Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Saya, Mursi dan Ikhwanul Muslimin

Written By mimin on Monday, August 12, 2013 | 7:00 AM

Apa yang membuat kita bisa demikian peduli pada Mesir, pada Muhammad Mursi, padahal sama sekali tak ada “hubungan dekat” antara kita dan mereka?

Saya mengenal nama Ikhwanul Muslimin sekitar tahun 1990an. Waktu remaja saat itu, kehidupan pribadi dan keluarga tengah dilanda kemelut hebat. Saat penuh ujicoba, manusia biasanya lebih dekat kepada Tuhan. Ketika itu, pengajian tasawwuf menjadi pilihan. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di jamaah tasawwuf, berdzikir dengan mata terpejam dan airmata berlinangan hingga tersedu-sedu.

Bahan bacaan saya saat itu sangat beragam. Mulai kita tasawwuf, kitab klenik sampai sebuah buku yang saya lupa judulnya dan berapa halaman. Tapi tokohnya saya sangat-sangat ingat: Zainab Al Ghazali. Entah mengapa, sosoknya yang terdzalimi seketika menggantikan idola saya yang saat itu masih berputar-putar di Tommy Page dan Richard Marx ( A Shoulder to Cry On ; Right Here Waiting).

Tommy Page yang keren dan cool, Marx yang romantic man kok rasanya jadi kalah jauh pamor dengan Zainab Al Ghazali. Diam-diam, saya jadi mencari tahu, siapa sih Zainab Al Ghazali. Dan hingga saat ini, ia salah satu tokoh perempuan idola saya. Meski, antara saya dan Zainab al Ghazali tak terjalin hubungan darah, ia tak kenal saya, ia pun mana sempat memberikan bantuan ke saya. Kenapa saya mencintainya ya?

Ikhwanul Muslimin
Saya tak membahas masalah sejarahnya. Itu sudah diketahui banyak orang. Saya juga tak ingin membelanya mati-matian, emosional, apalagi sampai sekedar asal cuap. Pada awalnya, saya beranggapan dakwah politik hanya sekedar kamuflase. Di tasawwuf dulu, bukankah manusia terbaik adalah yang hatinya senantiasa ingat Allah, senantiasa berdzikir dan dimanapun ridho padaNya? Yang terbaik, apakah bukan mereka yang senantiasa melazimkan dzikir kemana-mana. Saat itu saya merasa menjadi manusia terbaik, sebab saya bisa dzikir sepanjang hari, baik hati maupun lisan. Bila diingat, tentu tak salah. Tapi pengajian tasawwuf saat itu membuat saya salah langkah (bukan tasawwuf itu yang salah).

Nilai saya jeblok. Ah, itu kan memang kehendak Allah.
Saya nggak punya uang. Ah, memang itu maunya Allah.
Saya nggak bisa membantu orang. Ah, nanti Allah yang akan bantu dia. Sungguh, keterdiaman saya membuat merasa menjadi orang terbaik di dunia ini. Apalagi saya sanggup dzikir sepanjang hari sembari beraktivitas. Seiirnig waktu, saat benturan hidup tak tertahankan. Seorang saudara terjebak narkoba. Seorang saudara jobless, hingga terpaksa menjadi preman. Pergaulan bebas, sehingga beberapa sahabat dekat hamil di luar nikah. Tetap saat itu saya berpikir, “ini kan kehendak Allah? Orang berdosa, orang beribadah adalah kehendak Allah. Kita hanya berdzikir.”

Tetapi, ratapan seorang ibu janda yang berurai airmata di depan saya karena putranya bolak balik di penjara karena kasus narkoba, bolak balik jadi penjahat karena nggak punya kerja menohok. “Aku sudah berdoa, aku sudah bekerja, aku sudah berupaya…tapi apa bukan salah pemerintah sehingga narkoba tersedia dimana-mana? Apa bukan salah pemerintah kalau anakku nggak bisa dapat kerja?” Saat itu hatiku tertohok mendengarnya. Ah, dzikir. Dzikir saja, bu. InsyaAllah ini kehendak Allah.

Lama-lama aku berpikir, apa aku bukan orang apatis ya? Apa aku bukan orang yang malas berusaha, belajar , cari uang dan selalu mengandalkan : ah ini kehendak Allah. Apa aku bukan jenis orang yang kejam ya, karena tiap kali orang minta bantuan aku bilang : belum rezeki anda ya, aku nggak ada dana (karena aku nggak mau kerja, nggak mau belajar/kuliah, sibuk dzikir seharian)… padahal jujur, aku anak pintar intelgensi dan pintar bekerja. Aku bisa bekerja keras untuk punya uang banyak, dan bisa untuk membantu orang lain.

Lalu, aku mulai mengenal buku-buku pergerakan. Apa itu Ikhwanul Muslimin? Konsepnya yang syumuliyah membuat jiwa remajaku yang bertanya sekian banyak hal seolah mendapatkan sinyal : narkoba, pemerintah, kemiskinan, kehendak Tuhan, kehendak manusia dll. Perlahan aku mulai bertanya-tanya : siapa Ikhwanul Muslimin ini? Maka, bertahun kemudian aku menjadi pengagum gerakan ini.

Ya. Berkecimpung dalam politik memang kotor. Tapi apakah kita rela seluruh jajaran petinggi, pejabat negara, pemegang keputusan adalah orang-orang bejat? Bukankah seharusnya dijabat orang-orang baik?

Tapi politik itu kotor. Ya. Lalu menunggu sampai mereka mau memberikannya pada kita? Secara logika mana mungkin seorang mafia menyerahkan bisnis kartelnya pada polisi jujur. Maka, terkagum-kagum pada kiprah Ikhwanul Muslimin yang memulainya dari dakwah sosial, pendidikan, dan merambah ranah politik dengan cara-cara elegan.

Pemerintahan yang notabene adalah kumpulan perusahaan, kumpulan asset, kumpulan sumber daya, kumpulan kepentingan; siapa yang harus mengendalikannya? Tentu orang-orang yang amanah. Dan, hingga saat ini masih terkagum-kagum dengan sepak terjang Ikhwanul Muslimin yang berisi beragam manusia : yang intelek hingga buruh, pengusaha hingga pelajar, anak-anak hingga orangtua. Semuanya bergerak dengan orbit yang sama : membangun dunia yang lebih baik. Dan…siapa sih yang tidak terpana melihat orang-orang cerdas, sukses dalam karir, sukses dalam rumah tangga….penghafal Quran dan dai pula? Ups, runtuh sudah skema dalam pola pikir kita bahwa kesuksesan itu identik dengan kebrutalan, main sikat, main tindas, main rampas. Kemenangan bisa diraih dengan cara sportif, fair, transparan.

Everything is fair in love an war tampaknya tak berlaku bagi Ikhwanul Muslimin. Meski tercambuk berdarah-darah, Ikhwanul Muslimin mampu memenangkan kompetisi tanpa kecurangan apalagi kekerasan. Masih ingan kan konsep Swadeshi nya Mahathma Gandhi? Dengan anggun dan elegan, Ikhwanul Muslimin memenangkan hati rakyat.
“Aku memenangkan hati manusia dengan bersikap mulia, “ demikian kurang lebih saran Shalahuddin al Ayyubi.

Mursi
Lelaki ini sebelumnya tak kukenal. Apalagi ia yang mengenalku. Apa sih kontribusi Mursi dalam hidupku? Tak pernah beli bukuku, memberi sumbangan royalty, apalagi memberikan jasa-jasa yang lain.

Saya dan suami, sering bertemu orang aneh. Kami sepakat, hati tidak bisa ditipu. Bertemu tukang becak, supir taksi, satpam ; ah, kenapa jatuh cinta ya? Oh, ternyata ia orang baik. Bertemu pejabat ini itu, aduh…kok hati rasa gerah ya? Oh, ternyata memang mereka punya udang di balik batu. Kadang, kita memakai hati sebagai intuisi untuk mengenal manusia.

Muhammad Mursi. Apa kita pernah bertemu, bertatap muka? Tidak. Tapi saya tak bisa memungkiri bahwa hati ini terlanjur jatuh cinta pada Mr.President. Jatuh cinta pada hafalan Qur'annya. Jatuh cinta pada istrinya yang menyambangi para janda. Jatuh cinta pada pilihannya pada Hisyam Kandil sebagai PM -dulu. Jatuh cinta pada keputusan-keputusannya. Jatuh cinta pada sikapnya terhadap Rafah, Gaza.

Memang siapa yang merekayasa itu semua? Mursi tak pernah memberi kita apa-apa. Ikhwanul Muslimin juga tidak. Mesir? Apa pernah menggelontorkan bantuan untuk Indonesia agar terlepas dari hutang? Tidak juga. Tapi, kenapa bisa kita mencintai Mesir, Mursi, Ikhwanul Muslimin, rakyat Palestina dan rakyat Mesir? Karena, meski kita manusia yang sehari-hari berkubang dosa. Suka bermaksiat. Suka menggunjing. Suka mencemooh dan mengejek kegagalan orang. Jauh di lubuk manusia terdalam, terdapat sebuah titik.

Imam Ghazali menyebutnya “titik hati” yang secara elektris bergetar saat dekat dengan Tuhan. Mungkin, titik hatik kecil kit, noktah putih itu. Yang masih menyisakan dzikir padaNya. Tak bisa memungkiri bahwa di balik semua sifat keburukan manusia yang kita punya, di relung terdalam nurani, ada getaran cinta murni yang muncul tiap kali bertemu sesuatu yang juga murni dan jernih. Maka kita menangis ketika Uje wafat (meski tak kenal). Maka kita terketuk menyantuni anak yatim (meski kita tak kenal). Maka kita terketuk membantu korban bencana (meski tak kenal). Dan noktah putih kecil dalam hati ini, jatuh cinta tanpa disadari kepada orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali. Mursi, Ikhwanul Muslimin, rakyat Mesir.

Memangnya, ada pihak yang pernah memaksa kita untuk mencintai Mursi? Tidak. Tetapi apakah orang kecil seperti saya. Rakyat jelata yang masih dilanda kesulitan beraneka ragam, dilanda kerusuhan kriminalitas dan kesenjangan ekonomi; tidak pantas jatuh cinta pada Presiden penghafal Quran yang terus berjuang dalam kebaikan seperti Mursi? Apa saya tidak semakin mencintai Mursi , ketika seorang Syaikh Gaza di Ramadhan ini menjadi imam masjid kami bercerita : “jika Mesir kuat, kuatlah Palestina. Begitupun sebaliknya. Bersama Mursi, kami kuat. Mursi, setiap hari selalu bertanya : bagaimana kabar al Aqsho hari ini?”
Apakah salah, bila tanpa kita sadari, jatuh cinta pada pemimpin seperti Mursi? [Ahmad Muslim]

0 comments:

Post a Comment