“Eh, kemarin pesawatku terlambat 1 jam... bete dech...!!!”
“Gitu aja bangga, aku dulu delay 2 jam loh....!!”
“Kalian berdua berisik... aku pernah ditunda seharian, sampai memutih rambut ini nungguin pesawatnya...”
“Kalian semua sombong... Aku gak pernah naik pesawat, biasa aja...!!”
Manusia mempunyai kecenderungan untuk berkompetisi dan bertanding memperlombakan, mengunggul-unggulkan sesuatu yang dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan simpati dan atensi dari orang lain. Bukan hanya capaian, prestasi dan kegemilangan saja yang sering diunggul-unggulkan, penderitaan dan musibah yang dialami pun terkadang dijadikan topik atau tema untuk diunggul-unggulkan. Ketika saudara kita menceritakan alangkah menyakitkannya suatu peristiwa yang dialaminya, maka kita akan mencoba mencari-cari dalam memori kita, penderitaan apa yang kira-kira pernah kita alami, yang lebih dahsyat dan mengenaskan daripada ceritanya. Seakan dengan mengisahkan penderitaan yang lebih dahsyat tersebut kita mendapatkan suatu kemenangan, kemenangan yang semu. Senyum bangga tersimpul di wajahnya jika ternyata tak ada yang mampu menceritakaan penderitaan yang lebih menyakitkan daripada ceritanya.
Saat menceritakan dan memvisualisasikan penderitaan yang pernah dialami terkadang juga dilakukan dengan cara yang berlebihan dan sangat hiperbola, ditambahkan sedikit bumbu dusta dalam rangka menguatkan cerita tersebut dan juga agar kita yang menjadi "juara"-nya.
Syaikh Abdullah Azzam rahimahullaah, seorang ulama dan mujahid yang syahid di Afghanistan berkata dalam bukunya Nasehat-nasehat Rasulullah SAW Penawar Lelah Pengemban Dakwah: “Ada sebagian aktivis jika ditimpa musibah, kecelakaan atau ujian, mereka membicarakannya berhari-hari. Topiknya: apa penyebabnya, mengapa itu bisa terjadi, bagaimana kejadiannya, siapa saja yang terkait, bagaimana kisah lengkapnya dan seterusnya dan seterusnya. Mereka sibuk larut dalam perdebatan yang panjang padahal mereka bukan para pengambil dan ahli keputusan.”
Alangkah baiknya jika ada penderitaan dan musibah yang sedang atau pernah kita alami, kita bersabar dan kita adukan hal tersebut pertama kali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullaah berkata: "Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran, (1) engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu; (2) tidak pula sakit yang kau derita; (3) serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri." (Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri hal. 81)
Kita boleh menceritakan masalah dan problematika yang kita alami kepada orang yang kita percaya atau kepada orang yang bisa memberikan solusi dan do'a untuk kita, seperti orang tua, saudara, sahabat seiman, murabbi, ustadz dan lain-lain. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah ketika ditanya perihal menceritakan mengenai penderitaan sakit yang dialami kepada teman-teman dekat, beliau rahimahullah menjawab: "Anda pun boleh mengabarkan teman dan sahabat anda tentang keadaan anda, namun dengan memuji Allah, bersyukur kepada Allah, dengan menyebutkan bahwa anda telah memohon kesembuhan kepada Allah dan telah menjalani upaya untuk sembuh yang mubah. Aku menasehatkan anda agar bersabar dan mengharap pahala dari Allah."
Bagaimana jika ada saudara atau sahabat kita yang menceritakan penderitaan yang dia rasakan? Kita sebagai ummat Muslim selayaknya menjadi pendengar yang baik dan memberikan solusi serta jalan keluar kepada mereka. Ustadz Salim A. Fillah memberikan nasehat indah dalam bukunya, Dalam Dekapan Ukhuwah, “Maka langkah penting lain dalam memahami merea yang mungkin saja hidup dalam ukuran berbeda-beda adalah memeriksa kembali sikap kita. Adakah kita masih mempertandingkan derita atau memperlombakan lara sekedar untuk membuat lawan bicara kita terluka? Atau ketika saudara tercinta menangis menceritakan dukanya, kita telah mampu berbagi air mata disertai senyum yang menguatkan? Berbahagialah mereka yang bersikap terbaik dalam dekapan ukhuwah.”
Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita untuk bisa mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah disiksa, dilempari batu dan kotoran unta, diletakkan isi perut unta di kepalanya yang mulia dan dicekik ketika shalat, dicaci dan dimaki, dituduh penyihir, disebut gila, sahabat-sahabatnya disiksa dan dibunuh, istri beliau difitnah berzina, tetapi beliau tetap bersabar dan tak pernah menceritakan dan mengeluhkannya kepada orang lain. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila disakiti, beliau hanya mengucapkan, “Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan yang lebih daripada (ujian yang saya alami ini), namun beliau dapat bersabar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallaahu a'lam... []
Penulis : Fais al-Fatih | @al_fais | Cimahi
Mahasiswa Magister Informatika Opsi Sistem Informasi STEI ITB,
Traineer di Spirit Tarbiyah Center, anggota Kelompok Studi Palestina
“Gitu aja bangga, aku dulu delay 2 jam loh....!!”
