Cover buku Kitab Cinta |
Judul Asli : Al-Hubb Fil Qur’an wa Daurul Hubb fi Hayatil Insan
Judul Terjemahan : Kitab Cinta
Penulis : Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy
Penerjemah : KH. Bakrun Syafi’i
Penerbit : Noura Books – Jakarta
Cetakan : I ; Januari 2013
Tebal : xxviii + 183 Halaman ; 13 x 20,5 cm
ISBN : 978-6027-816-183
Pembahasan tentang cinta selalu menarik untuk dicermati. Cinta bisa dipandang dari berbagai macam sudut pandang. Ia juga menjadi menu perbincangan semua generasi, dari berbagai macam predikat dan pekerjaan. Mulai dari para raja, menteri, pun rakyat biasa yang sehari-hari hanya menjadi kuli. Sehingga, segala jenis produk tentang cinta, tak akan pernah lekang oleh zaman. Mulai lagu cinta, puisi cinta, kata-kata cinta ataupun buku tetang cinta, selalu menarik untuk dinikmati dan bisa menghasilkan aneka perenungan. Apalagi, sejatinya, hidupnya kita di dunia ini juga lantaran Cintanya Allah kepada kita.
Cinta akan lebih menarik dan bermanfaat jika dipandang dari sudut pandang yang suci, sudut pandang tinggi yang tak lagi tercampur denggan nafsu. Apalagi, ketika cinta yang dibahas adalah cinta yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai panduan hidup umat manusia di muka bumi ini. Cinta jenis ini, akan memberikan semangat yang bergelora bagi siapa saja sehingga dengan cinta itu, akan banyak kemanfaatan yang bisa diberikan untuk sesama.
Secara garis besar, cinta terbagi dalam tiga jenis. Pertama, cinta Allah kepada manusia. Bentuk yang paling sederhana adalah dihidupkannya manusia di dunia ini. Allah mencintai, lalu Allah menghidupkan. Tujuannya, agar yang dihidupkan itu mengejewantahkan cinta Allah dalam wujud penghambaan kepadanya. Betuk yang lain, Allah memudahkan seseorang untuk melakukan aneka jenis ibadah dalam rangka mendekatkan diri padaNya.
Bukti lain bahwa Allah mencintai manusia adalah ditundukannya apa yang ada di bumi, langit dan laut untuk mencukupi seuruh kebutuhan manusia. Termasuk di dalamnya, seluruh yang Allah ciptakan, adalah untuk menunjang kehidupan manusia di muka bumi. Sayangnya, banyak yang tak menyadari bahwa itu semua adalah wujud cinta Allah kepada hambaNya. Sehingga, semakin banyak nikmat bukannya semakin bersyukur, malah semakin kufur dan menentang Allah dengan kelebihan yang manusia miliki.
Kedua, cinta manusia kepada Allah. Diakui atau tidak, semua jenis manusia sudah mengakui kecintaannya kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam surah al-A’raaf ayat 172. Dimana ketika itu, semua ruh sama mengakui bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, cinta itu terkikis bahkan hilang dan berubah menjadi bentuk kekufuran.
Ada tiga langkah yang bisa ditempuh untuk menggapai cinta kepada Allah ini. Satu, memperbanyak dzikir, mengingat semua nikmat yang telah Alllah berikan dan melakukan aneka bentuk ketaatan kepada Allah. Baik dengan amal wajib, juga dengan amal sunnah. Dua, menghindari segala jenis maksiat. Baik itu yang besar ataupun yang kecil. Maksiat dan dosa ini ibarat tirai yang akan semakin menjauhkan manusia dengan Allah. Tiga, berkumpul dengan orang sholih. Cara ketiga ini dilakukan karena orang sholih adalah mereka yang selalu mengingatkan akan Allah dan bisa membuat kita semakin dekat dengan Allah. Begitupun sebaliknya. Dalam tahap ini, kita harus selektif untuk mencari teman duduk. Meskipun, bergaul dengan semua orang juga menjadi tuntutan, agar kita bisa menyebarkan kebaikan kepada seluruh khalayak.
Ketiga, cinta manusia kepada manusia. Jenis cinta ketiga ini merupakan bagian dari fitrah penciptaan manusia. Bahwa ia dibekali dengan nalar untuk mencintai wanita, harta juga jabatan dan hal lain terkait dunia ini. Yang menjadi garis batas, bahwa cinta dunia diperbolehkan asal tidak mengalahkan cinta seseorang kepada Allah, Rasulullah dan Syari’atNya. Jika kecintaan terhadap duniawi mendominasi dan melalaikan cinta kepada Allah, maka kelak Allah akan mengirimkan generasi yang lebih baik, generasi yang mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka.
Yang penting untuk dicatat, bahwa cinta kepada Allah merupakan tujuan, bukan sarana. Karena, kecintaan kepada Allah adalah derajat tertinggi dalam proses penghambaan kepadaNya. Jika sudah mencintai Allah, maka melakukan perintah dan menjauhi laranganNya menjadi mudah untuk dilakukan, tanpa beban dan dilakukan dengan senang hati. Bukan sebagai kewajiban, tapi lebih pada kebutuhan.
