Islam adalah agama sempurna yang memadukan antara ilmu dengan amal. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Ilmu tanpa amal, dalam Islam, akan menjadi sesuatu yang kosong tanpa makna. Atau, sebuah tumbuhan yang subur, namun tak berbuah. Sedangkan amal tanpa ilmu, tak ubahnya orang yang berjalan tanpa arah. Memang, langkahnya panjang, bisa jadi pula jarak yang ditempuh semakin jauh, tapi ketika ditanya : Mau kemana? Mengapa ke sana? Dan seterusnya, ia tak bisa menjawab lantaran tak memiliki ilmu.
Islam juga agama yang menyeluruh. Sebuah ajaran paripurna yang tak mungkin ada cacat di dalamnya. Karena Islam berasal dari Allah yang Maha Mengetahui aturan apa yang cocok bagi seluruh makhlukNya. Dalam tahap ini, pengamalan Islam, tak boleh dilakukan serampangan. Karena semua ajaran Islam, sudah selesai dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi-generasi terbaik setelahnya.
Islam, juga merupakan agama yang mengedepankan akhlak dalam setiap pelaksanaan ajarannya. Baik terhadap Allah, RasulNya, maupun kepada sesama. Karena memang, tugas utama Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah merupakan utusan yang mengarahkan manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.
Diantara pentingnya aspek akhlak dalam setiap pengamalan ibadah ini, salah satunya terdapat dalam praktek poligami. Satu ibadah ini, seringkali disalahmaknai. Sehingga, banyak kita dapati mall praktek poligami dalam keseharian. Hal ini pula yang menyebabkan Islam dipandang tidak adil dalam menempatkan wanita. Juga, menjadi cela bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam, dengan amunisi banyaknya oknum yang asal poligami tanpa memiliki ilmu yang cukup, dan akhlak yang buruk dalam menjalankannya.
Sudah kita fahami bersama, bahwa poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, bukan karena nafsu, tapi murni karena melakukan perintah Allah. Sehingga beliau selalu dalam bimbingan wahyu dalam melakukan hal tersebut. Yang paling jelas, beliau adalah teladan yang terbaik terkait semua ibadah, juga dalam soal poligami ini. Diantaranya, beliau banyak menikahi janda, beliau berlaku adil, dan seterusnya.
Terkait akhlak dalam poligami ini, mari sejenak kita tengok contoh kekinian dari dua orang cendekiawan muslim di negeri ini.
Memang, dalam hal ini, seorang suami tidak diharuskan meminta ijin kepada istri, anak dan keluarganya ketika hendak berpoligami. Namun, jika hal ini dilakukan, maka dampaknya akan lebih baik, dan bisa dijadikan teladan bagi umat.
Sebut saja yang dilakukan oleh KH Muhammad Arifin Ilham. Pemimpin Majlis adz-Dzikra ini, menikah untuk kedua kalinya dengan wanita muslimah yang beliau temui dalam mimpi. Kemudian, beliau melakukan diskusi yang intens kepada keluarganya. Di dalamnya, beliau meminta pendapat orang tua, mertua dan juga istrinya. Ini mudah difahami, karena merekalah yang kelak mendapat dampak langsung dari apa yang dilakukan oleh ustadz muda ini. Dalam melakukan diskusi itu, ustadz kelahiran Banjarmasin ini menghabiskan waktu tak kurang dari empat tahun untuk kemudian mendapat ‘ijin’ dari seluruh pihak keluarganya.
Hendaknya, hal ini kita garis bawahi. Bahwa akhlak yang baik terkait suatu ibadah, akan menghasilkan dampak yang lebih baik, bukan hanya bagi pelakunya, tapi bagi orang sekitar dan umat Islam secara keseluruhan. Apalagi jika hal ini dilakukan oleh seorang panutan umat.
Contoh kedua, kita dapati poligami dari seorang ustadz muda pemimpin salah satu partai Islam di negeri ini, Anis Matta. Pria kelahiran Bone ini memutuskan untuk menikah kedua kalinya dengan mualaf asal Hongaria. Sebelas-dua belas dengan KH Muhammad Arifin Ilham, Anis melakukan hal serupa. Sebelum memutuskan untuk berpoligami, terlebih dahulu dia melakukan musyawarah dengan istri, orang tua, mertua dan anak-anaknya. Selepas pihak ini menyetujui, Anis juga meminta pendapat dari teman-teman di partai yang dia pimpin itu. Hingga akhirnya menemui kata sepakat, ketika mereka semua memberikan lampu hijau, penulis buku Momentum Kebangkitan ini menghabiskan waktu empat tahun untuk berdiskusi dan meyakinkan keluarganya akan jalan yang hendak ditempuhnya itu.
Harap digaris bawahi, bahwa seorang lelaki, sebagaimana kami sampaikan di depan, tak harus meminta ijin kepada istri dan keluarganya ketika hendak berpoligami. Namun, aspek akhlak baik seperti meminta ijin ini, hendaknya dipandang sebagai sebuah upaya kebaikan, agar sunnah tak dipandang sebagai masalah.
Karena, banyak kita temui fakta yang membuat kita miris. Misalnya saja, mereka yang poligami di bawah tangan, atau, sebagaimana penulis dapati, ada oknum yang mendatangi calon istri keduanya dengan mengaku sebagai bujangan. Padahal, dia sudah beranak dan beristri.
Semoga, siapapun yang berniat menjalankan sunnah ini, tidak terkotori dengan dominasi nafsu sehingga kemudian membungkusnya dengan dalih sunnah. Apalagi, berdasarkan survei yang dilakukan oleh penulis ternama di negeri ini dalam salah satu bukunya, bahwa sebagian besar lelaki yang menempuh jalan poligami, pasti ada motif ‘nafsu’ di dalamnya.
Tentu, tak baik jika kita menggenalisir. Apalagi, jika mengembalikan kepada hukum asalnya. Bahwa poligami merupakan perintah Islam yang tak mungkin diganti dengan hukum lain. Apalagi, dengan keyakinan penuh, bahwa semua hukum Allah, jika dilakukan dengan baik, maka hanya akan menghasilkan kebaikan pula.
Jika kemudian hukum Allah dilakukan, namun dampaknya mengkhawatirkan bahkan merusak, maka bukan salah hukumnya, melainkan kesalahan para pelakunya yang mengabaikan berbagai aspek dalam hukum-hukum tersebut, sebagian atau seluruhnya.
Kita percaya, bahwa hanya orang-orang kuatlah yang mampu berpoligami dengan baik. Sehingga, sangat layak diingat, agar tidak hanya menyukai membahas sunnah poligami dan bersemangat melakukannya jika sunnah-sunnah yang lain belum dilakukan dengan baik. Jika shalat berjama’ah saja masih bolong-bolong, jika shalat tahajjud saja masih sebulan sekali, jika baca al-Qur’an saja tak khatam-khatam, jika hafalan juz 30 saja masih belang-belang, jika silaturahim saja masih enggan, apalagi infaq dengan seluruh harta yang dimiliki, maka sejatinya, poligami masih jauh dari pribadi-pribadi itu semua.
Ah, nampaknya indah sekali, apa yang disampaikan oleh Ustadz Cahyadi Takariawan, “Bahagiakan diri dengan satu istri.” Atau, seperti yang disampaikan oleh KH Muhammad Arifin Ilham, “Dua istri yang rukun itu lebih baik jika dibandingkan satu istri yang rebut terus-terusan.” []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Islam juga agama yang menyeluruh. Sebuah ajaran paripurna yang tak mungkin ada cacat di dalamnya. Karena Islam berasal dari Allah yang Maha Mengetahui aturan apa yang cocok bagi seluruh makhlukNya. Dalam tahap ini, pengamalan Islam, tak boleh dilakukan serampangan. Karena semua ajaran Islam, sudah selesai dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi-generasi terbaik setelahnya.
Islam, juga merupakan agama yang mengedepankan akhlak dalam setiap pelaksanaan ajarannya. Baik terhadap Allah, RasulNya, maupun kepada sesama. Karena memang, tugas utama Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah merupakan utusan yang mengarahkan manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.
Diantara pentingnya aspek akhlak dalam setiap pengamalan ibadah ini, salah satunya terdapat dalam praktek poligami. Satu ibadah ini, seringkali disalahmaknai. Sehingga, banyak kita dapati mall praktek poligami dalam keseharian. Hal ini pula yang menyebabkan Islam dipandang tidak adil dalam menempatkan wanita. Juga, menjadi cela bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam, dengan amunisi banyaknya oknum yang asal poligami tanpa memiliki ilmu yang cukup, dan akhlak yang buruk dalam menjalankannya.
Sudah kita fahami bersama, bahwa poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, bukan karena nafsu, tapi murni karena melakukan perintah Allah. Sehingga beliau selalu dalam bimbingan wahyu dalam melakukan hal tersebut. Yang paling jelas, beliau adalah teladan yang terbaik terkait semua ibadah, juga dalam soal poligami ini. Diantaranya, beliau banyak menikahi janda, beliau berlaku adil, dan seterusnya.
Terkait akhlak dalam poligami ini, mari sejenak kita tengok contoh kekinian dari dua orang cendekiawan muslim di negeri ini.
Memang, dalam hal ini, seorang suami tidak diharuskan meminta ijin kepada istri, anak dan keluarganya ketika hendak berpoligami. Namun, jika hal ini dilakukan, maka dampaknya akan lebih baik, dan bisa dijadikan teladan bagi umat.
