Ini adalah kisah nyata yang terjadi di salah satu kota di Kerajaan Arab Saudi yang ditulis berdasarkan penuturan pelakunya sendiri, sebut saja namanya Shabir. Kisah ini bermula ketika Shabir yang masih berstatus mahasiswa di fakultas hukum pada salah satu universitas ternama di Arab Saudi kembali ke rumahnya pada suatu hari. Ketika itu dia mendapati istrinya sedang melakukan perselingkuhan dengan seorang lelaki yang tidak dikenal. Demi melihat dia datang, istrinya dan lelaki asing itu merasa ketakutan, seolah-olah petir yang datang dari langit tengah menyambar-nyambar mereka. Shabir berkata kepada lelaki itu,
“Pakailah pakaianmu.”
“Demi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, istrimu yang mengodaku.”
“Pakailah pakaianmu, semoga Allah menutup aibmu ini.”
Shabir mengusir orang itu keluar dari rumahnya sementara api kemarahan tengah bergejolak hebat di dalam dadanya. Namun dia berusaha untuk menguasai diri, karena dia yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Lelaki itu keluar dengan senyum sinis karena menganggap Shabir adalah suami yang bodoh, terbukit dia tidak marah kepadanya, bahkan membentaknya pun tidak. Shabir hanya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung atas semua kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan.”
Jika seseorang dalam posisi seperti ini mungkin dia akan memilih mati daripada hidup menanggung malu. Namun Shabir adalah seroang yang shalih, dia kembali ke kamar melihat istrinya dan mengatakan, “Istriku, tolong segera kumpulkan semua pakaian dan barang-barangmu, aku menunggu di luar kamar untuk mengantarmu ke rumah keluargamu.”
Istrinya tertunduk malu dan duduk sambil menangisi dirinya. Dia menyesali apa yang telah terjadi dan baru tersadar bahwa itu semua adalah perbuatan setan durjana. Shabir dengan tenang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, lantas mengatakan, “Semoga Allah menutup aibmu, cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.” Setelah wanita itu selesai berkemas, Shabir mengantarkannya ke sebuah kota dengan jarak perjalanan 300 km hingga sampai di rumah keluarga mantan istrinya tersebut. Sesampainya di rumah itu, Shabir berkata kepada mantan istrinya, “Semoga Allah menutup semua aibmu dan takutlah kepada Allah yang telah melihat semua perbuatanmu, semoga Dia memberikan lelaki lain yang lebih baik dari diriku.” Wanita itu menimpali, “Sungguh, aku tidak berhak memilikimu.” Dia pun hanya bisa duduk memaki-maki dirinya sendiri sementara Shabir kembali ke kota tempatnya beraktifitas.
Beberapa Tahun Kemudian
Singkat cerita, Shabir berhasil lulus dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Namun, senyum sinis lelaki yang melakukan maksiat bersama istrinya beberapa tahun silam selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Tidak lama setelah lulus, dia pun menikah untuk kedua kalinya, dan atas berkat rahmat Allah dia pun diangkat sebagai hakim di sebuah pengadilan di kota tempat tinggalnya. Dia pernah bercerita kepada salah seorang kolega perihal istri keduanya yang begitu baik, “Allah Ta’ala telah memberikan ganti yang lebih baik daripada istriku yang pertama, aku bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai istri sebaik dia.”
Suatu ketika dia pernah diminta mengajar di almamaternya karena dia berhasil mendapatkan prediket mahasiswa terbaik kedua, tapi dia menolak dan hanya memilih profesi sebagai hakim. Dia pun fokus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak lama setelah menyelesaikan program Magister dia pun berhasi merampungkan program Doktoral dengan waktu yang tidak lama. Setelah itu, dia diangkat sebagai hakim Pengadilan Tinggi di kota Jeddah.