“Kalian berdua berisik... aku pernah ditunda seharian, sampai memutih rambut ini nungguin pesawatnya...”
“Kalian semua sombong... Aku gak pernah naik pesawat, biasa aja...!!”
Manusia mempunyai kecenderungan untuk berkompetisi dan bertanding memperlombakan, mengunggul-unggulkan sesuatu yang dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan simpati dan atensi dari orang lain. Bukan hanya capaian, prestasi dan kegemilangan saja yang sering diunggul-unggulkan, penderitaan dan musibah yang dialami pun terkadang dijadikan topik atau tema untuk diunggul-unggulkan. Ketika saudara kita menceritakan alangkah menyakitkannya suatu peristiwa yang dialaminya, maka kita akan mencoba mencari-cari dalam memori kita, penderitaan apa yang kira-kira pernah kita alami, yang lebih dahsyat dan mengenaskan daripada ceritanya. Seakan dengan mengisahkan penderitaan yang lebih dahsyat tersebut kita mendapatkan suatu kemenangan, kemenangan yang semu. Senyum bangga tersimpul di wajahnya jika ternyata tak ada yang mampu menceritakaan penderitaan yang lebih menyakitkan daripada ceritanya.
Saat menceritakan dan memvisualisasikan penderitaan yang pernah dialami terkadang juga dilakukan dengan cara yang berlebihan dan sangat hiperbola, ditambahkan sedikit bumbu dusta dalam rangka menguatkan cerita tersebut dan juga agar kita yang menjadi "juara"-nya.
Syaikh Abdullah Azzam rahimahullaah, seorang ulama dan mujahid yang syahid di Afghanistan berkata dalam bukunya Nasehat-nasehat Rasulullah SAW Penawar Lelah Pengemban Dakwah: “Ada sebagian aktivis jika ditimpa musibah, kecelakaan atau ujian, mereka membicarakannya berhari-hari. Topiknya: apa penyebabnya, mengapa itu bisa terjadi, bagaimana kejadiannya, siapa saja yang terkait, bagaimana kisah lengkapnya dan seterusnya dan seterusnya. Mereka sibuk larut dalam perdebatan yang panjang padahal mereka bukan para pengambil dan ahli keputusan.”
Alangkah baiknya jika ada penderitaan dan musibah yang sedang atau pernah kita alami, kita bersabar dan kita adukan hal tersebut pertama kali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullaah berkata: "Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran, (1) engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu; (2) tidak pula sakit yang kau derita; (3) serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri." (Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri hal. 81)
Kita boleh menceritakan masalah dan problematika yang kita alami kepada orang yang kita percaya atau kepada orang yang bisa memberikan solusi dan do'a untuk kita, seperti orang tua, saudara, sahabat seiman, murabbi, ustadz dan lain-lain. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah ketika ditanya perihal menceritakan mengenai penderitaan sakit yang dialami kepada teman-teman dekat, beliau rahimahullah menjawab: "Anda pun boleh mengabarkan teman dan sahabat anda tentang keadaan anda, namun dengan memuji Allah, bersyukur kepada Allah, dengan menyebutkan bahwa anda telah memohon kesembuhan kepada Allah dan telah menjalani upaya untuk sembuh yang mubah. Aku menasehatkan anda agar bersabar dan mengharap pahala dari Allah."
Bagaimana jika ada saudara atau sahabat kita yang menceritakan penderitaan yang dia rasakan? Kita sebagai ummat Muslim selayaknya menjadi pendengar yang baik dan memberikan solusi serta jalan keluar kepada mereka. Ustadz Salim A. Fillah memberikan nasehat indah dalam bukunya, Dalam Dekapan Ukhuwah, “Maka langkah penting lain dalam memahami merea yang mungkin saja hidup dalam ukuran berbeda-beda adalah memeriksa kembali sikap kita. Adakah kita masih mempertandingkan derita atau memperlombakan lara sekedar untuk membuat lawan bicara kita terluka? Atau ketika saudara tercinta menangis menceritakan dukanya, kita telah mampu berbagi air mata disertai senyum yang menguatkan? Berbahagialah mereka yang bersikap terbaik dalam dekapan ukhuwah.”
Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita untuk bisa mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah disiksa, dilempari batu dan kotoran unta, diletakkan isi perut unta di kepalanya yang mulia dan dicekik ketika shalat, dicaci dan dimaki, dituduh penyihir, disebut gila, sahabat-sahabatnya disiksa dan dibunuh, istri beliau difitnah berzina, tetapi beliau tetap bersabar dan tak pernah menceritakan dan mengeluhkannya kepada orang lain. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila disakiti, beliau hanya mengucapkan, “Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan yang lebih daripada (ujian yang saya alami ini), namun beliau dapat bersabar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallaahu a'lam... []
Penulis : Fais al-Fatih | @al_fais | Cimahi
Mahasiswa Magister Informatika Opsi Sistem Informasi STEI ITB,
Traineer di Spirit Tarbiyah Center, anggota Kelompok Studi Palestina
0 comments:
Post a Comment