Kembali kulihat bangku itu. Masih kosong. Sudah beberapa hari ini senyum cantik gadis mungil itu tidak terlihat. “Ada yang tau kabar Sarah?”, “Engga bu....” sahut murid-muridku serempak. “Baiklah, besok kita latihan soal lagi yah, jangan lupa untuk belajar di rumah,” pesanku kepada anak-anak sebelum mengakhiri kegiatan belajar dengan doa.
Sesaat setelah membaca doa, seperti biasa anak-anak langsung berebut untuk mencium tanganku, untuk bersalaman. Subhanalloh, senangnya melihat teman-teman kecilku selalu bersemangat untuk menuntut ilmu. Tak terasa sudah beberapa tahun aku mengajarkan mereka mengaji mulai dari TPA mengenal huruf-huruf hijaiyyah dan sekarang sudah lancar membaca al-Qur’an.
Keesokan harinya, saat mengabsen murid-muridku, ketika kusebut nama gadis mungil itu, kembali tak ada sahutan, itu artinya ia tidak hadir lagi hari ini. Kulanjutkan kegiatan seperti biasa, dimulai dari doa dan setoran bacaan al-Qur’an satu per satu, hingga mengulas tentang sejarah Islam sesuai kurikulum kelas empat Diniyyah.
Sebenarnya aku hanyalah lulusan SMA sederajat, bukan lulusan pesantren apalagi perguruan tinggi agama dan keguruan, namun Allah menunjukkan jalanku di sini, berbekal ilmu tahsin yang kupelajari dari dari salah satu lembaga Qur’an, salah satu Ustazah menawariku untuk mengajar di TPA dan Diniyyah yang hingga kini menjadi tempatku untuk menuangkan rasa cinta kepada anak-anak dan berbagi sedikit ilmu agama yang kumiliki.
Setelah pelajaran usai, mataku sibuk mencari sosok mungil yang lincah ditengah keramaian anak-anak yang sedang bermain di halaman tepat di bawah tangga. “Kemana ya? Biasanya ia selalu bermain disini,” bisikku dalam hati. Aku teringat beberapa tahun lalu saat dua bersaudara yang cantik dan mungil itu datang mendaftar TPA diantar oleh Ibunya. Sebut saja Sarah dan Wulan (bukan nama sebenarnya), dua kakak-beradik yang hanya terpaut usia satu tahun itu untuk pertama kalinya datang ke TPA Al-Hidayah untuk belajar mengaji.
“Ibu nyari siapa?” tegur salah satu muridku yang melihatku tampak mencari seseorang. Belum sempat kujawab pertanyaan dari muridku, sosok yang kucari sudah terlihat dengan senyum khasnya yang cantik. “Wulan, ke sini sebentar yah,” pintaku sambil melambaikan tangan ke arah gadis mungil itu sambil tersenyum ramah.
Berlari ia menghampiriku, “Kenapa Bu?” tanyanya penasaran. “Kamu tahu, Kakak Sarah kenapa sudah beberapa hari ini tidak datang mengaji? Apa Kakak Sarah sakit?”, “Engga Bu, sehat,” jawabnya singkat.
Tak lama, Wulan kembali berlari untuk bermain bersama teman-temannya meninggalkanku yang masih sedikit bingung. Kedua gadis mungil Sarah dan Wulan memang kakak beradik, namun Sarah lebih terlihat menonjol dalam hal akademik. Sarah gadis yang pintar dan mudah memahami setiap pelajaran yang diberikan. Tak bermaksud membandingkan dengan adiknya, karena aku yakin setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing.
Sore harinya, aku bersama beberapa guru berkunjung ke rumah Sarah, “Assalamu’alaikum....,” langsung kuucapkan salam sesampainya di depan rumah yang kami tuju. “Wa’alaikumussalam, eh Bu Guru, masuk Bu,” jawab seorang ibu paruh baya sambil mempersilahkan kami duduk.
