Jika saatnya tiba, kita akan melakukan pekerjaan ini: mencari. Mencari menantu untuk menjadi pendamping anak kita, memilihkan yang terbaik untuknya. Bukan hanya untuk anak kandung kita. Kita juga dituntut untuk (membantu) mencari menantu untuk anak didik kita. Di sinilah salah satu peran pembina sebagai walid (orang tua).
Sebagai orang tua, tentu kita menginginkan yang terbaik untuk anak (didik) kita. Kita ingin keluarga yang dibangun anak-anak kita menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Kita juga menginginkan keluarga mereka adalah keluarga dakwah; dimulai dari pembentukan usrah muslimah (keluarga islami) yang menjadi teladan bagi keluarga di kanan kiri hingga mempengaruhi masyarakat menjadi islami.
Dalam kerangka tujuan itu, pertimbangan pertama mencari menantu adalah pertimbangan iman; agamanya! Tidak ada toleransi bagi kita untuk memilih calon menantu dari luar Din yang benar ini.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu..." (QS. Al-Baqarah : 221)
Rasulullah SAW juga menunjukkan betapa agama harus menjadi pertimbangan pertama melebihi pertimbangan lainnya:
“Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka celakalah kamu”. (HR. Jamaah kecuali Tirmidzi)
Bagaimana orang tua bisa "memastikan" calon menantunya memiliki kualitas agama yang baik? Umar bin Khattab pernah mencontohkan untuk kita.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Umar bin Khatab berkeliling untuk memperhatikan sendiri keadaan rakyatnya. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari sebuah rumah.
“Nak, campurkanlah susu ini dengan air,” kata sang ibu bermaksud mendapat keuntungan lebih besar. “Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Toh Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” sang ibu mencoba meyakinkan anaknya. “Ibu... Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya, tapi, Allah pasti mengetahuinya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, menangislah Umar bin Khattab. Terpesona dengan keimanan gadis itu, ia pun memilihkannya untuk menjadi pendamping putranya, Ashim bin Umar bin Khattab.
Dari mereka berdua lahirlah Laila yang dikenal dengan nama Umu Ashim. Setelah Umu Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, dari keduanya lahirlan Umar bin Abdul Aziz; pemimpin fenomenal pada zaman kekhilafahan Bani Umayyah yang oleh sebagian ulama dimasukkan dalam khulafa'ur rasyidin.
Dalam kesendirian, ketika seseorang merasa tidak ada orang lain yang memperhatikan, tidak ada orang lain yang mendengar, maka ucapan dan perbuatannya bukanlah rekayasa atau pura-pura. Itu asli. Dan dari dialog itu kesimpulan Umar tidak meleset. Ia tepat untuk putranya.
Cara kedua mengetahui kualitas agama calon menantu adalah melihat kebiasaannya. Kebiasaan dalam waktu yang sangat lama. Sa'id bin Musayyab adalah salah seorang tabi'in yang mencontohkan memilih menantu dengan cara ini.
Suatu hari, Abdul Malik bin Marwan melamar putrinya untuk putra mahkota Walid bin Abdul Malik. Sa'id bin Musayyab tidak silau oleh harta dan jabatan, ia menolak lamaran itu karena alasan agama.
Dalam waktu yang tidak lama, salah seorang santrinya ditinggal mati oleh istrinya. Nama santri itu Kutsayyir bin Abi Wada’ah. "Apakah engkau tidak ingin menikah?," tanya Sa'id bin Musayyab kepada santrinya itu. "Siapakah yang mau dengan aku, wahai Syaikh?" jawab Kutsayyir ragu untuk segera menikah lagi di tengah kemiskinannya. Namun Sa'id bin Musayyab dengan mantab memilihnya menjadi menantu, hanya dengan mas kawin dua dirham.
Cara ketiga adalah dengan mengamati siapa temannya. Jika teman-temannya adalah komunitas yang shalih, maka kita bisa menanyakan bagaimana kualitas calon menantu itu dari mereka.
Setelah keimanannya tidak diragukan, berikutnya adalah faktor harmony; yang dengannya sakinah bisa lebih memungkinkan dibangun dalam hari-hari panjang berkeluarga. Harmony tidak selalu harus sama; seperti nada yang berbeda namun ketika dipadukan menghasilkan musik yang merdu, atau dua warna membentuk gradasi yang indah.
Di sini orang tua bisa menggunakan "feeling" dan "firasat" nya. Semakin berpengalaman orang tua memilihkan untuk anak-anak (didik) nya, semakin terasah ia memprediksikan harmony antar keduanya, meskipun hanya sekilas tahu sosok calon menantunya. Tidak selamanya tepat memang. Sebab harmony ditentukan oleh banyak faktor yang tidak selalu sama; karakter atau kepribadian antara keduanya, tingkat intelektual, lingkungan atau latar belakang keluarga, usia hingga fisiknya.
Harmony yang kita firasatkan dapat diketahui kebenarannya jika pada saat ta'aruf anak (didik) kita dengan jujur mengatakan persetuannya, tidak ada keberatan. Jika hati menolak karena ketidakterpautan jiwa, pernikahan bisa menjadi berbahaya. Hadits Ibnu Abbas mengajarkan kepada kita.
Dari Ibnu Abbas RA, bahwasannya istri Qais bin Tsabit datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais, aku tidak mencela agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karena durhaka pada suami) setelah aku masuk Islam.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai mahar)?.” Dia menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan thalaq satu”. (HR. Bukhari)
Keterpautan jiwa seperti itu perlu dimiliki oleh kedua insan yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun cinta yang lebih dalam, ia akan berkembang sejalan dengan hari-hari yang dilalui bersama oleh keduanya kelak. Jika hadits Istri Qais mengajarkan ketiadaan rasa suka bisa menyiksa jiwa dan mengakhiri ikatan rumah tangga, sesungguhnya pernikahan memerlukan modal awal kimia jiwa itu; sebagai tunas cinta yang akan menjulang mengangkasa. "Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik," kata Anis Matta dalam Serial Cinta, "ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta."
Menentukan berdasarkan "firasat" harmony juga kebijaksanaan tersendiri bagi seorang pembina. Seorang pembina mendapati mad'unya ketika mengajukan "proposal" mengatakan: "Terserah antum, yang antum pilihkan insya Allah yang terbaik buat ana." Namun pembina itu telah belajar dari proses-proses sebelumnya. Maka, biidnillah, pilihan-pilihannya selalu diamini oleh mad'u-mad'unya. Dan mereka kini telah mengayuh bahtera, seraya mengutip judul buku Asma Nadia: "sakinah bersamamu." Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]
Sebagai orang tua, tentu kita menginginkan yang terbaik untuk anak (didik) kita. Kita ingin keluarga yang dibangun anak-anak kita menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Kita juga menginginkan keluarga mereka adalah keluarga dakwah; dimulai dari pembentukan usrah muslimah (keluarga islami) yang menjadi teladan bagi keluarga di kanan kiri hingga mempengaruhi masyarakat menjadi islami.
Dalam kerangka tujuan itu, pertimbangan pertama mencari menantu adalah pertimbangan iman; agamanya! Tidak ada toleransi bagi kita untuk memilih calon menantu dari luar Din yang benar ini.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu..." (QS. Al-Baqarah : 221)
Rasulullah SAW juga menunjukkan betapa agama harus menjadi pertimbangan pertama melebihi pertimbangan lainnya:
“Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka celakalah kamu”. (HR. Jamaah kecuali Tirmidzi)
Bagaimana orang tua bisa "memastikan" calon menantunya memiliki kualitas agama yang baik? Umar bin Khattab pernah mencontohkan untuk kita.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Umar bin Khatab berkeliling untuk memperhatikan sendiri keadaan rakyatnya. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari sebuah rumah.
“Nak, campurkanlah susu ini dengan air,” kata sang ibu bermaksud mendapat keuntungan lebih besar. “Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Toh Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” sang ibu mencoba meyakinkan anaknya. “Ibu... Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya, tapi, Allah pasti mengetahuinya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, menangislah Umar bin Khattab. Terpesona dengan keimanan gadis itu, ia pun memilihkannya untuk menjadi pendamping putranya, Ashim bin Umar bin Khattab.
Dari mereka berdua lahirlah Laila yang dikenal dengan nama Umu Ashim. Setelah Umu Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, dari keduanya lahirlan Umar bin Abdul Aziz; pemimpin fenomenal pada zaman kekhilafahan Bani Umayyah yang oleh sebagian ulama dimasukkan dalam khulafa'ur rasyidin.