Shabir mengatakan, “Dalam setiap shalat aku memohon kepada Allah agar dapat menghilangkan peristiwa tersebut dari ingatanku, namun setiapkali melihat orang yang tersenyum bayangan lelaki bejat itu selalu datang menghantuiku, maka aku pun segera mengucapkan Adzubulillahi Minasy Syaithanir Rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”
Seperti biasanya, Shabir menerima berkas perkara pidana yang harus diproses secara hukum dengan segera melalui pengadilan. Salah satu berkas yang diterima adalah kasus pembunuhan. Pada saat itulah dia mengetahui ganjaran dari Allah terhadap kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Tak dinyana, pembunuh tersebut adalah orang yang pernah dia temui bersama istri pertamanya di dalam rumah beberapa tahun silam. Orang itu terbukti telah membunuh seseorang dengan besi sehingga kondisinya sangat mengenaskan. Ketika lelaki itu datang ke kantornya terjadilah dialog di antara mereka berdua.
“Tuan, aku hanya meminta pertologan Allah kemudian kepada Anda.”
“Apa yang membawamu ke sini dan apa masalahmu?”
“Aku menemukan seorang pria di tempat tidur bersama istriku lalu aku langsung membunuhnya.”
“Mengapa kamu tidak membunuh istrimu sekalian agar kamu bergelar sang pemberani dan anak dari bapak pemberani?”
“Aku telah membunuh orang itu dan aku tidak menyadarinya.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak membiarkan lelaki itu pergi lalu kamu katakan padanya, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini?”
“Apakah Anda rela jika hal itu terjadi pada dirimu Tuan?”
“Ya, aku rela dan aku tidak akan mengatakan apapun selain, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Orang itu tercengang sambil mengatakan,
“Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.”
“Ya, benar. Kamu pernah mendengarnya dari mulutku ketika kamu melakukan perselingkuhan dengan istriku di dalam rumahku. Kamu memanfaatkan kepergianku untuk berzina dengannya. Apakah kamu masih ingat senyum sinismu kepadaku ketika beranjak dari rumahku? Apakah kamu ingat aku mengatakan, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini.’? Sungguh, ketika itu jantungku bak disayat-disayat dengan sembilu. Aku merasakan sakit yang tak terperikan. Memang benar, Allah tidak menghukummu ketika itu, namun kamu terus melakukan maksiat kepada Allah sehingga sekarang hukum qishash sedang menunggumu. Aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung bahwa aku yakin sepanjang hidupmu pasti kamu tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.”
Shabir pun terdiam beberapa saat. Kemudian dia kembali angkat bicara,
“Menurutmu apa yang bisa aku lakukan sekarang jika keluarga korban tidak mau memaafkanmu? Sudah pasti aku akan menerapkan hukum Allah pada dirimu.”
“Aku sudah mengetahui hal itu, tapi aku hanya meminta satu hal dari Anda.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin Anda memaafkanku dan berdoa kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Aku akui bahwa aku telah menuruti langkah setan yang terkutuk. Hanya Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan oleh istrimu itu benar. Akulah yang telah menggodanya dengan bermacam cara untuk merenggut kehormatannya. Jika satu cara gagal maka aku sesalu beruhasa mencari cara yang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi. Duhai kiranya Anda membunuhku ketika itu sehingga aku tidak mengalami hal yang serupa.”
“Semoga Allah memaafkanmu di dunia dan akhirat kelak. Sungguh, peristiwa itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan, akan tetapi aku selalu berzikir kepada Allah agar memudahkan semua urusanku.”
Shabir tidak berhenti sampai di situ, dia berusaha menghubungi beberapa pemuka agama untuk membujuk keluarga korban agar sudi memaafkan pembunuh; karena memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa seseorang sekalipun tidak memaafkannya juga hak keluarga tersebut. Namun hikmah Allah di atas segalanya, keluarga korban tidak mau memaafkan pembunuh itu, mereka bersikukuh agar hakim menjatuhkan hukum “qishash” kepada orang itu dengan pena Shabir agar dia mau mempelajari hukum Islam dengan benar sehingga tidak ada lagi korban berikutnya. Subhanallah.
Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran bahwa setiap amalan akan diganjar di dunia sebelum di akhirat kelak, entah itu amalan baik maupun buruk. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah Ta’ala, “ Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109)
Disarikan dari situsgesah.net oleh Yum Roni Askosendra
“Pakailah pakaianmu.”
“Demi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, istrimu yang mengodaku.”
“Pakailah pakaianmu, semoga Allah menutup aibmu ini.”
Shabir mengusir orang itu keluar dari rumahnya sementara api kemarahan tengah bergejolak hebat di dalam dadanya. Namun dia berusaha untuk menguasai diri, karena dia yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Lelaki itu keluar dengan senyum sinis karena menganggap Shabir adalah suami yang bodoh, terbukit dia tidak marah kepadanya, bahkan membentaknya pun tidak. Shabir hanya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung atas semua kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan.”
Jika seseorang dalam posisi seperti ini mungkin dia akan memilih mati daripada hidup menanggung malu. Namun Shabir adalah seroang yang shalih, dia kembali ke kamar melihat istrinya dan mengatakan, “Istriku, tolong segera kumpulkan semua pakaian dan barang-barangmu, aku menunggu di luar kamar untuk mengantarmu ke rumah keluargamu.”
Istrinya tertunduk malu dan duduk sambil menangisi dirinya. Dia menyesali apa yang telah terjadi dan baru tersadar bahwa itu semua adalah perbuatan setan durjana. Shabir dengan tenang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, lantas mengatakan, “Semoga Allah menutup aibmu, cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.” Setelah wanita itu selesai berkemas, Shabir mengantarkannya ke sebuah kota dengan jarak perjalanan 300 km hingga sampai di rumah keluarga mantan istrinya tersebut. Sesampainya di rumah itu, Shabir berkata kepada mantan istrinya, “Semoga Allah menutup semua aibmu dan takutlah kepada Allah yang telah melihat semua perbuatanmu, semoga Dia memberikan lelaki lain yang lebih baik dari diriku.” Wanita itu menimpali, “Sungguh, aku tidak berhak memilikimu.” Dia pun hanya bisa duduk memaki-maki dirinya sendiri sementara Shabir kembali ke kota tempatnya beraktifitas.
Beberapa Tahun Kemudian
Singkat cerita, Shabir berhasil lulus dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Namun, senyum sinis lelaki yang melakukan maksiat bersama istrinya beberapa tahun silam selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Tidak lama setelah lulus, dia pun menikah untuk kedua kalinya, dan atas berkat rahmat Allah dia pun diangkat sebagai hakim di sebuah pengadilan di kota tempat tinggalnya. Dia pernah bercerita kepada salah seorang kolega perihal istri keduanya yang begitu baik, “Allah Ta’ala telah memberikan ganti yang lebih baik daripada istriku yang pertama, aku bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai istri sebaik dia.”
Suatu ketika dia pernah diminta mengajar di almamaternya karena dia berhasil mendapatkan prediket mahasiswa terbaik kedua, tapi dia menolak dan hanya memilih profesi sebagai hakim. Dia pun fokus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak lama setelah menyelesaikan program Magister dia pun berhasi merampungkan program Doktoral dengan waktu yang tidak lama. Setelah itu, dia diangkat sebagai hakim Pengadilan Tinggi di kota Jeddah.
Shabir mengatakan, “Dalam setiap shalat aku memohon kepada Allah agar dapat menghilangkan peristiwa tersebut dari ingatanku, namun setiapkali melihat orang yang tersenyum bayangan lelaki bejat itu selalu datang menghantuiku, maka aku pun segera mengucapkan Adzubulillahi Minasy Syaithanir Rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”
Seperti biasanya, Shabir menerima berkas perkara pidana yang harus diproses secara hukum dengan segera melalui pengadilan. Salah satu berkas yang diterima adalah kasus pembunuhan. Pada saat itulah dia mengetahui ganjaran dari Allah terhadap kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Tak dinyana, pembunuh tersebut adalah orang yang pernah dia temui bersama istri pertamanya di dalam rumah beberapa tahun silam. Orang itu terbukti telah membunuh seseorang dengan besi sehingga kondisinya sangat mengenaskan. Ketika lelaki itu datang ke kantornya terjadilah dialog di antara mereka berdua.
“Tuan, aku hanya meminta pertologan Allah kemudian kepada Anda.”
“Apa yang membawamu ke sini dan apa masalahmu?”
“Aku menemukan seorang pria di tempat tidur bersama istriku lalu aku langsung membunuhnya.”
“Mengapa kamu tidak membunuh istrimu sekalian agar kamu bergelar sang pemberani dan anak dari bapak pemberani?”
“Aku telah membunuh orang itu dan aku tidak menyadarinya.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak membiarkan lelaki itu pergi lalu kamu katakan padanya, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini?”
“Apakah Anda rela jika hal itu terjadi pada dirimu Tuan?”
“Ya, aku rela dan aku tidak akan mengatakan apapun selain, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Orang itu tercengang sambil mengatakan,
“Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.”
“Ya, benar. Kamu pernah mendengarnya dari mulutku ketika kamu melakukan perselingkuhan dengan istriku di dalam rumahku. Kamu memanfaatkan kepergianku untuk berzina dengannya. Apakah kamu masih ingat senyum sinismu kepadaku ketika beranjak dari rumahku? Apakah kamu ingat aku mengatakan, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini.’? Sungguh, ketika itu jantungku bak disayat-disayat dengan sembilu. Aku merasakan sakit yang tak terperikan. Memang benar, Allah tidak menghukummu ketika itu, namun kamu terus melakukan maksiat kepada Allah sehingga sekarang hukum qishash sedang menunggumu. Aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung bahwa aku yakin sepanjang hidupmu pasti kamu tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.”
Shabir pun terdiam beberapa saat. Kemudian dia kembali angkat bicara,
“Menurutmu apa yang bisa aku lakukan sekarang jika keluarga korban tidak mau memaafkanmu? Sudah pasti aku akan menerapkan hukum Allah pada dirimu.”
“Aku sudah mengetahui hal itu, tapi aku hanya meminta satu hal dari Anda.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin Anda memaafkanku dan berdoa kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Aku akui bahwa aku telah menuruti langkah setan yang terkutuk. Hanya Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan oleh istrimu itu benar. Akulah yang telah menggodanya dengan bermacam cara untuk merenggut kehormatannya. Jika satu cara gagal maka aku sesalu beruhasa mencari cara yang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi. Duhai kiranya Anda membunuhku ketika itu sehingga aku tidak mengalami hal yang serupa.”
“Semoga Allah memaafkanmu di dunia dan akhirat kelak. Sungguh, peristiwa itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan, akan tetapi aku selalu berzikir kepada Allah agar memudahkan semua urusanku.”
Shabir tidak berhenti sampai di situ, dia berusaha menghubungi beberapa pemuka agama untuk membujuk keluarga korban agar sudi memaafkan pembunuh; karena memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa seseorang sekalipun tidak memaafkannya juga hak keluarga tersebut. Namun hikmah Allah di atas segalanya, keluarga korban tidak mau memaafkan pembunuh itu, mereka bersikukuh agar hakim menjatuhkan hukum “qishash” kepada orang itu dengan pena Shabir agar dia mau mempelajari hukum Islam dengan benar sehingga tidak ada lagi korban berikutnya. Subhanallah.
Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran bahwa setiap amalan akan diganjar di dunia sebelum di akhirat kelak, entah itu amalan baik maupun buruk. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah Ta’ala, “ Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109)
Disarikan dari situsgesah.net oleh Yum Roni Askosendra
0 comments:
Post a Comment