Bisa jadi, menikah menjadi satu-satunya ibadah yang paling banyak dipertimbangkan sebelum seseorang melakukannya. Berbeda halnya dengan shalat yang langsung dilakukan ketika waktunya tiba, atau puasa ramadhan yang serta merta dijalankan ketika memasuki tanggal satu di bulan penuh berkah itu. Menikah, banyak dipertimbangkan sebelum dilakukan, salah satunya, karena ibadah ini merupakan salah satu bentuk pertaruhan hidup seorang anak manusia.
Sayangnya, pertimbangan-pertimbangan itu, kebanyakannya tidak syar’i. Hanya berdasarkan prasangka, nilai yang terkandung dalam adat istiadat, atau gaya hidup semata. Sehingga, di zaman kita ini, banyak orang yang akhirnya gagal menikah karena alasan remeh temeh terkait hal-hal duniawi.
Sebut saja misalnya, orang tua yang melarang putranya menikah hanya karena calon istrinya bukan dari suku yang diinginkan, dan bertentangan dengan aturan adat daerah asalnya. Atau, seorang istri yang menolak calon suaminya hanya karena kurang tinggi sekian senti, kurang kaya sekian milyar, belum memiliki mobil, rumah dan aneka jenis usaha lainnya. Begitupun sebaliknya, orang tua yang tidak menyetujui anaknya untuk menikah hanya karena calon istrinya kurang mancung, kurang putih kulitnya, juga kurang tinggi fisiknya.
Hal-hal seperti inilah yang menunjukan lemahnya keimanan dan orientasi dunia yang berlebih. Sehingga, bagi kita yang sedang belajar untuk menjadi muslim sejati, harus banyak beristighfar dan mengelus dada karena kasus ini seringkali terulang.
Mari sejenak, kita tengok kisah pernikahan di zaman para nabi. dimana kehidupan mereka adalal prototipe terbaik yang harus kita teladani, sesuai kemampuan terbaik kita. Adalah Ummu Sulaim, salah satu shahabiyah di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika Abu Thalhah yang masih kafir datang melamarnya, wanita shalihah itu mengajukan syarat bahwa dia akan menerima lamaran jika Abu Thalhah masuk Islam, beriman kepada Allah dan Rasulullah. Kisah agung ini, kemudian menyejarah dan menjadi teladan lintas generasi. Sayangnya, di zaman kita ini, keadaan ini justru berbalik. Bahkan, ada banyak muslimah yang kemudian menjadi kafir lantaran mengikuti agama calon suaminya.
Kisah lain, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak mencarikan pendamping hidup untuk anaknya, Fatimah az-Zahra. Ketika Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin ‘Affan datang mengajukan diri untuk putri kesayangannya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak. Padahal, ketiga orang itu adalah laki-laki terbaik pada zaman itu.
Lantas kemudian, datanglah Ali bin Abi Thalib yang sebelumnya enggan lantaran tahu diri. Tapi, di luar prediksinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menerima Ali bin Abi Thalib. Bahkan, ketika Ali bin Abi Thalib tidak memiliki apapun untuk dijadikan mahar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai wali mempermudah semuanya. Hingga akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah az-Zahra dengan mahar cincin besi. Bisa dihitung, berapa harga cincin besi?
Justru, di sinilah kita diajarkan untuk mengerti. Bahwa pernikahan yang suci, dengan semangat menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’alaa, sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ia tak layak diukur dengan duniawi, semahal dan sebanyak apapun. Meskipun, Islam tidak melarang jika memang mampu dan tidak memberatkan kedua belah pihak. Tentu, kedua keadaan ini, harus dalam koridor menetapi sunnah nabi dan jika dilakukan bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Ini pula yang menjadi dasar, bahwa suat ketika, Rasulullah pernah berpesan, bahwa wanita yang terbaik diantara kalian adalah yang paling murah maharnya. Tentu, murahnya mahar tidak identik dengan menganggap wanita bermartabat rendah. Tapi justru memuliakan, dan sebentuk cara agar banyak pemuda muslim shalih menyegerakan melamar wanita-wanita shalihah itu. Sayangnya, kisah-kisah luar biasa ini, seringkali dianggap sebagai dongeng, dengan semangat yang rendah untuk meneladaninya. Padahal, apa yang telah dilakukan oleh generasi ini adalah contoh dengan jaminan surga bagi siapa yang menjalaninya, dengan ikhlas.