Buku yang merupakan karya terbaru dari almarhum Prof. Dr. Muhammad Said ramadhan al-Buthy ini, semakin meyakinkan kepada kita. Bahwa cinta, adalah energi yang akan terus membuat para pecinta berlari dengan penuh gairah untuk memberikan yang terbaik bagi siapa yang dicintainya. Untuk Allah, Rasulullah, orang-orang mukmin dan dunia yang dijadikan sarana untuk semakin mencintaiNya. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Judul Terjemahan : Kitab Cinta
Penulis : Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy
Penerjemah : KH. Bakrun Syafi’i
Penerbit : Noura Books – Jakarta
Cetakan : I ; Januari 2013
Tebal : xxviii + 183 Halaman ; 13 x 20,5 cm
ISBN : 978-6027-816-183
Pembahasan tentang cinta selalu menarik untuk dicermati. Cinta bisa dipandang dari berbagai macam sudut pandang. Ia juga menjadi menu perbincangan semua generasi, dari berbagai macam predikat dan pekerjaan. Mulai dari para raja, menteri, pun rakyat biasa yang sehari-hari hanya menjadi kuli. Sehingga, segala jenis produk tentang cinta, tak akan pernah lekang oleh zaman. Mulai lagu cinta, puisi cinta, kata-kata cinta ataupun buku tetang cinta, selalu menarik untuk dinikmati dan bisa menghasilkan aneka perenungan. Apalagi, sejatinya, hidupnya kita di dunia ini juga lantaran Cintanya Allah kepada kita.
Cinta akan lebih menarik dan bermanfaat jika dipandang dari sudut pandang yang suci, sudut pandang tinggi yang tak lagi tercampur denggan nafsu. Apalagi, ketika cinta yang dibahas adalah cinta yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai panduan hidup umat manusia di muka bumi ini. Cinta jenis ini, akan memberikan semangat yang bergelora bagi siapa saja sehingga dengan cinta itu, akan banyak kemanfaatan yang bisa diberikan untuk sesama.
Secara garis besar, cinta terbagi dalam tiga jenis. Pertama, cinta Allah kepada manusia. Bentuk yang paling sederhana adalah dihidupkannya manusia di dunia ini. Allah mencintai, lalu Allah menghidupkan. Tujuannya, agar yang dihidupkan itu mengejewantahkan cinta Allah dalam wujud penghambaan kepadanya. Betuk yang lain, Allah memudahkan seseorang untuk melakukan aneka jenis ibadah dalam rangka mendekatkan diri padaNya.
Bukti lain bahwa Allah mencintai manusia adalah ditundukannya apa yang ada di bumi, langit dan laut untuk mencukupi seuruh kebutuhan manusia. Termasuk di dalamnya, seluruh yang Allah ciptakan, adalah untuk menunjang kehidupan manusia di muka bumi. Sayangnya, banyak yang tak menyadari bahwa itu semua adalah wujud cinta Allah kepada hambaNya. Sehingga, semakin banyak nikmat bukannya semakin bersyukur, malah semakin kufur dan menentang Allah dengan kelebihan yang manusia miliki.
Kedua, cinta manusia kepada Allah. Diakui atau tidak, semua jenis manusia sudah mengakui kecintaannya kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam surah al-A’raaf ayat 172. Dimana ketika itu, semua ruh sama mengakui bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, cinta itu terkikis bahkan hilang dan berubah menjadi bentuk kekufuran.
Ada tiga langkah yang bisa ditempuh untuk menggapai cinta kepada Allah ini. Satu, memperbanyak dzikir, mengingat semua nikmat yang telah Alllah berikan dan melakukan aneka bentuk ketaatan kepada Allah. Baik dengan amal wajib, juga dengan amal sunnah. Dua, menghindari segala jenis maksiat. Baik itu yang besar ataupun yang kecil. Maksiat dan dosa ini ibarat tirai yang akan semakin menjauhkan manusia dengan Allah. Tiga, berkumpul dengan orang sholih. Cara ketiga ini dilakukan karena orang sholih adalah mereka yang selalu mengingatkan akan Allah dan bisa membuat kita semakin dekat dengan Allah. Begitupun sebaliknya. Dalam tahap ini, kita harus selektif untuk mencari teman duduk. Meskipun, bergaul dengan semua orang juga menjadi tuntutan, agar kita bisa menyebarkan kebaikan kepada seluruh khalayak.
Ketiga, cinta manusia kepada manusia. Jenis cinta ketiga ini merupakan bagian dari fitrah penciptaan manusia. Bahwa ia dibekali dengan nalar untuk mencintai wanita, harta juga jabatan dan hal lain terkait dunia ini. Yang menjadi garis batas, bahwa cinta dunia diperbolehkan asal tidak mengalahkan cinta seseorang kepada Allah, Rasulullah dan Syari’atNya. Jika kecintaan terhadap duniawi mendominasi dan melalaikan cinta kepada Allah, maka kelak Allah akan mengirimkan generasi yang lebih baik, generasi yang mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka.
Yang penting untuk dicatat, bahwa cinta kepada Allah merupakan tujuan, bukan sarana. Karena, kecintaan kepada Allah adalah derajat tertinggi dalam proses penghambaan kepadaNya. Jika sudah mencintai Allah, maka melakukan perintah dan menjauhi laranganNya menjadi mudah untuk dilakukan, tanpa beban dan dilakukan dengan senang hati. Bukan sebagai kewajiban, tapi lebih pada kebutuhan.
Buku yang merupakan karya terbaru dari almarhum Prof. Dr. Muhammad Said ramadhan al-Buthy ini, semakin meyakinkan kepada kita. Bahwa cinta, adalah energi yang akan terus membuat para pecinta berlari dengan penuh gairah untuk memberikan yang terbaik bagi siapa yang dicintainya. Untuk Allah, Rasulullah, orang-orang mukmin dan dunia yang dijadikan sarana untuk semakin mencintaiNya. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment