Oleh : Muhammad Lili Nur Aulia
Saudaraku,
Salah satu rahasia mahalnya anugerah Allah SWT kepada kita berada di jalan orang-orang shalih adalah, karena kita mendapat pencerahan dan penyegaran luar biasa dari mereka. Bisa karena ruh keshalihannya yang otomatis terpancar dari dirinya, atau bahkan dari kata-katanya. Atau bahkan suasana hati yang menjadi lebih tunduk, takut kepada Allah, urung melakukan kemaksiatan, karena keberadaan mereka.
Seperti dahulu, para sahabat Rasulullah SAW kerap meminta nasihat dan wasiat pada Rasulullah SAW, dalam banyak kesempatan. Dan Rasulullah SAW menyampaikan nasihatnya dengan sangat bijak dan begitu mengesankan. Hingga suatu ketika seorang sahabat bernama Sa'id bin Yazid Al-Azdi r.a. memnita pada Rasulullah SAW, "Nasihatilah aku..." ujarnya kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Aku wasiatkan engkau agar malu kepada Allah SWT sebagaimana engkau malu dari orang yang shalih." (HR. Ahmad)
Saudaraku,
Memberikan nasihat kepada seorang mukmin yang meminta nasihat kepada saudaranya, termasuk sunnah Rasulullah SAW untuk dipenuhi. Hadits itu memberi permisalan yang mendekatkan logika penanya, terhadap substansi nasihat yang disampaikan Rasulullah SAW. Tentang bagaimana cara kita bisa menghalangi diri dari dosa. Tentang bagaimana kita bisa memaknai rasa malu dari dosa dengan rasa malu kita terhadap sesuatu yang kita segani. Tentang bagaimana pikiran dan perilaku kita seharusnya bisa terpengaruh oleh kondisi orang yang melihat kita, terlebih oleh Allah SWT yang Maha melihat dan Maha Mengetahui.
Malu kepada Allah SWT, jelas sikap mulia. Sikap malu kepada Allah SWT, juga jelas tidak sama dengan sikap malu terhadap manusia, berapapun tingkat dan derajat manusia itu. Tapi hadits tadi hanya memunculkan gambaran yang bisa dipahami, tentang rasa malu berbuat dosa. Dan bila seseorang telah memiliki sikap malu kepada Allah SWT, sikap itulah yang mampu menjadi benteng penghalang seseorang dari perilaku jahat, kapanpun, di manapun, dalam kondisi papaun. Penghalang dosa seperti itu takkan datang bila sikap malu, hanya berasal dari manusia atau dari keadaan tertentu.
Saudaraku,
Barangkali banyak orang yang belum terlalu merasakan bila Allah SWT memantau dan Maha Mengetahui keadaan dirinya. Sementara orang-orang shalih dahulu, adalah orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada Allah SWT. Tingkat rasa malu mereka kepada Allah SWT, sampai dalam bentuk tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan. Dalam hadits Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a. ditanya tentang firman Allah SWT, surat Hud ayat 5, yang artinya: "Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati."
Ibnu Abbas mengomentari ayat ini dengan mengatakan, "Dahulu orang-orang yang memiliki rasa malu menyendiri dan menjauh dari keadaan berada langsung di bawah langit, dan mereka tidak mau berhubungan badan dengan istri-istri mereka. Lalu turunlah ayat itu atas mereka." Abu Bakar Shidiq mengatakan, "Malulah kalian kepada Allah, sungguh aku pergi membuang hajat lalu aku berlindung dengan bajuku karena malu dengan Rabbku..." Bahkan Abu Musa mengatakan, bila ia mandi di sebuah rumah yang gelap, ia tidak berani berdiri karena malu kepada Allah SWT."
Karena rasa malu itu pula, Aisyah r.a. tidak masuk ke lokasi pemakaman Rasulullah SAW kecuali dengan aurat tertutup rapat. "Dahulu aku sering mendatangi makam Rasulullah SAW dan makam ayahku (Abu Bakar Shiddiq r.a.) dan aku mungkin melepas sebagian kainku dengan mengatakan bahwa itu adalah makam suamiku dan ayahku. Tapi ketika Umar r.a. juga dimakamkan di lokasi pemakaman itu, aku tidak datang ke sana kecuali dalam kondisi pakaianku tertutup rapat karena malu dengan Umar r.a." (HR. Hakim)
Saudaraku,
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW mengatakan bahwa rasa malu selalu saja mendatangkan kebaikan. Sebab andai hilang rasa malu, munculnya raa biasa dan tidak peduli dengan penilaian orang, terlebih penilaian Allah SWT, maka itu merupakan salah satu pemicu perilaku dosa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Termasuk hukuman terhadap pelaku kemaksiatan adalah, hilangnya rasa malu yang sebenarnya malu itu adalah unsur hidupnya hati dan asal muasal semua kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya kebaikan seluruhnya. Karena di dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, "Rasa malu itu seluruhnya adalah baik."