Semoga, dengan diulangnya kisah-kisah teladan semacam ini, membuat kita semakin yakin bahwa mencontoh nabi adalah kebaikan tak berujung. Kita juga berharap, setelah ini, tak ada lagi penolakan hingga akhirnya gagal menikah hanya karena fisik, harta maupun keturunan. Karena jauh-jauh hari, Rasulullah sudah meyakinkan kepada kita, bahwa satu-satunya alasan utama yang dijadikan alasan seseorang untuk menerima atau menolak hanyalah agama, keshalihan. Bukan selainnya. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Sayangnya, pertimbangan-pertimbangan itu, kebanyakannya tidak syar’i. Hanya berdasarkan prasangka, nilai yang terkandung dalam adat istiadat, atau gaya hidup semata. Sehingga, di zaman kita ini, banyak orang yang akhirnya gagal menikah karena alasan remeh temeh terkait hal-hal duniawi.
Sebut saja misalnya, orang tua yang melarang putranya menikah hanya karena calon istrinya bukan dari suku yang diinginkan, dan bertentangan dengan aturan adat daerah asalnya. Atau, seorang istri yang menolak calon suaminya hanya karena kurang tinggi sekian senti, kurang kaya sekian milyar, belum memiliki mobil, rumah dan aneka jenis usaha lainnya. Begitupun sebaliknya, orang tua yang tidak menyetujui anaknya untuk menikah hanya karena calon istrinya kurang mancung, kurang putih kulitnya, juga kurang tinggi fisiknya.
Hal-hal seperti inilah yang menunjukan lemahnya keimanan dan orientasi dunia yang berlebih. Sehingga, bagi kita yang sedang belajar untuk menjadi muslim sejati, harus banyak beristighfar dan mengelus dada karena kasus ini seringkali terulang.
Mari sejenak, kita tengok kisah pernikahan di zaman para nabi. dimana kehidupan mereka adalal prototipe terbaik yang harus kita teladani, sesuai kemampuan terbaik kita. Adalah Ummu Sulaim, salah satu shahabiyah di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika Abu Thalhah yang masih kafir datang melamarnya, wanita shalihah itu mengajukan syarat bahwa dia akan menerima lamaran jika Abu Thalhah masuk Islam, beriman kepada Allah dan Rasulullah. Kisah agung ini, kemudian menyejarah dan menjadi teladan lintas generasi. Sayangnya, di zaman kita ini, keadaan ini justru berbalik. Bahkan, ada banyak muslimah yang kemudian menjadi kafir lantaran mengikuti agama calon suaminya.
Kisah lain, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak mencarikan pendamping hidup untuk anaknya, Fatimah az-Zahra. Ketika Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin ‘Affan datang mengajukan diri untuk putri kesayangannya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak. Padahal, ketiga orang itu adalah laki-laki terbaik pada zaman itu.
Lantas kemudian, datanglah Ali bin Abi Thalib yang sebelumnya enggan lantaran tahu diri. Tapi, di luar prediksinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menerima Ali bin Abi Thalib. Bahkan, ketika Ali bin Abi Thalib tidak memiliki apapun untuk dijadikan mahar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai wali mempermudah semuanya. Hingga akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah az-Zahra dengan mahar cincin besi. Bisa dihitung, berapa harga cincin besi?
Justru, di sinilah kita diajarkan untuk mengerti. Bahwa pernikahan yang suci, dengan semangat menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’alaa, sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ia tak layak diukur dengan duniawi, semahal dan sebanyak apapun. Meskipun, Islam tidak melarang jika memang mampu dan tidak memberatkan kedua belah pihak. Tentu, kedua keadaan ini, harus dalam koridor menetapi sunnah nabi dan jika dilakukan bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Ini pula yang menjadi dasar, bahwa suat ketika, Rasulullah pernah berpesan, bahwa wanita yang terbaik diantara kalian adalah yang paling murah maharnya. Tentu, murahnya mahar tidak identik dengan menganggap wanita bermartabat rendah. Tapi justru memuliakan, dan sebentuk cara agar banyak pemuda muslim shalih menyegerakan melamar wanita-wanita shalihah itu. Sayangnya, kisah-kisah luar biasa ini, seringkali dianggap sebagai dongeng, dengan semangat yang rendah untuk meneladaninya. Padahal, apa yang telah dilakukan oleh generasi ini adalah contoh dengan jaminan surga bagi siapa yang menjalaninya, dengan ikhlas.
Semoga, dengan diulangnya kisah-kisah teladan semacam ini, membuat kita semakin yakin bahwa mencontoh nabi adalah kebaikan tak berujung. Kita juga berharap, setelah ini, tak ada lagi penolakan hingga akhirnya gagal menikah hanya karena fisik, harta maupun keturunan. Karena jauh-jauh hari, Rasulullah sudah meyakinkan kepada kita, bahwa satu-satunya alasan utama yang dijadikan alasan seseorang untuk menerima atau menolak hanyalah agama, keshalihan. Bukan selainnya. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment