Dalam dakwah, ada rintangan yang menghadang sebagian aktifisnya. Rintangan ini memerlukan perlawanan keras, karena daya tariknya juga keras. Yakni terbukanya berbagai fasilitas dan akses kekayaan, berkembangnya usaha mereka dan mudahnya mencari harta yang mengakibatkan mabuk dunia. Seluruh waktu, aktifitas, tenaga dan pikiran diarahkan untuk mencari dan mengumpulkan harta. Akhirnya ia menjadi alat harta dan dikuasai oleh kekayaan, yang sebelumnya dicari untuk menjadi alat dakwah dan jihadnya, serta alat untuk mencari keridhaan Allah.
Mencari harta yang halal itu tidak dilarang, bahkan dalam syariat Islam harus digalakkan. Tetapi ia hanyalah merupakan alat, bukan cita-cita utama. Yang dilarang adalah jika segala pemikiran dan ilmunya semata-mata untuk mencari harta, sehingga menghalanginya dari dakwah. Harta juga tidak boleh menghalanginyia dari melaksanakan hak-hak Allah dalam harta, dan mengorbankan sebagiannya di jalan Allah. Namun tuntutan dan keperluan dakwah bukan hanya cukup di situ. Lihatlah contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan sahabat-sahabat kaya lainnya. Harta tidak menyibukkan mereka dan tidak memghalangi mereka dari tugas dakwah dan berjihad di jalan Allah. Lebih dari itu mereka telah mengorbankan sebagian hartanya dengan mudah dan ridha di jalan Allah tatkala dakwah menghendaki semacam itu.
Bahaya mabuk harta dan mengumpulkannya hingga bertimbun-timbun, mudah menyelusup masuk ke dalam diri dan meresapi jiwa, lalu menjadi tujuan dan tak lagi menjadi alat dakwah dan alat mencari keridhaan Allah hingga pemilik harta itu lalai dari menunaikan segala kewajiban, apalagi yang sunnah. Lalu ia menumpukkan segenap pemikiran dan usahanya untuk menimbun harta hingga ke peringkat mabuk dan diperbudak harta serta tidak mau berpisah dengan harta, sampai menemui ajalnya, atau baru ia meninggalkan hartanya karena ada hal di luar kesanggupan yang memaksanya. Akhirnya ia menyesal di hadapan hisab yang sangat teliti di akhirat nanti.
Jadi, orang beriman harus mengawasi dirinya dengan pengawasan yang sangat ketat, supaya ia tidak jatuh tersungkur di dalam rintangan seperti itu. Jika tidak, maka harta sedikit yang mencukupi lebih baik daripada harta banyak yang melalaikan.
[Sumber: Fiqhud Dakwah karya Syaikh Mustafa Masyhur]
Mencari harta yang halal itu tidak dilarang, bahkan dalam syariat Islam harus digalakkan. Tetapi ia hanyalah merupakan alat, bukan cita-cita utama. Yang dilarang adalah jika segala pemikiran dan ilmunya semata-mata untuk mencari harta, sehingga menghalanginya dari dakwah. Harta juga tidak boleh menghalanginyia dari melaksanakan hak-hak Allah dalam harta, dan mengorbankan sebagiannya di jalan Allah. Namun tuntutan dan keperluan dakwah bukan hanya cukup di situ. Lihatlah contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan sahabat-sahabat kaya lainnya. Harta tidak menyibukkan mereka dan tidak memghalangi mereka dari tugas dakwah dan berjihad di jalan Allah. Lebih dari itu mereka telah mengorbankan sebagian hartanya dengan mudah dan ridha di jalan Allah tatkala dakwah menghendaki semacam itu.
Bahaya mabuk harta dan mengumpulkannya hingga bertimbun-timbun, mudah menyelusup masuk ke dalam diri dan meresapi jiwa, lalu menjadi tujuan dan tak lagi menjadi alat dakwah dan alat mencari keridhaan Allah hingga pemilik harta itu lalai dari menunaikan segala kewajiban, apalagi yang sunnah. Lalu ia menumpukkan segenap pemikiran dan usahanya untuk menimbun harta hingga ke peringkat mabuk dan diperbudak harta serta tidak mau berpisah dengan harta, sampai menemui ajalnya, atau baru ia meninggalkan hartanya karena ada hal di luar kesanggupan yang memaksanya. Akhirnya ia menyesal di hadapan hisab yang sangat teliti di akhirat nanti.
Jadi, orang beriman harus mengawasi dirinya dengan pengawasan yang sangat ketat, supaya ia tidak jatuh tersungkur di dalam rintangan seperti itu. Jika tidak, maka harta sedikit yang mencukupi lebih baik daripada harta banyak yang melalaikan.
[Sumber: Fiqhud Dakwah karya Syaikh Mustafa Masyhur]
0 comments:
Post a Comment