Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Curahan Hati Oki Setiana Dewi

Written By mimin on Tuesday, January 14, 2014 | 5:30 PM

Oki Setiana Dewi dan Suami (foto okisetianadewi.co.id)
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Baiklah, saya ingin sedikit bercerita kepada Sahabat sekalian. Saya sangat berbahagia berada di majlis ini. Saya sangat bangga berada di tengah-tengah kalian. Para bidadari-bidadari surga dan calon peminang bidadari surga yang menjadikan al-Qur’an sebagai sahabat sejati.”

“Beberapa pekan yang lalu, saya berkunjung ke Rumah al-Qur’an Universitas Indonesia yang berada di kawasan Beji – Depok. Ketika memasuki gerbangnya, hati saya bergetar hebat. Rumah itu memang kecil. Bahkan, saya baru tahu bahwa di rumah itu, setiap kamarnya dihuni oleh enam orang. Tapi, kecil fisiknya bukan berarti kecil pula maknanya.”

“Yang membuat saya bergetar takjub adalah para bidadari- bidadari dunia yang sibuk dengan mushafnya. Ada yang sekedar membukanya, khusyu’ bertilawah, sibuk hafalan, atau yang sibuk mengulang hafalan di setiap sudut rumah itu. Sungguh! Pemandangan yang menenangkan hati di tengah hedonisnya kehidupan di luar sana. Di rumah itu, al-Qur’an tidak pernah berhenti didzikirkan. Ketika satu akhwat berhenti, maka akhwat lainnya melanjutkan. Sungguh!!! Hati saya bergetar melihat pemandangan itu.”

“Sahabatku sekalian, menghafal al-Qur’an adalah cita-citaku. Semuanya bermula ketika saya shooting film Ketika Cinta Bertasbih di Mesir. Saya sangat bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya pada saya.”

“Pada suatu hari, dalam sesi santai, kami jalan-jalan untuk melepas lelah. Ada sekumpulan anak yang menghampiriku. Akupun menyambutnya dengan bahagia, mereka menganggap kami seperti warga mereka sendiri. Kemudian, terjadilah sebuah dialog yang menghenyakkan pikiran dan hati. Sebuah dialog yang tidak pernah saya bayangkan sama sekali sebelumnya.Ya, karena yang bertanya adalah anak-anak yang usianya sekitar belasan tahun.”

“Anak itu bertanya kepadaku, ‘Kau seorang Muslimah?’ Jawabku, ‘Iya, saya Muslimah.” Sampai di sini, ia berhenti. Ada tangis yang ditahannya. Entah, Aku tidak tahu. Setelah itu, anak ini memberikan sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Pertanyaan yang menyadarkan kelalain saya selama ini. Pertanyaan yang membuat saya tak bisa memejamkan mata dalam bebarapa saat di malam harinya.”

“Tanyanya, ‘Sudah berapa juz Hafalan al-Qur’anmu?’ Allahu Akbar walillahil hamd! Anak sekecil itu bertanya tentang hafalan. Saya diam terpaku. Lidah ini kaku untuk sekedar mengatakan berapa jumlah hafalan saya. Saya malu, belum banyak hafalan. Saya malu pada diri sendiri, malu pada anak kecil itu dan sangat malu kepada Allah yang telah menciptakan diri ini. Rasa malu itu semakin bertambah ketika sahabat-sahabatnya menyahut, mereka menjawab padahal yang ditanya adalah Saya. Kata salah satu dari mereka, ‘Aku sudah delapan juz,’ Sahut yang lain, ‘Aku sudah sepuluh juz,’ dan seterusnya.”

Setelah bebarapa saat, ia kembali berkata, “Sejak saat itu, saya berkomitmen untuk kembali menghafal al-Qur’an secara rutin, sesuai kemampuan saya.”

“Dalam kesempatan yang lain, saya diberi nikmat dari Allah untuk melaksanakan umroh. Di pinggiran masjid Nabawi, ada halaqoh al-Qur’an yang dipimpin oleh seorang ustadzah. Mereka berada dalam sebuah lingkaran cahaya. Semua peserta adalah anak kecil, sekitar usia Sekolah Dasar. Dalam halaqoh tersebut, saya bergabung. Ada sebuah hal yang ganjil. Saya, adalah peserta paling besar sekaligus paling aneh. Sayalah satu-satunya peserta yang memegang mushaf al-Qur’an. Sementara anak-anak kecil itu, tidak memegang mushaf. Kajianpun dimulai. Sang ustadzah menyebut secarik ayat secara acak, kemudian anak-anak kecil itu dimintanya untuk melanjutkan bacaan ayat tersebut. Subhanallah sahab tku... mereka melanjutkan dengan lancar apa yang dibaca oleh sang ustadzah. Dan kalian tahu apa yang kulakukan?”

Sambil menahan tangis agar tidak tumpah, ia melanjutkan, “Saya sibuk membolak-balikkan mushaf mencari ayat yang sedang dibaca oleh anak-anak kecil itu. Dan sampai akhir, saya hanya sibuk membolak-balik mushaf dan tidak menemukan ayat yang kucari itu. Saya malu pada diri, malu pada anak kecil itu dan sangat malu pada Allah yang telah menciptakanku.”

“Maka, sepulang dari Madinah, kesadaran saya mulai tumbuh. Di tengah pujian berbagai pihak atas prestasiku di bidang lain, ternyata saya masih kalah dengan para penghafal al-Qur’an itu. Merekalah yang layak dipuji, merekalah yang layak di elu–elukan. Merekalah yang layak disanjung dan diagungkan. Karena mereka adalah pembawa panji Islam, mereka keluarga Allah dan orang-orang pilihanNya.” Pungkasnya sambil tetap menahak isak.

*Sebagaimana disampaikan oleh Oki Setiana Dewi dalam sebuah acara Mabit di Masjid at-Taqwa Pasar Ahad – Jakarta Selatan, dengan perubahan seperlunya. Insya Allah tidak mengurangi makna. [Pirman]

0 comments:

Post a Comment