Banjir dan bencana yang hampir tiap tahun menyapa, seperti menjadi sesuatu yang umum dan tak perlu membuat kita khawatir berlebih. Pasalnya, sikap kita tak banyak berubah. Sehingga, bencana itu rutin menyapa, bahkan kian parah seiring bertambahnya waktu. Meski banjir dan bencana terus menyapa, kita tak pernah berhenti dalam melakukan penebangan liar, pembangunan rumah atau vila di daerah resapan air, pembangunan pusat perbelanjaan yang semakin menjamur, minimnya ruang terbuka hijau, hingga perumahan kumuh di berbagai daerah yang dekat lokasinya dengan laut maupun sungai.
Belum lagi dengan kebiasaan buruk masyarakat kita yang suka membuang sampah di sembarang tempat. Dan ‘dosa-dosa’ lain yang kita lakukan sehingga bencana seakan akrab menyapa. Ditambah lagi dengan sarana dan prasarana yang belum bisa disediakan dengan baik oleh pemerintah. Sehingga, banjir, dan aneka bencana lainnya, seakan menjadi konsekuensi logis akan ‘maksiat’ berjama’ah yang kita lakukan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, banjir tahun ini menyapu sebagian besar wilayah di negeri ini. Mulai dari Manado, Sumatera, Kalimantan, dan sebagian besar wilayah Jawa. Dari Pekalongan Jawa tengah, Subang Jawa Barat sehingga menyebabkan jalur pantura berhenti, hingga Ibu Kota Jakarta yang dikepung bah dari berbagai penjuru. Mulai dari Kampung Pulo, Jatinegara, Tebet, Tanah Abang, dan daerah lain. Hingga saat ini, jumlah pengungsi akibat banjir ibu kota lebih dari 10 ribu orang.
Media pun ramai memberitakan. Mulai dari yang positif hingga negatif. Mulai dari yang mendukung pemimpinnya, hingga yang menyalahkan tanpa dalil. Belum lagi oknum-oknum yang ikut nyinyir mengomentari relawan hanya karena mereka memakai identitas dalam membantu korban bencana. Nampak logis, ketika yang dikritik adalah aktivis politik, namun hal ini menjadi ironi karena pihak Pemerintah dan Sars juga korban yang berada di lokasi bencana, identitas relawan menjadi sangat penting untuk diketahui agar bisa dimintai pertanggungjawaban ketika suatu ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Di sini, kita perlu bersikap bijak. Bagaimanapun, tidak ada pihak yang menghendaki bencana ini. Kita, secara akumulatif, perlu menyadari tetang diri kita sendiri. Siapa tahu, dosa kita menjadi salah satu sebab bencana yang kini melanda di seluruh negeri. Jika hal ini yang kita lakukan, maka, tak perlulah menyalahkan siapapun. Tak perlulah kita menghakimi pihak manapun. Karena mengutuk kegelapan, selamanya tak mungkin menghasilkan terang.
Yang semestinya kita lakukan adalah evaluasi diri. Agar bencana ini, tak berulang di kemudian hari. Agar tahun esok, kita mendapati kehidupan yang lebih baik dan tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.
Terkait intensitas hujan yang melanda, hal itu tak layak kita jadikan kambing hitam. Karena intensitas hujan, adalah hak prerogatif Sang Maha Kuasa, maka kita tak mungkin bisa menguranginya. Sehingga, yang paling mungkin kita lakukan adalah mengurangi intensitas ‘dosa’ dan ‘maksiat’ yang kita kerjakan. Baik terkait diri sendiri, sahabat, maupun alam yang menjadi tempat kita bermukim saat ini. Jika hal ini kita lakukan, insya Allah alam akan bersahabat. Bukankah Allah sudah mengatakan, bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut adalah buah dari perbuatan manusia?
Yang menarik, dari bencana yang melanda ini, adalah sikap dari anak-anak kecil di ibu kota. Mereka tak menganggap banjir sebagai masalah. Mereka justru menikmati, karena bisa ‘berwisata.’ Berenang gratis, main air sesuka hati juga berlari-lari di genangan air. Meskipun, jika dilihat dari kaca mata penyelenggara negara, hal ini adalah buah dari kegagalan pemerintah dalam menyediakan ruang bermain dan rekreasi yang murah bagi warganya.