“Ada apa ya Bu?” tanyanya heran akan kedatangan kami. “Begini Bu, kami ingin mengatahui kabar Sarah dan menanyakan mengapa sudah sepekan tidak datang mengaji,” ucapku. “Ooh itu, sekarang Sarah sibuk bu, sibuk les ini, les itu jadi ga sempet ngaji, maklum bu, sebentar lagi kan mau UAN, jadi Sarah harus banyak belajar biar lulus dan dapet sekolah SMP Negeri favorit,” terang Ibu Sarah dengan antusias. Sedikit tersentak dengan jawaban Ibu Sarah, perlahan aku sampaikan tentang pentingnya mengaji, tentunya dengan bahasa yang sehalus mungkin agar tidak menyinggung perasaannya.
“Ah, ngaji mah gampang Bu, yang penting sekarang Sarah harus belajar buat persiapan UAN, lagian belajar agama kan bisa kapan aja dan dimana aja, kalo sampai Sarah ga masuk SMP Negeri apa Ibu mau nanggung biayanya?” kembali kutersentak dengan jawaban sang ibu. Tak lama, kami pun pamit untuk pulang. Diperjalanan kubayangkan wajah Sarah, gadis itu selalu bersemangat setiap kali mendapat giliran membaca al-Qur’an.
Hari kelulusan pun tiba, tak sabar rasanya mendengar berita kelulusan. Alhamdulillah anak-anakku lulus semua, namun ternyata ada satu muridku yang tidak diterima di SMP Negeri, Sarah. Nilai hasil ujian Sarah jauh di bawah rata-rata. Tentu aku terkejut mendengarnya, namun ku yakin Ia sudah berusaha keras, dan inilah jawaban terbaik yang Allah berikan.
Satu tahun kemudian, menjelang UAN kelulusan SD, Wulan tetap datang mengaji seperti biasa, aku sedikit heran karena tahun kemarin saat menjelang UAN, sang Ibu melarang kakaknya untuk mengaji namun Alhamdulillah tak disangka ternyata Wulan mendapat nilai yang memuaskan dan di terima di salah satu SMP Negeri favorit.
***
(Kisah nyata dari kakakku Darmayanti, yang mendidikasikan dakwahnya menjadi seorang guru di sebuah TPA dan Diniyyah)
Penulis : Afni Battuta
Jakarta Timur
Sesaat setelah membaca doa, seperti biasa anak-anak langsung berebut untuk mencium tanganku, untuk bersalaman. Subhanalloh, senangnya melihat teman-teman kecilku selalu bersemangat untuk menuntut ilmu. Tak terasa sudah beberapa tahun aku mengajarkan mereka mengaji mulai dari TPA mengenal huruf-huruf hijaiyyah dan sekarang sudah lancar membaca al-Qur’an.
Keesokan harinya, saat mengabsen murid-muridku, ketika kusebut nama gadis mungil itu, kembali tak ada sahutan, itu artinya ia tidak hadir lagi hari ini. Kulanjutkan kegiatan seperti biasa, dimulai dari doa dan setoran bacaan al-Qur’an satu per satu, hingga mengulas tentang sejarah Islam sesuai kurikulum kelas empat Diniyyah.
Sebenarnya aku hanyalah lulusan SMA sederajat, bukan lulusan pesantren apalagi perguruan tinggi agama dan keguruan, namun Allah menunjukkan jalanku di sini, berbekal ilmu tahsin yang kupelajari dari dari salah satu lembaga Qur’an, salah satu Ustazah menawariku untuk mengajar di TPA dan Diniyyah yang hingga kini menjadi tempatku untuk menuangkan rasa cinta kepada anak-anak dan berbagi sedikit ilmu agama yang kumiliki.
Setelah pelajaran usai, mataku sibuk mencari sosok mungil yang lincah ditengah keramaian anak-anak yang sedang bermain di halaman tepat di bawah tangga. “Kemana ya? Biasanya ia selalu bermain disini,” bisikku dalam hati. Aku teringat beberapa tahun lalu saat dua bersaudara yang cantik dan mungil itu datang mendaftar TPA diantar oleh Ibunya. Sebut saja Sarah dan Wulan (bukan nama sebenarnya), dua kakak-beradik yang hanya terpaut usia satu tahun itu untuk pertama kalinya datang ke TPA Al-Hidayah untuk belajar mengaji.
“Ibu nyari siapa?” tegur salah satu muridku yang melihatku tampak mencari seseorang. Belum sempat kujawab pertanyaan dari muridku, sosok yang kucari sudah terlihat dengan senyum khasnya yang cantik. “Wulan, ke sini sebentar yah,” pintaku sambil melambaikan tangan ke arah gadis mungil itu sambil tersenyum ramah.
Berlari ia menghampiriku, “Kenapa Bu?” tanyanya penasaran. “Kamu tahu, Kakak Sarah kenapa sudah beberapa hari ini tidak datang mengaji? Apa Kakak Sarah sakit?”, “Engga Bu, sehat,” jawabnya singkat.
Tak lama, Wulan kembali berlari untuk bermain bersama teman-temannya meninggalkanku yang masih sedikit bingung. Kedua gadis mungil Sarah dan Wulan memang kakak beradik, namun Sarah lebih terlihat menonjol dalam hal akademik. Sarah gadis yang pintar dan mudah memahami setiap pelajaran yang diberikan. Tak bermaksud membandingkan dengan adiknya, karena aku yakin setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing.
Sore harinya, aku bersama beberapa guru berkunjung ke rumah Sarah, “Assalamu’alaikum....,” langsung kuucapkan salam sesampainya di depan rumah yang kami tuju. “Wa’alaikumussalam, eh Bu Guru, masuk Bu,” jawab seorang ibu paruh baya sambil mempersilahkan kami duduk.
“Ada apa ya Bu?” tanyanya heran akan kedatangan kami. “Begini Bu, kami ingin mengatahui kabar Sarah dan menanyakan mengapa sudah sepekan tidak datang mengaji,” ucapku. “Ooh itu, sekarang Sarah sibuk bu, sibuk les ini, les itu jadi ga sempet ngaji, maklum bu, sebentar lagi kan mau UAN, jadi Sarah harus banyak belajar biar lulus dan dapet sekolah SMP Negeri favorit,” terang Ibu Sarah dengan antusias. Sedikit tersentak dengan jawaban Ibu Sarah, perlahan aku sampaikan tentang pentingnya mengaji, tentunya dengan bahasa yang sehalus mungkin agar tidak menyinggung perasaannya.
“Ah, ngaji mah gampang Bu, yang penting sekarang Sarah harus belajar buat persiapan UAN, lagian belajar agama kan bisa kapan aja dan dimana aja, kalo sampai Sarah ga masuk SMP Negeri apa Ibu mau nanggung biayanya?” kembali kutersentak dengan jawaban sang ibu. Tak lama, kami pun pamit untuk pulang. Diperjalanan kubayangkan wajah Sarah, gadis itu selalu bersemangat setiap kali mendapat giliran membaca al-Qur’an.
Hari kelulusan pun tiba, tak sabar rasanya mendengar berita kelulusan. Alhamdulillah anak-anakku lulus semua, namun ternyata ada satu muridku yang tidak diterima di SMP Negeri, Sarah. Nilai hasil ujian Sarah jauh di bawah rata-rata. Tentu aku terkejut mendengarnya, namun ku yakin Ia sudah berusaha keras, dan inilah jawaban terbaik yang Allah berikan.
Satu tahun kemudian, menjelang UAN kelulusan SD, Wulan tetap datang mengaji seperti biasa, aku sedikit heran karena tahun kemarin saat menjelang UAN, sang Ibu melarang kakaknya untuk mengaji namun Alhamdulillah tak disangka ternyata Wulan mendapat nilai yang memuaskan dan di terima di salah satu SMP Negeri favorit.
***
(Kisah nyata dari kakakku Darmayanti, yang mendidikasikan dakwahnya menjadi seorang guru di sebuah TPA dan Diniyyah)
Penulis : Afni Battuta
Jakarta Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 comments:
Post a Comment