Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sampang mengeluarkan fatwa terkait ajaran Syiah Tajul Muluk. Fatwa yang ditandatangani KH Imam Bukhori Maksum, sebagai Ketua MUI Kabupaten Sampang itu menegaskan, ajaran Syi’ah yang disebarkan Tajul Muluk di masyarakat Madura telah menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Sekretaris MUI Jawa Timur Mohammad Yunus mengkonfirmasi fatwa yang diterbitkan Senin (2/1) itu. Diantara sejumlah penyimpangan ajaran Syiah yang dibawa Tajul Muluk, Yunus mengutip fatwa itu, ada tiga pokok penyimpangan yang disebarkan Tajul Muluk.
Pertama, ajaran tajul Muluk menambahi syahadat menjadi tiga.
“Kalau syahadat kita kenal dengan syahadatani artinya dua kalimat syahadat, tapi mereka menambahnya satu lagi yaitu Wa Anna Aliyan Waliyullah," ujar Yunus.
Kedua, ajaran Tajul Muluk tidak mewajibkan shalat Jumat sebab imam mereka belum turun dari langit.
Ketiga, aliran Tajul Muluk meyakini bahwa Al-Qur’an yang berada di tengah-tengah masyarakat sudah tidak orisinil dan ada perubahan-perubahan.
“Istilahnya ada perubahan dan ada pergantian ayat,” imbuh Yunus.
Nama Tajul Muluk mencuat ke media setelah kasus pembakaran pesantren Syiah di Sampang. Penyebar ajaran Syiah itu, menurut KH. Ali Karrar Sinhaji dan ulama lainnya, mulai meresahkan warga setempat sejak 2006. Pada 20 Februari 2006, Tajul Muluk diundang para ulama Madura untuk mengklarifikasi tuduhan. Pertemuan yang juga dihadiri Fadlilah Budiono (Bupati sampang saat itu) dan Imron Rosyidi (Kepala Depag saat itu), berakhir dengan permintaan waktu Tajul Muluk untuk berfikir dan menjawab pada pertemuan berikutnya.
Pada 26 Februari 2006 disepakai pertemuan lanjutan, namun Tajul Muluk tidak mau hadir. Para ulama membuat pernyataan penyerahan kasus Tajul Muluk kepada aparat yang berwenang.
Selama proses selama bertahun-tahun, aktifitas Syiah semakin meresahkan warga, hingga Kapolres Sampang membawa kasus ini beserta para ulama ke Mabes Polri. Pertemuan 11 April 2011 itu menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya adalah Tajul Muluk harus angkat kaki dari Madura dan tidak menyebarkan fahamnya di masyarakat Madura. [IK/hdy]
Sekretaris MUI Jawa Timur Mohammad Yunus mengkonfirmasi fatwa yang diterbitkan Senin (2/1) itu. Diantara sejumlah penyimpangan ajaran Syiah yang dibawa Tajul Muluk, Yunus mengutip fatwa itu, ada tiga pokok penyimpangan yang disebarkan Tajul Muluk.
Pertama, ajaran tajul Muluk menambahi syahadat menjadi tiga.
“Kalau syahadat kita kenal dengan syahadatani artinya dua kalimat syahadat, tapi mereka menambahnya satu lagi yaitu Wa Anna Aliyan Waliyullah," ujar Yunus.
Kedua, ajaran Tajul Muluk tidak mewajibkan shalat Jumat sebab imam mereka belum turun dari langit.
Ketiga, aliran Tajul Muluk meyakini bahwa Al-Qur’an yang berada di tengah-tengah masyarakat sudah tidak orisinil dan ada perubahan-perubahan.
“Istilahnya ada perubahan dan ada pergantian ayat,” imbuh Yunus.
Nama Tajul Muluk mencuat ke media setelah kasus pembakaran pesantren Syiah di Sampang. Penyebar ajaran Syiah itu, menurut KH. Ali Karrar Sinhaji dan ulama lainnya, mulai meresahkan warga setempat sejak 2006. Pada 20 Februari 2006, Tajul Muluk diundang para ulama Madura untuk mengklarifikasi tuduhan. Pertemuan yang juga dihadiri Fadlilah Budiono (Bupati sampang saat itu) dan Imron Rosyidi (Kepala Depag saat itu), berakhir dengan permintaan waktu Tajul Muluk untuk berfikir dan menjawab pada pertemuan berikutnya.
Pada 26 Februari 2006 disepakai pertemuan lanjutan, namun Tajul Muluk tidak mau hadir. Para ulama membuat pernyataan penyerahan kasus Tajul Muluk kepada aparat yang berwenang.
Selama proses selama bertahun-tahun, aktifitas Syiah semakin meresahkan warga, hingga Kapolres Sampang membawa kasus ini beserta para ulama ke Mabes Polri. Pertemuan 11 April 2011 itu menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya adalah Tajul Muluk harus angkat kaki dari Madura dan tidak menyebarkan fahamnya di masyarakat Madura. [IK/hdy]
0 comments:
Post a Comment