Coba kita perhatikan lagi lebih jauh perkataan Ibnul Qayyim lebih lanjut dalam kitab Ad-Daa'u wa Ad-Dawaa; itu yang mengatakan, bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti ia tidak mempunyai anasir kemanusiannya, kecuali hanya daging dan darah serta bentuk tubuh lahir mereka saja." Artinya, dalam kondisi seperti itu, manusia sudah sama seperti hewan, perbedaannya hanya masalah daging, darah dan bentuk lahirnya.
Saudaraku,
Rasa malu bisa diwujudkan dengan menumbuhkan pengenalan kita yang lebih dalam atas kekuasaan Allah SWT. Sebab semakin sadar seseorang atas ke-Maha Kuasa-an Allah SAW, semakin kecillah ia menyadari nilai dirinya. Rasa malu bisa juga didorong dengan bagaimana kita melihat orang lain yang begitu menjaga dirinya dari dosa. Rasa malu, juga bisa tersentuh oleh keberadaan kita bersama orang-orang baik, orang-orang yang terbiasa memaksa diri untuk berlaku lurus, di manapun dan kapanpun.
Kita harus belajar dari mereka, saudaraku.
Mari sama-sama berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah SWT dari menjadi golongan orang-orang yang tidak tahu malu. Dari mereka yang tak kenal malu kepada manusia, terlebih kepada Allah SWT Umar mengatakan, "Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, berarti sedikit pula sikap wara'nya. Dan hatinya telah mati."
[Sumber : Rubrik Ruhaniyat Majalah Tarbawi edisi 224]
_______________________________________________________
DOWNLOAD E-BOOK ARTIKEL DIATAS DALAM FORMAT PDF DI SINI
DOWNLOAD E-BOOK ARTIKEL DIATAS DALAM FORMAT MS. WORD DI SINI
Saudaraku,
Salah satu rahasia mahalnya anugerah Allah SWT kepada kita berada di jalan orang-orang shalih adalah, karena kita mendapat pencerahan dan penyegaran luar biasa dari mereka. Bisa karena ruh keshalihannya yang otomatis terpancar dari dirinya, atau bahkan dari kata-katanya. Atau bahkan suasana hati yang menjadi lebih tunduk, takut kepada Allah, urung melakukan kemaksiatan, karena keberadaan mereka.
Seperti dahulu, para sahabat Rasulullah SAW kerap meminta nasihat dan wasiat pada Rasulullah SAW, dalam banyak kesempatan. Dan Rasulullah SAW menyampaikan nasihatnya dengan sangat bijak dan begitu mengesankan. Hingga suatu ketika seorang sahabat bernama Sa'id bin Yazid Al-Azdi r.a. memnita pada Rasulullah SAW, "Nasihatilah aku..." ujarnya kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Aku wasiatkan engkau agar malu kepada Allah SWT sebagaimana engkau malu dari orang yang shalih." (HR. Ahmad)
Saudaraku,
Memberikan nasihat kepada seorang mukmin yang meminta nasihat kepada saudaranya, termasuk sunnah Rasulullah SAW untuk dipenuhi. Hadits itu memberi permisalan yang mendekatkan logika penanya, terhadap substansi nasihat yang disampaikan Rasulullah SAW. Tentang bagaimana cara kita bisa menghalangi diri dari dosa. Tentang bagaimana kita bisa memaknai rasa malu dari dosa dengan rasa malu kita terhadap sesuatu yang kita segani. Tentang bagaimana pikiran dan perilaku kita seharusnya bisa terpengaruh oleh kondisi orang yang melihat kita, terlebih oleh Allah SWT yang Maha melihat dan Maha Mengetahui.
Malu kepada Allah SWT, jelas sikap mulia. Sikap malu kepada Allah SWT, juga jelas tidak sama dengan sikap malu terhadap manusia, berapapun tingkat dan derajat manusia itu. Tapi hadits tadi hanya memunculkan gambaran yang bisa dipahami, tentang rasa malu berbuat dosa. Dan bila seseorang telah memiliki sikap malu kepada Allah SWT, sikap itulah yang mampu menjadi benteng penghalang seseorang dari perilaku jahat, kapanpun, di manapun, dalam kondisi papaun. Penghalang dosa seperti itu takkan datang bila sikap malu, hanya berasal dari manusia atau dari keadaan tertentu.