Mungkin, dalam berbagai kasus, untuk mengurangi stres yang melanda, kita bisa sesekali bersikap layaknya anak-anak kecil ini. Agar banjir, menjadi sebuah peluang untuk meraup bahagia. Bisa dengan menjadi relawan, kesempatan untuk berbagi kebaikan, dan amal-amal lain yang mungkin kita lakukan. Sehingga, banjir tak akan menjadi penghalang agar kita selalu bahagia.
Terakhir, diantara banyaknya kerusakan yang terjadi, nampaknya kita perlu bersyukur. Lantaran hujan deras yang menjadi salah satu sebab banjir, diturunkan oleh Allah dalam bentuk air tawar. Bukankah, Allah sudah pernah mengingatkan, “Dan jika Kami berkehendak, niscaya kami jadikan air hujan ini terasa asin. Lantas, mengapa kalian tidak bersyukur?”
Maka, beruntunglah lantaran hujan ini tawar airnya. Andai, Allah menjadikan hujan ini asin, bencana apalagi yang akan didapatkan oleh diri kita? Dimana semua bangunan yang terdiri dari besi akan berkarat lantaran banjir yang airnya terasa asin, belum lagi dampak yang mengenai diri kita jika air hujan asin itu menyentuh kulit dan harus kita lalui untuk menuju tempat pengungsian.
Sebagai penutup, kita juga perlu khawatir. Karena banjir, masjid-masjid kita mendadak ramai pengunjung. Mirisnya, mereka bukan berbondong-bondong untuk melakukan ibadah, tapi sekedar mengungsi. Pun, ketika adzan berkumandang. Mereka malah asyik menikmati bencana, padahal rahmat Allah terbentang luas bagi siapa saja yang mau melakukan shalat berjama’ah di awal waktu.
Semoga, setelah ini, kita semakin bersemangat untuk mengurangi intensitas dosa dan maksiat yang kita lakukan. Mulai dari dosa membuang sampah sembarangan, hingga dosa mencaci maki saudara kita yang tengah melakuakn kebaikan. Termasuk di dalamnya, dosa-dosa kita kepada Allah dan sesama manusia. Baik yang kecil atau besar, yang terang-terangan atau terembunyi. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Belum lagi dengan kebiasaan buruk masyarakat kita yang suka membuang sampah di sembarang tempat. Dan ‘dosa-dosa’ lain yang kita lakukan sehingga bencana seakan akrab menyapa. Ditambah lagi dengan sarana dan prasarana yang belum bisa disediakan dengan baik oleh pemerintah. Sehingga, banjir, dan aneka bencana lainnya, seakan menjadi konsekuensi logis akan ‘maksiat’ berjama’ah yang kita lakukan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, banjir tahun ini menyapu sebagian besar wilayah di negeri ini. Mulai dari Manado, Sumatera, Kalimantan, dan sebagian besar wilayah Jawa. Dari Pekalongan Jawa tengah, Subang Jawa Barat sehingga menyebabkan jalur pantura berhenti, hingga Ibu Kota Jakarta yang dikepung bah dari berbagai penjuru. Mulai dari Kampung Pulo, Jatinegara, Tebet, Tanah Abang, dan daerah lain. Hingga saat ini, jumlah pengungsi akibat banjir ibu kota lebih dari 10 ribu orang.
Media pun ramai memberitakan. Mulai dari yang positif hingga negatif. Mulai dari yang mendukung pemimpinnya, hingga yang menyalahkan tanpa dalil. Belum lagi oknum-oknum yang ikut nyinyir mengomentari relawan hanya karena mereka memakai identitas dalam membantu korban bencana. Nampak logis, ketika yang dikritik adalah aktivis politik, namun hal ini menjadi ironi karena pihak Pemerintah dan Sars juga korban yang berada di lokasi bencana, identitas relawan menjadi sangat penting untuk diketahui agar bisa dimintai pertanggungjawaban ketika suatu ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Di sini, kita perlu bersikap bijak. Bagaimanapun, tidak ada pihak yang menghendaki bencana ini. Kita, secara akumulatif, perlu menyadari tetang diri kita sendiri. Siapa tahu, dosa kita menjadi salah satu sebab bencana yang kini melanda di seluruh negeri. Jika hal ini yang kita lakukan, maka, tak perlulah menyalahkan siapapun. Tak perlulah kita menghakimi pihak manapun. Karena mengutuk kegelapan, selamanya tak mungkin menghasilkan terang.
Yang semestinya kita lakukan adalah evaluasi diri. Agar bencana ini, tak berulang di kemudian hari. Agar tahun esok, kita mendapati kehidupan yang lebih baik dan tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.
Terkait intensitas hujan yang melanda, hal itu tak layak kita jadikan kambing hitam. Karena intensitas hujan, adalah hak prerogatif Sang Maha Kuasa, maka kita tak mungkin bisa menguranginya. Sehingga, yang paling mungkin kita lakukan adalah mengurangi intensitas ‘dosa’ dan ‘maksiat’ yang kita kerjakan. Baik terkait diri sendiri, sahabat, maupun alam yang menjadi tempat kita bermukim saat ini. Jika hal ini kita lakukan, insya Allah alam akan bersahabat. Bukankah Allah sudah mengatakan, bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut adalah buah dari perbuatan manusia?
Yang menarik, dari bencana yang melanda ini, adalah sikap dari anak-anak kecil di ibu kota. Mereka tak menganggap banjir sebagai masalah. Mereka justru menikmati, karena bisa ‘berwisata.’ Berenang gratis, main air sesuka hati juga berlari-lari di genangan air. Meskipun, jika dilihat dari kaca mata penyelenggara negara, hal ini adalah buah dari kegagalan pemerintah dalam menyediakan ruang bermain dan rekreasi yang murah bagi warganya.
Mungkin, dalam berbagai kasus, untuk mengurangi stres yang melanda, kita bisa sesekali bersikap layaknya anak-anak kecil ini. Agar banjir, menjadi sebuah peluang untuk meraup bahagia. Bisa dengan menjadi relawan, kesempatan untuk berbagi kebaikan, dan amal-amal lain yang mungkin kita lakukan. Sehingga, banjir tak akan menjadi penghalang agar kita selalu bahagia.
Terakhir, diantara banyaknya kerusakan yang terjadi, nampaknya kita perlu bersyukur. Lantaran hujan deras yang menjadi salah satu sebab banjir, diturunkan oleh Allah dalam bentuk air tawar. Bukankah, Allah sudah pernah mengingatkan, “Dan jika Kami berkehendak, niscaya kami jadikan air hujan ini terasa asin. Lantas, mengapa kalian tidak bersyukur?”
Maka, beruntunglah lantaran hujan ini tawar airnya. Andai, Allah menjadikan hujan ini asin, bencana apalagi yang akan didapatkan oleh diri kita? Dimana semua bangunan yang terdiri dari besi akan berkarat lantaran banjir yang airnya terasa asin, belum lagi dampak yang mengenai diri kita jika air hujan asin itu menyentuh kulit dan harus kita lalui untuk menuju tempat pengungsian.
Sebagai penutup, kita juga perlu khawatir. Karena banjir, masjid-masjid kita mendadak ramai pengunjung. Mirisnya, mereka bukan berbondong-bondong untuk melakukan ibadah, tapi sekedar mengungsi. Pun, ketika adzan berkumandang. Mereka malah asyik menikmati bencana, padahal rahmat Allah terbentang luas bagi siapa saja yang mau melakukan shalat berjama’ah di awal waktu.
Semoga, setelah ini, kita semakin bersemangat untuk mengurangi intensitas dosa dan maksiat yang kita lakukan. Mulai dari dosa membuang sampah sembarangan, hingga dosa mencaci maki saudara kita yang tengah melakuakn kebaikan. Termasuk di dalamnya, dosa-dosa kita kepada Allah dan sesama manusia. Baik yang kecil atau besar, yang terang-terangan atau terembunyi. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 comments:
Post a Comment