Hidup dalam lingkungan yang mendukungku untuk terus berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepadaku. Bersama dalam mentoring hingga liqo, kajian-kajian di sore hari, rapat-rapat serta diskusi yang menambah wawasan membuatku selalu bersyukur. Hingga tiba saatnya sebuah amanah itu datang. Amanah untuk berdakwah. Amanah untuk menyampaikan pesan-Nya ke setiap individu-individu ciptaan-Nya. Aku dan teman-teman seperjuanganku menyambutnya dengan suka cita. Hingga saat Mbak Gita, pementorku, membagikan daftar anak-anak yang harus kami bimbing. Namun aku sungguh terkejut melihat bahwa aku mendapatkan sekelompok anak-anak dengan peringkat wawancara terendah, yang berarti aku berurusan dengan 5 orang awam yang masih jauh sekali dari nilai-nilai Islam.
Seketika itu juga aku menangis. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung beban berat ini? Bagaimana mungkin aku bisa memberikan nilai-nilai Islam apabila mereka bahkan mungkin menganggapku teroris, cewek kuno yang jauh dari pergaulan dan antisosial. Protes kulancarkan kepada pementorku. Aku merasa akan lebih baik jika aku ditempatkan di sebuah kelompok yang sudah dapat diarahkan menuju perjuangan Islam, politik dan kenegaraan. Namun pementorku hanya tersenyum lembut seperti biasanya dan berkata “Allah telah mempercayakan amanah ini kepadamu. Jangan disia-siakan kepercayaan Allah”.
Awalnya aku menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan teman-temanku yang lain yaitu mengumpulkan para mentee-nya di masjid sekali dalam sepekan, kemudian tadarus Al-Quran kemudian mengkaji berbagai macam ilmu. Namun ini hanya bertahan sehari, itupun karena mereka terpaksa, dan minggu berikutnya aku menunggu 1,5 jam di masjid sendiri sambil bertekuk muka karena iri meihat teman-temanku yang asyik bercengkrama dengan adik-adiknya. Dan hasilnya, nol. Batang hidung mereka tak nampak sama sekali.
Adik menteeku lima orang, Anida, Aris, Riris, Nisa dan Zulfa. Awalnya dari mereka semua hanya satu yang memakai kerudung, itupun hanya untuk ke kampus. Jika ada momen di luar kampus ia merasa tak perlu menggunakan kerudungnya. SMS-SMS ku tak digubris, teleponku tak diangkat. Saat bertemu pun mereka justru seperti menghindar. Akhirnya di tengah keputusasaan aku bermunajat kepada Allah di dua pertiga malam. Aku berdoa kepadaNya, mohon diberikan petunjuk. Dan akhirnya petunjuk itupun datang.
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ibrahim: 4)
Surat itu kubaca di suatu hari saat aku sedang tadarus rutin. Tanpa terasa air mataku menetes. Aku merasa malu pada Allah karena surat ini pasti sudah kubaca puluhan kali namun mengapa pesannya baru kuterima saat itu. Bukankah aku diberikan amanah ini karena Allah Maha Mengetahui bahwa dengan latar belakangku dan lainnya akulah yang Dia percaya untuk menjelaskan kepada mereka, adik-adik menteeku indahnya Islam dengan bahasa yang mereka pahami.
Dan pelan-pelan aku merubah pola dakwahku. Aku menyesuaikan dengan apa yang mereka gemari. Misalnya, aku tahu mereka menyukai film korea. Aku akhirnya mencoba mencari tahu film korea terbaru dan mengajak mereka menonton bersama. Awalnya mereka kaget dan tak percaya namun akhirnya mereka bersedia datang. Kami menjadi lebih akrab dibandingkan sebelumnya.
Sejak saat itu aku segera menjadi ‘kakak’ bagi mereka. Mereka menceritakan segala hal kepadaku. Mulai dari pertengkaran dengan pacarnya hingga perceraian kedua orangtuanya. Dan di saat-saat seperti itulah mereka dengan mudah menerima ayat-ayat Allah yang menentramkan dan menyejukan jiwa. Hingga akhirnya lambat laun mereka berubah. Perubahan kecil yang membuatku menangis.