Saudaraku,
Barangkali banyak orang yang belum terlalu merasakan bila Allah SWT memantau dan Maha Mengetahui keadaan dirinya. Sementara orang-orang shalih dahulu, adalah orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada Allah SWT. Tingkat rasa malu mereka kepada Allah SWT, sampai dalam bentuk tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan. Dalam hadits Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a. ditanya tentang firman Allah SWT, surat Hud ayat 5, yang artinya: "Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati."
Ibnu Abbas mengomentari ayat ini dengan mengatakan, "Dahulu orang-orang yang memiliki rasa malu menyendiri dan menjauh dari keadaan berada langsung di bawah langit, dan mereka tidak mau berhubungan badan dengan istri-istri mereka. Lalu turunlah ayat itu atas mereka." Abu Bakar Shidiq mengatakan, "Malulah kalian kepada Allah, sungguh aku pergi membuang hajat lalu aku berlindung dengan bajuku karena malu dengan Rabbku..." Bahkan Abu Musa mengatakan, bila ia mandi di sebuah rumah yang gelap, ia tidak berani berdiri karena malu kepada Allah SWT."
Karena rasa malu itu pula, Aisyah r.a. tidak masuk ke lokasi pemakaman Rasulullah SAW kecuali dengan aurat tertutup rapat. "Dahulu aku sering mendatangi makam Rasulullah SAW dan makam ayahku (Abu Bakar Shiddiq r.a.) dan aku mungkin melepas sebagian kainku dengan mengatakan bahwa itu adalah makam suamiku dan ayahku. Tapi ketika Umar r.a. juga dimakamkan di lokasi pemakaman itu, aku tidak datang ke sana kecuali dalam kondisi pakaianku tertutup rapat karena malu dengan Umar r.a." (HR. Hakim)
Saudaraku,
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW mengatakan bahwa rasa malu selalu saja mendatangkan kebaikan. Sebab andai hilang rasa malu, munculnya raa biasa dan tidak peduli dengan penilaian orang, terlebih penilaian Allah SWT, maka itu merupakan salah satu pemicu perilaku dosa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Termasuk hukuman terhadap pelaku kemaksiatan adalah, hilangnya rasa malu yang sebenarnya malu itu adalah unsur hidupnya hati dan asal muasal semua kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya kebaikan seluruhnya. Karena di dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, "Rasa malu itu seluruhnya adalah baik."
Coba kita perhatikan lagi lebih jauh perkataan Ibnul Qayyim lebih lanjut dalam kitab Ad-Daa'u wa Ad-Dawaa; itu yang mengatakan, bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti ia tidak mempunyai anasir kemanusiannya, kecuali hanya daging dan darah serta bentuk tubuh lahir mereka saja." Artinya, dalam kondisi seperti itu, manusia sudah sama seperti hewan, perbedaannya hanya masalah daging, darah dan bentuk lahirnya.
Saudaraku,
Rasa malu bisa diwujudkan dengan menumbuhkan pengenalan kita yang lebih dalam atas kekuasaan Allah SWT. Sebab semakin sadar seseorang atas ke-Maha Kuasa-an Allah SAW, semakin kecillah ia menyadari nilai dirinya. Rasa malu bisa juga didorong dengan bagaimana kita melihat orang lain yang begitu menjaga dirinya dari dosa. Rasa malu, juga bisa tersentuh oleh keberadaan kita bersama orang-orang baik, orang-orang yang terbiasa memaksa diri untuk berlaku lurus, di manapun dan kapanpun.
Kita harus belajar dari mereka, saudaraku.
Mari sama-sama berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah SWT dari menjadi golongan orang-orang yang tidak tahu malu. Dari mereka yang tak kenal malu kepada manusia, terlebih kepada Allah SWT Umar mengatakan, "Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, berarti sedikit pula sikap wara'nya. Dan hatinya telah mati."
[Sumber : Rubrik Ruhaniyat Majalah Tarbawi edisi 224]
DOWNLOAD E-BOOK ARTIKEL DIATAS DALAM FORMAT PDF DI SINI
DOWNLOAD E-BOOK ARTIKEL DIATAS DALAM FORMAT MS. WORD DI SINI
0 comments:
Post a Comment