Dalam kesendirian, ketika seseorang merasa tidak ada orang lain yang memperhatikan, tidak ada orang lain yang mendengar, maka ucapan dan perbuatannya bukanlah rekayasa atau pura-pura. Itu asli. Dan dari dialog itu kesimpulan Umar tidak meleset. Ia tepat untuk putranya.
Cara kedua mengetahui kualitas agama calon menantu adalah melihat kebiasaannya. Kebiasaan dalam waktu yang sangat lama. Sa'id bin Musayyab adalah salah seorang tabi'in yang mencontohkan memilih menantu dengan cara ini.
Suatu hari, Abdul Malik bin Marwan melamar putrinya untuk putra mahkota Walid bin Abdul Malik. Sa'id bin Musayyab tidak silau oleh harta dan jabatan, ia menolak lamaran itu karena alasan agama.
Dalam waktu yang tidak lama, salah seorang santrinya ditinggal mati oleh istrinya. Nama santri itu Kutsayyir bin Abi Wada’ah. "Apakah engkau tidak ingin menikah?," tanya Sa'id bin Musayyab kepada santrinya itu. "Siapakah yang mau dengan aku, wahai Syaikh?" jawab Kutsayyir ragu untuk segera menikah lagi di tengah kemiskinannya. Namun Sa'id bin Musayyab dengan mantab memilihnya menjadi menantu, hanya dengan mas kawin dua dirham.
Cara ketiga adalah dengan mengamati siapa temannya. Jika teman-temannya adalah komunitas yang shalih, maka kita bisa menanyakan bagaimana kualitas calon menantu itu dari mereka.
Setelah keimanannya tidak diragukan, berikutnya adalah faktor harmony; yang dengannya sakinah bisa lebih memungkinkan dibangun dalam hari-hari panjang berkeluarga. Harmony tidak selalu harus sama; seperti nada yang berbeda namun ketika dipadukan menghasilkan musik yang merdu, atau dua warna membentuk gradasi yang indah.
Di sini orang tua bisa menggunakan "feeling" dan "firasat" nya. Semakin berpengalaman orang tua memilihkan untuk anak-anak (didik) nya, semakin terasah ia memprediksikan harmony antar keduanya, meskipun hanya sekilas tahu sosok calon menantunya. Tidak selamanya tepat memang. Sebab harmony ditentukan oleh banyak faktor yang tidak selalu sama; karakter atau kepribadian antara keduanya, tingkat intelektual, lingkungan atau latar belakang keluarga, usia hingga fisiknya.
Harmony yang kita firasatkan dapat diketahui kebenarannya jika pada saat ta'aruf anak (didik) kita dengan jujur mengatakan persetuannya, tidak ada keberatan. Jika hati menolak karena ketidakterpautan jiwa, pernikahan bisa menjadi berbahaya. Hadits Ibnu Abbas mengajarkan kepada kita.
Dari Ibnu Abbas RA, bahwasannya istri Qais bin Tsabit datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais, aku tidak mencela agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karena durhaka pada suami) setelah aku masuk Islam.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai mahar)?.” Dia menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan thalaq satu”. (HR. Bukhari)
Keterpautan jiwa seperti itu perlu dimiliki oleh kedua insan yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun cinta yang lebih dalam, ia akan berkembang sejalan dengan hari-hari yang dilalui bersama oleh keduanya kelak. Jika hadits Istri Qais mengajarkan ketiadaan rasa suka bisa menyiksa jiwa dan mengakhiri ikatan rumah tangga, sesungguhnya pernikahan memerlukan modal awal kimia jiwa itu; sebagai tunas cinta yang akan menjulang mengangkasa. "Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik," kata Anis Matta dalam Serial Cinta, "ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta."
Menentukan berdasarkan "firasat" harmony juga kebijaksanaan tersendiri bagi seorang pembina. Seorang pembina mendapati mad'unya ketika mengajukan "proposal" mengatakan: "Terserah antum, yang antum pilihkan insya Allah yang terbaik buat ana." Namun pembina itu telah belajar dari proses-proses sebelumnya. Maka, biidnillah, pilihan-pilihannya selalu diamini oleh mad'u-mad'unya. Dan mereka kini telah mengayuh bahtera, seraya mengutip judul buku Asma Nadia: "sakinah bersamamu." Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]
0 comments:
Post a Comment