Kesuksesan Salafi Mesir dalam pemilu mulai menginspirasi kelompok salafi di negara lain, termasuk Yaman. Pada kelompok Salafi Yaman, kini mengemuka pandangan agar "menerima" aktifitas perpolitikan, setidaknya tidak menjauhi sesama salafi yang berjuang melalui parlemen.
Dr. Aqil bin Muhammad Al Miqthari, salah seorang tokoh komunitas Salafi Yaman mengharap agar salafiyun Yaman bisa mengambil pengalaman dari saudara-saudara mereka di Mesir yang berpartisipasi dalam perpolitikan, baru-baru ini.
"Tidak diragukan lagi bahwa salafiyun di sebagian negara telah lihai dalam aktifitas perpolitikan. Mereka telah berjibaku dengannya. Mereka bertarung dalam kerasnya perpolitikan dan mereka juga memiliki peran di garis depan, sebagaimana keadaan di Kuwait, Bahrain dan Mesir. Hendaknya salafiyin di Yaman mengambil pelajaran dari percobaan ini,” kata Al Miqtari.
Al Miqthari menegaskan, "ijtihad" keterlibatan dalam aktifitas perpolitikan bukanlah masalah qath’i namun masalah khilafiyah. Sehingga sesama salafi tidak boleh saling menjauhi, apalagi membid'ahkan.
Di Mesir, pemikiran Salafi mengenai hukum partisipasi di parlemen berubah total pasca revolusi. Saat itu, para tokoh kelompok ini berkumpul untuk berbicara mengenai kemungkinan adanya pengkoreksian ulang pandangan yang mereka anut sebelumnya mengenai hukum bergabung dengan parlemen. Dengan dimotori oleh Syeikh Muhammad Hasan, pertemuan berlangsung. Jama’ah Anshar As Sunnah yang merupakan organisasi tua komunitas serupa mengeluarkan keputusan pada tanggal 12 Maret 2011 mengenai bolehnya berpartisipasi dalam parlemen.
Akhirnya, partisipasi Salafi memunculkan 4 partai politik yang berbasis dari masa mereka, yakni An Nur, Al Ashalah, Al Fadhilah serta Al Ishlah. Partai An-Nur kemudian menjadi partai Salafi terbesar dan mampu menjadi kuda hitam dalam pemilu Mesir dengan memperoleh 24 persen suara. [IK/Hdy]
Dr. Aqil bin Muhammad Al Miqthari, salah seorang tokoh komunitas Salafi Yaman mengharap agar salafiyun Yaman bisa mengambil pengalaman dari saudara-saudara mereka di Mesir yang berpartisipasi dalam perpolitikan, baru-baru ini.
"Tidak diragukan lagi bahwa salafiyun di sebagian negara telah lihai dalam aktifitas perpolitikan. Mereka telah berjibaku dengannya. Mereka bertarung dalam kerasnya perpolitikan dan mereka juga memiliki peran di garis depan, sebagaimana keadaan di Kuwait, Bahrain dan Mesir. Hendaknya salafiyin di Yaman mengambil pelajaran dari percobaan ini,” kata Al Miqtari.
Al Miqthari menegaskan, "ijtihad" keterlibatan dalam aktifitas perpolitikan bukanlah masalah qath’i namun masalah khilafiyah. Sehingga sesama salafi tidak boleh saling menjauhi, apalagi membid'ahkan.
Di Mesir, pemikiran Salafi mengenai hukum partisipasi di parlemen berubah total pasca revolusi. Saat itu, para tokoh kelompok ini berkumpul untuk berbicara mengenai kemungkinan adanya pengkoreksian ulang pandangan yang mereka anut sebelumnya mengenai hukum bergabung dengan parlemen. Dengan dimotori oleh Syeikh Muhammad Hasan, pertemuan berlangsung. Jama’ah Anshar As Sunnah yang merupakan organisasi tua komunitas serupa mengeluarkan keputusan pada tanggal 12 Maret 2011 mengenai bolehnya berpartisipasi dalam parlemen.
Akhirnya, partisipasi Salafi memunculkan 4 partai politik yang berbasis dari masa mereka, yakni An Nur, Al Ashalah, Al Fadhilah serta Al Ishlah. Partai An-Nur kemudian menjadi partai Salafi terbesar dan mampu menjadi kuda hitam dalam pemilu Mesir dengan memperoleh 24 persen suara. [IK/Hdy]
0 comments:
Post a Comment