Kajian Fiqh Sunnah kali ini membuat suasana semakin hangat, pasalnya banyak ikhwan dan akhwat yang turut hadir dalam kajian ini. Tak hanya itu, jamaah sangat antusias dalam kajian hari ini karena materi yang dipaparkan oleh Ustadz Tajuddin Nur, Lc kali ini sangat menggugah semangat juang para mujahid itu untuk selalu beristiqamah dalam berdakwah, begitulah setiap harinya.
Beberapa waktu kemudian kajian rutin tiap hari Senin sore itu telah usai, saya dan semua ikhwan bersama-sama meninggalkan mushallah kecil yang berada di samping kantor biro Fakultas Tarbiyah itu. Demikianlah salah satu tempat yang menjadi saksi atas perjuangan dakwah kampus saya beserta teman-teman ikhwan lainnya. Alhamdulillah, hari ini saya sangat bersyukur karena Allah SWT selalu membuka jalan dakwah kami dengan menghadirkan jamaah yang alhamdulillah sedikit lebih banyak dari hari-hari sebelumnya yang hanya tidak lebih dari sepuluh orang. Tetapi untuk hari ini jamaah hampir mencapai tigapuluh orang, wallahuakbar.
Dengan arah tujuan pulang, saya coba berjalan ke arah sebuah tempat di mana saya ditunggu oleh saudara laki-laki saya, pada saat itu juga tiba-tiba saya disapa oleh seorang perempuan. Tanpa mengucapkan salam, ia langsung mendekati posisi saya yang sedang berdiri di pojok gedung berlapis cat hijau itu. Tanpa beralasan apapun ia secara langsung mengatakan bahwa ia sangat ingin bergabunga dalam barisan kami, ia selalu mempertimbangkaan bagaimana jika ia memakai hijab yang lebar seperti akhwat pada umumnya. Ekspresi wajah saya tiba-tiba berubah menjadi masam, saya merasa ia sangat tidak cocok ikut dalam barisan dakwah narena dilihat dari pakaian yang ia gunakan tidak mencerminkan keislaman sedikitpun. Tanpa berfikir panjang saya menolaknya dengan beralasan akan saya konfirmasikan kepada Dewan Penasehat LSI terlebih dahulu. Kemudian saya bergegas berlalu dari perempuan itu.
Saya berjalan menuju tempat wudhu yang posisinya dekat sebuah masjid di sekitar tempat itu, kemudian “Ya Allah, hamba telah melakukan kesalahan besar. Sungguh hamba tanpa berfikir panjang dalam mengucapkan kata-kata itu, ampuni hamba, ya Allah”. Air mata saya bercucuran tanpa henti. Pada saat itu datanglah seorang ikhwan dengan membawa Al-Qur’an di tangan kanannya. Ia menyapa saya dan seraya menanyakan apa yang terjadi. Saya tidak bisa berterus terang dan hanya bisa berdiam diri seraya terisak-isak. Sungguh hanya Allah lah yang berhak dan berkuasa atas hati seorang hamba, kita tidak mempunyai kekuatan tanpa pemberian dari Allah SWT. Sekeras apapun perjuangan kita dalam memikat hati seseorang dengan tujuan dakwah tetapi Allah SWT belum berkehendak untuk memberikan hidayah-Nya kepada orang itu maka hanya itulah sesungguhnya ladang dakwah yang seharusnya selalu terjaga kesuciannya.
Beberapa saat kemudian ia membawa saya masuk ke teras masjid. Ia duduk bersebelahan dengan saya, sembari saya menangis. Ia berkata, perjuangan kita dalam berdakwah itu diibaratkan seorang yang menggarap ladang padinya. Ada berbagai macam yang akan dihadapi, terkadang petani itu sibuk dengan sebidang tanah yang sedang ia garap padahal bidang tanah yang masih perlu digarap lagi. Adapun petani yang sedang mengurus padinya ia terlena dengan dedaunan padi yang subur itu tetapi padahal padi itu dililit dengan berbagai rerumputan. Tetapi ada juga petani yang hanya sibuk dengan mengusir hama padi yang mewabah sehingga tidak diperhatikan kualitas padinya. Kadangpun ia terlena dengan belut yang menghiasi tanah lumpur padinya padahal ia tidak tahu bahwa begitu banyak burung yang memakan padinya yang sudah mulai merunduk. Parahnya lagi, ada seorang petani yang menanam padi hanya dengan menaburkan benihnya saja di tengah-tengah rerumputan basah. “Begitulah juga dengan kita, akhi. Terkadang seorang mengikrarkan dakwah dalam hatinya tetapi ia masih mempermasalahkan perbedaan antar umat Islam, mahzab, hingga masalah hidayah Allah sekalipun. Ini baru sedikit, belum sebanding dengan perjuangan Rasulullah SAW dahulu. Ana harap antum tetap istiqamah akhi”. Dengan sergap saya memeluknya dengan penuh kasih sayang, “syukron akh”.
