Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tolak Jadi PNS, Pria Ini Pilih Jadi Relawan

Written By mimin on Sunday, February 9, 2014 | 7:42 PM

Nurdin (ACT)
Menjadi seorang relawan adalah pilihan hidup Nurdin (30 tahun). Bahkan, pria yang akrab disapa Buche ini menolak tawaran menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pilihannya itu tentu bukanlah pilihan orang-orang pada umumnya. Spiritnya membantu sesama memotivasi Buche bergabung menjadi relawan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Spirit ini berawal saat musibah gempa besar berskala 7,3 SR yang berpusat di Tasikmalaya dan menimpa Pangalengan, Kabupaten Bandung, 2 September 2009. Ia terpanggil untuk menolong korban gempa Pangalengan yang tidak jauh dari kampung halamannya di Kampung Babakan Maruyung, Desa Cipinang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung.

Berbekal keterampilan water rescue (pertolongan pertama di air), menjadikan Buche diamanahi sebagi salah seorang personel Team Rescue ACT yang tergabung dalam Divisi Disaster Emergency and Relief Management (DERM). Memiliki pengalaman dan jam terbang yang tinggi di dunia water rescue menjadikan Buche dipercaya untuk memperkuat barisan tim lainnya.

Buche sebelumnya aktif di komunitas Arung Jeram Dens Bond Rafting. Perkumpulan pecinta wisata arung jeram yang berpusat di Sungai Cisangkuy Bandung Selatan ini, selain menawarkan paket wisata arung jeram, juga sebagai base camp training water rescue dengan memberdayakan para pemuda di daeranya untuk menjadi calon relawan water rescue.

“Saya lebih memilih jadi relawan ACT, karena lebih banyak pengalaman menolong korban bencana di beberapa daerah, dan banyak peluang besar untuk menolong orang-orang yang sangat membutuhkan di manapun,” ungkap Buche yang sebelumnya aktif di lembaga kemanusian lokal.

Jika ada panggilan emergency response (tanggap darurat), Buche rela mengorbankan pekerjaan sehari-harinya. Buche memilih menjadi relawan karena pengalaman berharga yang diperolehnya.

“Yang paling berkesan, pada saat bencana gunung Merapi. Waktu itu mau evakuasi korban yang terancam bahaya awan panas, jam 11 malam, saya tiba-tiba ingat mati. Pokoknya, saat itu saya merasakan antara hidup dan mati,” kenang Buche terharu, saat menolong korban di radius 11 km, padahal titik aman di 25 km.

Menjadi relawan, Buche yakin, rezeki akan datang dengan sendirinya melalui kekuasaan Allah jika mau bekerja sungguh-sungguh dengan ikhlas dan semata-mata untuk menolong orang lain. Bahkan, dengan banyak menolong para korban, dirinya merasa lebih dekat dengan Allah Swt.

“Saya senang menjadi relawan. Orang tua saya juga mendukung. Berangkat dari rumah, saya niatkan untuk jihad saja. Jangan sekali-kali mengharapkan imbalan kalau mau jadi relawan,” pesan Buche.

Tak jauh berbeda dengan Buche, Affan (27) rela menghabiskan masa mudanya untuk menolong korban bencana. Affan mengaku, menjadi relawan adalah panggilan jiwanya. Affan yang merupakan Kepala Sekretariat Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Pusat ini sudah melakoni ratusan kisah dalam dunia kemanusiaan. Baginya, menjadi seorang relawan adalah pilihan hidup.

Ia mengisahkan bahwa sedari kecil orang tuanya telah menanamkan nilai-nilai sosial dalam dirinya. Sejak kecil, ia sudah diasah untuk peduli, membantu sesama, makanya dia tidak sungkan untuk terjun ke dalam dunia kemanusiaan.

“Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sudah terlibat dalam gerakan sosial, terjun di lapangan, di posko bencana, posko mudik, posko banjir dan lain-lain,” kenang Affan.

Dalam benak dia, relawan bukanlah sebuah profesi apalagi mata pencaharian. Kiprah panjangnya dalam dunia kemanusiaan semata-mata karena kepeduliannya agar bisa bermanfaat bagi orang banyak. “Relawan adalah nilai yang dihasilkan dari sebuah proses kepedulian di antara masyarakat,” jelasnya.

Nilai kerelawanan yang dipegang teguh oleh Affan telah mengasah kepekaannya dalam membaca setiap situasi di lapangan. Baginya, kepedulian terhadap korban bencana tak hanya sekedar memenuhi kebutuhan logistik dan sandang semata.

“Pemenuhan kebutuhan psikologis korban bencana jauh lebih penting, dengan kehadiran kita sebagai relawan setidaknya dapat membuat para korban lebih tenang dan melupakan sejenak bencana yang terjadi,” ungkapnya.

Ketika terlibat dalam situasi darurat bencana, Affan pun tak pernah menganggap enteng segala permasalahan yang muncul di lapangan. Ia percaya bahwa tiap masalah dalam masyarakat tak bisa diselesaikan hanya dengan teori semata. “Menjadi relawan harus mampu bersikap bijak untuk menengahi setiap persoalan yang ada,” tuturnya.

Sederet pengalamannya dalam dunia kemanusiaan tentu membawa cerita tersendiri. Banyak kisah unik dan haru yang dialaminya selama bergumul dengan bencana.

“Pernah suatu ketika di tahun 2004 silam, saya melakukan evakuasi seorang balita dari terjangan banjir bandang di Kampung Melayu, dengan hanya menggunakan bak mandi kecil saya menerjang arus deras di dalam gang-gang kecil, Alhamdulillah balita tersebut berhasil saya selamatkan,” kisahnya.

Saat ini, Affan lebih banyak menyibukkan dirinya dalam urusan kesekretariatan pusat posko nasional MRI. Tugas utamanya mengatur traffic jalur relawan yang berada di tiap daerah di seluruh Indonesia, mendata relawan yang aktif, dan mengelompokkan relawan berdasarkan keahliannya masing-masing.

“Alhamdulillah, saat ini diberikan amanah untuk mengurus relawan dalam skala nasional, semoga bisa membawa manfaat lebih luas lagi,” pungkasnya. [ACT/bersamadakwah]

0 comments:

Post a Comment