Sebut saja yang dilakukan oleh KH Muhammad Arifin Ilham. Pemimpin Majlis adz-Dzikra ini, menikah untuk kedua kalinya dengan wanita muslimah yang beliau temui dalam mimpi. Kemudian, beliau melakukan diskusi yang intens kepada keluarganya. Di dalamnya, beliau meminta pendapat orang tua, mertua dan juga istrinya. Ini mudah difahami, karena merekalah yang kelak mendapat dampak langsung dari apa yang dilakukan oleh ustadz muda ini. Dalam melakukan diskusi itu, ustadz kelahiran Banjarmasin ini menghabiskan waktu tak kurang dari empat tahun untuk kemudian mendapat ‘ijin’ dari seluruh pihak keluarganya.
Hendaknya, hal ini kita garis bawahi. Bahwa akhlak yang baik terkait suatu ibadah, akan menghasilkan dampak yang lebih baik, bukan hanya bagi pelakunya, tapi bagi orang sekitar dan umat Islam secara keseluruhan. Apalagi jika hal ini dilakukan oleh seorang panutan umat.
Contoh kedua, kita dapati poligami dari seorang ustadz muda pemimpin salah satu partai Islam di negeri ini, Anis Matta. Pria kelahiran Bone ini memutuskan untuk menikah kedua kalinya dengan mualaf asal Hongaria. Sebelas-dua belas dengan KH Muhammad Arifin Ilham, Anis melakukan hal serupa. Sebelum memutuskan untuk berpoligami, terlebih dahulu dia melakukan musyawarah dengan istri, orang tua, mertua dan anak-anaknya. Selepas pihak ini menyetujui, Anis juga meminta pendapat dari teman-teman di partai yang dia pimpin itu. Hingga akhirnya menemui kata sepakat, ketika mereka semua memberikan lampu hijau, penulis buku Momentum Kebangkitan ini menghabiskan waktu empat tahun untuk berdiskusi dan meyakinkan keluarganya akan jalan yang hendak ditempuhnya itu.
Harap digaris bawahi, bahwa seorang lelaki, sebagaimana kami sampaikan di depan, tak harus meminta ijin kepada istri dan keluarganya ketika hendak berpoligami. Namun, aspek akhlak baik seperti meminta ijin ini, hendaknya dipandang sebagai sebuah upaya kebaikan, agar sunnah tak dipandang sebagai masalah.
Karena, banyak kita temui fakta yang membuat kita miris. Misalnya saja, mereka yang poligami di bawah tangan, atau, sebagaimana penulis dapati, ada oknum yang mendatangi calon istri keduanya dengan mengaku sebagai bujangan. Padahal, dia sudah beranak dan beristri.
Semoga, siapapun yang berniat menjalankan sunnah ini, tidak terkotori dengan dominasi nafsu sehingga kemudian membungkusnya dengan dalih sunnah. Apalagi, berdasarkan survei yang dilakukan oleh penulis ternama di negeri ini dalam salah satu bukunya, bahwa sebagian besar lelaki yang menempuh jalan poligami, pasti ada motif ‘nafsu’ di dalamnya.
Tentu, tak baik jika kita menggenalisir. Apalagi, jika mengembalikan kepada hukum asalnya. Bahwa poligami merupakan perintah Islam yang tak mungkin diganti dengan hukum lain. Apalagi, dengan keyakinan penuh, bahwa semua hukum Allah, jika dilakukan dengan baik, maka hanya akan menghasilkan kebaikan pula.
Jika kemudian hukum Allah dilakukan, namun dampaknya mengkhawatirkan bahkan merusak, maka bukan salah hukumnya, melainkan kesalahan para pelakunya yang mengabaikan berbagai aspek dalam hukum-hukum tersebut, sebagian atau seluruhnya.
Kita percaya, bahwa hanya orang-orang kuatlah yang mampu berpoligami dengan baik. Sehingga, sangat layak diingat, agar tidak hanya menyukai membahas sunnah poligami dan bersemangat melakukannya jika sunnah-sunnah yang lain belum dilakukan dengan baik. Jika shalat berjama’ah saja masih bolong-bolong, jika shalat tahajjud saja masih sebulan sekali, jika baca al-Qur’an saja tak khatam-khatam, jika hafalan juz 30 saja masih belang-belang, jika silaturahim saja masih enggan, apalagi infaq dengan seluruh harta yang dimiliki, maka sejatinya, poligami masih jauh dari pribadi-pribadi itu semua.
Ah, nampaknya indah sekali, apa yang disampaikan oleh Ustadz Cahyadi Takariawan, “Bahagiakan diri dengan satu istri.” Atau, seperti yang disampaikan oleh KH Muhammad Arifin Ilham, “Dua istri yang rukun itu lebih baik jika dibandingkan satu istri yang rebut terus-terusan.” []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment