkan nama. Hingga akhirnya kita tersibukkan dengan kerja-kerja "penokohan", "pencitraan", dan sejenisnya. Kita lalu terlupa dengan peran utama dalam menanam kebaikan dan menabur kemanfaatan. Kita menjadi tidak ikhlas: bukan mengejar ridha-Nya tapi mengejar apresiasi dari makhluk-Nya.
Betapa sulitnya memenangkan ikhlas atas tendensi popularitas hingga Ibnul Mubarok merasa perlu menulis surat pada Sufyan Ats-Tsauri, “Hati-hatilah dengan popularitas”. Namun, toh keduanya adalah orang-orang yang terkenal hingga zaman kita kini.
Ibrahim bin Adham juga pernah mengatakan: “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” Namun siapa yang berani mengatakan Ibrahim bin Adham tidak bertaqwa? Toh namanya mewangi hingga kini. Ia tak mengejar popularitas, namun popularitas tak mau berpisah dengannya.
Ternyata popularitas hakiki memang akan mengikuti peran dan kontribusi seseorang. Di mana ada sumber mata air kemanfaatan, di sana ada arus popularitas. Siapa yang menyinarkan cahaya kebaikan, bayangan popularitas akan mengikutinya di balik setiap peran dan kontribusi yang dilakukannya.
Sedangkan popularitas yang diperoleh melalui rekayasa dan kebusukan, ia hanya sementara dan akan segera hilang. Seumpama lilin yang nyalanya akan membakar dirinya sendiri. "Aku tidak mengetahui ada seseorang yang menginginkan popularitas kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang", demikian kesaksian Basyr bin Al-Harits Al-Hafi. Sejarah pun mencatat, terlalu banyak mereka yang berdiri di atas popularitas, namun bukan berdampak pujian, melainkan dihujani hujatan.
Pada akhirnya, peran dan kontribusi seseorang akan menentukan makna kehidupannya sendiri. “Orang yang hanya memikirkan diri sendiri," kata Sayyid Qutb, "ia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil." "Tetapi orang yang mau memikirkan orang lain," lanjutnya, "ia akan menjadi orang besar dan mati sebagai orang besar”.
Maka fokus kita adalah bagaimana menunaikan amanah sebaik-baiknya. Menanam kebaikan di segala ladang kehidupan yang dihamparkan Allah kepada kita. Menabur kemanfaatan pada semua hati dan jiwa yang ditakdirkan oleh berada di sekeliling kita. Kalaupun dunia tidak mengingat nama kita, Allah SWT mengabadikan segala amal kita di memori lauh mahfudz. Asalkan kita senantiasa berorientasi meraih ridha-Nya.[Muchlisin]
0 comments:
Post a Comment