Mulai sejak itu, saya baru menyadari bahwa pentingnya bersabar dalam berdakwah karena bersabar dalam dakwah adalah jihad. Semoga sedikit deretan huruf ini bisa memotivasi kita dalam berdaakwah. []
Penulis : Dedi purnomo
Pekanbaru
Beberapa waktu kemudian kajian rutin tiap hari Senin sore itu telah usai, saya dan semua ikhwan bersama-sama meninggalkan mushallah kecil yang berada di samping kantor biro Fakultas Tarbiyah itu. Demikianlah salah satu tempat yang menjadi saksi atas perjuangan dakwah kampus saya beserta teman-teman ikhwan lainnya. Alhamdulillah, hari ini saya sangat bersyukur karena Allah SWT selalu membuka jalan dakwah kami dengan menghadirkan jamaah yang alhamdulillah sedikit lebih banyak dari hari-hari sebelumnya yang hanya tidak lebih dari sepuluh orang. Tetapi untuk hari ini jamaah hampir mencapai tigapuluh orang, wallahuakbar.
Dengan arah tujuan pulang, saya coba berjalan ke arah sebuah tempat di mana saya ditunggu oleh saudara laki-laki saya, pada saat itu juga tiba-tiba saya disapa oleh seorang perempuan. Tanpa mengucapkan salam, ia langsung mendekati posisi saya yang sedang berdiri di pojok gedung berlapis cat hijau itu. Tanpa beralasan apapun ia secara langsung mengatakan bahwa ia sangat ingin bergabunga dalam barisan kami, ia selalu mempertimbangkaan bagaimana jika ia memakai hijab yang lebar seperti akhwat pada umumnya. Ekspresi wajah saya tiba-tiba berubah menjadi masam, saya merasa ia sangat tidak cocok ikut dalam barisan dakwah narena dilihat dari pakaian yang ia gunakan tidak mencerminkan keislaman sedikitpun. Tanpa berfikir panjang saya menolaknya dengan beralasan akan saya konfirmasikan kepada Dewan Penasehat LSI terlebih dahulu. Kemudian saya bergegas berlalu dari perempuan itu.
Saya berjalan menuju tempat wudhu yang posisinya dekat sebuah masjid di sekitar tempat itu, kemudian “Ya Allah, hamba telah melakukan kesalahan besar. Sungguh hamba tanpa berfikir panjang dalam mengucapkan kata-kata itu, ampuni hamba, ya Allah”. Air mata saya bercucuran tanpa henti. Pada saat itu datanglah seorang ikhwan dengan membawa Al-Qur’an di tangan kanannya. Ia menyapa saya dan seraya menanyakan apa yang terjadi. Saya tidak bisa berterus terang dan hanya bisa berdiam diri seraya terisak-isak. Sungguh hanya Allah lah yang berhak dan berkuasa atas hati seorang hamba, kita tidak mempunyai kekuatan tanpa pemberian dari Allah SWT. Sekeras apapun perjuangan kita dalam memikat hati seseorang dengan tujuan dakwah tetapi Allah SWT belum berkehendak untuk memberikan hidayah-Nya kepada orang itu maka hanya itulah sesungguhnya ladang dakwah yang seharusnya selalu terjaga kesuciannya.
Beberapa saat kemudian ia membawa saya masuk ke teras masjid. Ia duduk bersebelahan dengan saya, sembari saya menangis. Ia berkata, perjuangan kita dalam berdakwah itu diibaratkan seorang yang menggarap ladang padinya. Ada berbagai macam yang akan dihadapi, terkadang petani itu sibuk dengan sebidang tanah yang sedang ia garap padahal bidang tanah yang masih perlu digarap lagi. Adapun petani yang sedang mengurus padinya ia terlena dengan dedaunan padi yang subur itu tetapi padahal padi itu dililit dengan berbagai rerumputan. Tetapi ada juga petani yang hanya sibuk dengan mengusir hama padi yang mewabah sehingga tidak diperhatikan kualitas padinya. Kadangpun ia terlena dengan belut yang menghiasi tanah lumpur padinya padahal ia tidak tahu bahwa begitu banyak burung yang memakan padinya yang sudah mulai merunduk. Parahnya lagi, ada seorang petani yang menanam padi hanya dengan menaburkan benihnya saja di tengah-tengah rerumputan basah. “Begitulah juga dengan kita, akhi. Terkadang seorang mengikrarkan dakwah dalam hatinya tetapi ia masih mempermasalahkan perbedaan antar umat Islam, mahzab, hingga masalah hidayah Allah sekalipun. Ini baru sedikit, belum sebanding dengan perjuangan Rasulullah SAW dahulu. Ana harap antum tetap istiqamah akhi”. Dengan sergap saya memeluknya dengan penuh kasih sayang, “syukron akh”.
Mulai sejak itu, saya baru menyadari bahwa pentingnya bersabar dalam berdakwah karena bersabar dalam dakwah adalah jihad. Semoga sedikit deretan huruf ini bisa memotivasi kita dalam berdaakwah. []
Penulis : Dedi purnomo
Pekanbaru
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 comments:
Post a Comment