Jika dulu hanya satu yang memakai kerudung, saat ini alhamdulillah semuanya telah menggunakan kerudung. Walaupun masih belum menutupi dada. Jika dulu mereka membuatku menunggu 1,5 jam hanya untuk menyampaikan beberapa ayat, saat ini mereka datang kepadaku disaat sedih dan senang untuk mendengarkan “Apa yang harus aku lakukan menurut Allah?”. Sungguh bukan amanah yang mudah. Bukan amanah yang mudah untuk tetap terjaga kualitas diri ini dalam lingkungan seperti itu namun aku selalu merasa bersyukur Allah mengirimku untuk mereka. []
Penulis : Nur Novilina Arifianingsih
Semarang, Jawa Tengah
Seketika itu juga aku menangis. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung beban berat ini? Bagaimana mungkin aku bisa memberikan nilai-nilai Islam apabila mereka bahkan mungkin menganggapku teroris, cewek kuno yang jauh dari pergaulan dan antisosial. Protes kulancarkan kepada pementorku. Aku merasa akan lebih baik jika aku ditempatkan di sebuah kelompok yang sudah dapat diarahkan menuju perjuangan Islam, politik dan kenegaraan. Namun pementorku hanya tersenyum lembut seperti biasanya dan berkata “Allah telah mempercayakan amanah ini kepadamu. Jangan disia-siakan kepercayaan Allah”.
Awalnya aku menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan teman-temanku yang lain yaitu mengumpulkan para mentee-nya di masjid sekali dalam sepekan, kemudian tadarus Al-Quran kemudian mengkaji berbagai macam ilmu. Namun ini hanya bertahan sehari, itupun karena mereka terpaksa, dan minggu berikutnya aku menunggu 1,5 jam di masjid sendiri sambil bertekuk muka karena iri meihat teman-temanku yang asyik bercengkrama dengan adik-adiknya. Dan hasilnya, nol. Batang hidung mereka tak nampak sama sekali.
Adik menteeku lima orang, Anida, Aris, Riris, Nisa dan Zulfa. Awalnya dari mereka semua hanya satu yang memakai kerudung, itupun hanya untuk ke kampus. Jika ada momen di luar kampus ia merasa tak perlu menggunakan kerudungnya. SMS-SMS ku tak digubris, teleponku tak diangkat. Saat bertemu pun mereka justru seperti menghindar. Akhirnya di tengah keputusasaan aku bermunajat kepada Allah di dua pertiga malam. Aku berdoa kepadaNya, mohon diberikan petunjuk. Dan akhirnya petunjuk itupun datang.
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ibrahim: 4)
Surat itu kubaca di suatu hari saat aku sedang tadarus rutin. Tanpa terasa air mataku menetes. Aku merasa malu pada Allah karena surat ini pasti sudah kubaca puluhan kali namun mengapa pesannya baru kuterima saat itu. Bukankah aku diberikan amanah ini karena Allah Maha Mengetahui bahwa dengan latar belakangku dan lainnya akulah yang Dia percaya untuk menjelaskan kepada mereka, adik-adik menteeku indahnya Islam dengan bahasa yang mereka pahami.
Dan pelan-pelan aku merubah pola dakwahku. Aku menyesuaikan dengan apa yang mereka gemari. Misalnya, aku tahu mereka menyukai film korea. Aku akhirnya mencoba mencari tahu film korea terbaru dan mengajak mereka menonton bersama. Awalnya mereka kaget dan tak percaya namun akhirnya mereka bersedia datang. Kami menjadi lebih akrab dibandingkan sebelumnya.
Sejak saat itu aku segera menjadi ‘kakak’ bagi mereka. Mereka menceritakan segala hal kepadaku. Mulai dari pertengkaran dengan pacarnya hingga perceraian kedua orangtuanya. Dan di saat-saat seperti itulah mereka dengan mudah menerima ayat-ayat Allah yang menentramkan dan menyejukan jiwa. Hingga akhirnya lambat laun mereka berubah. Perubahan kecil yang membuatku menangis.
Jika dulu hanya satu yang memakai kerudung, saat ini alhamdulillah semuanya telah menggunakan kerudung. Walaupun masih belum menutupi dada. Jika dulu mereka membuatku menunggu 1,5 jam hanya untuk menyampaikan beberapa ayat, saat ini mereka datang kepadaku disaat sedih dan senang untuk mendengarkan “Apa yang harus aku lakukan menurut Allah?”. Sungguh bukan amanah yang mudah. Bukan amanah yang mudah untuk tetap terjaga kualitas diri ini dalam lingkungan seperti itu namun aku selalu merasa bersyukur Allah mengirimku untuk mereka. []
Penulis : Nur Novilina Arifianingsih
Semarang, Jawa Tengah
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 comments:
Post a Comment