Insiden Tarakan masih menyisakan trauma. Meski tak sebesar konflik antaretnis di Sambas, Ambon, atau Sampit. Dan memang selayaknya kasus Tarakan tidak dikategorikan konflik antaretnis.
Kaca mata sosiologi memberikan kita sebuah persepsi. Bahwa ketika penduduk lokal atau penduduk asli “terkalahkan” secara ekonomi dan politik, yang terjadi adalah kecemburuan. Kecemburuan sosial membangkitkan konsolidasi. Konsolidasi yang dibangun di atas kesamaan status. Kesukuan. Dalam terminologi Islam, ashobiyah.
Berangkat dari ashobiyah, sedikit saja gesekan bisa memantik api permusuhan. Laksana korek api yang menyulut kebakaran. Mencipta kobaran yang sulit dipadamkan.
Jika yang menjadi nilai adalah materi, maka penduduk asli ataupun pendatang memiliki peluang yang sama dalam mengoyak persatuan dan kebersamaan. Jika yang dikedepankan emosi dan ambisi duniawi, penduduk asli punya satu tekad: menjadi tuan di tanah sendiri. Sementara pendatang juga punya semangat: menjadi raja di rantau. Tekad yang bisa dikelola menjadi pemicu prestasi dalam kompetisi yang sehat, tetapi lebih mudah menjelma benalu dalam pohon persatuan umat.
Namun kita memiliki warisan sejarah agung yang mengagumkan! Orang-orang Yatsrib adalah penduduk asli ketika kota itu berubah nama menjadi Madinah. Sedangkan orang-orang Makkah yang datang ke sana adalah pendatang. Yang pertama disebut anshar karena hakikatnya mereka adalah para penolong agama Ilahi, Nabi dan pengikut Sang Nabi. Yang kedua kita kenal dengan gelar muhajirin karena mereka meninggalkan negerinya demi agama tercinta; tanpa kejelasan masa depan.
Penduduk asli dan pendatang. Namun tiba-tiba keduanya menjadi saudara. Lebih dekat dari saudara kandung, lebih erat dari pertalian darah. Yang ada hanya ukhuwah. Kalaupun ada pertikaian kecil, itu hanya deburan ombak yang menjadikan perjalanan kapal di samudera semakin indah.
Muhajirin yang pendatang itu kelak –sebagiannya- menjadi orang-orang yang sejahtera. Bahkan melebihi anshar yang penduduk asli. Sebab orang Makkah memiliki keahlian bisnis, dan orang Madinah cakap dalam pertanian.
Bukan hanya aspek ekonomi. Dalam politik, muhajirin-lah yang kemudian menjadi khalifah. Semua khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali; semuanya muhajirin. Namun mereka dipilih justru setelah disepakatinya muhajirin lebih mulia; karena keimanan dan perjuangan. Bukan pertimbangan penduduk asli atau pendatang. Maka sejak awal kecemburuan sosial itu hilang.
Apa kuncinya? Sebab iman yang menjadi dasar. Iman yang menjadi imam dalam pengambilan keputusan. Juga menyetir segala logika dan perasaan. Maka interaksi anshar dan muhajirin hanya persaudaraan. Dari iman, kokohlah ukhuwah. Sebaliknya, tanpa iman, ukhuwah hanyalah tali lapuk yang mudah patah. Itu maksud yang bisa kita tangkap dari adanya adatul hashr “innamaa” pada ayat “innamal mu’minuuna ikhwah”. Dan karena iman itulah, sambutan penduduk asli kepada pendatang takkan keluar dari kalimat: uhibbukum fillah. Demikian pula sebaliknya. [Muchlisin]
Kaca mata sosiologi memberikan kita sebuah persepsi. Bahwa ketika penduduk lokal atau penduduk asli “terkalahkan” secara ekonomi dan politik, yang terjadi adalah kecemburuan. Kecemburuan sosial membangkitkan konsolidasi. Konsolidasi yang dibangun di atas kesamaan status. Kesukuan. Dalam terminologi Islam, ashobiyah.
Berangkat dari ashobiyah, sedikit saja gesekan bisa memantik api permusuhan. Laksana korek api yang menyulut kebakaran. Mencipta kobaran yang sulit dipadamkan.
Jika yang menjadi nilai adalah materi, maka penduduk asli ataupun pendatang memiliki peluang yang sama dalam mengoyak persatuan dan kebersamaan. Jika yang dikedepankan emosi dan ambisi duniawi, penduduk asli punya satu tekad: menjadi tuan di tanah sendiri. Sementara pendatang juga punya semangat: menjadi raja di rantau. Tekad yang bisa dikelola menjadi pemicu prestasi dalam kompetisi yang sehat, tetapi lebih mudah menjelma benalu dalam pohon persatuan umat.
Namun kita memiliki warisan sejarah agung yang mengagumkan! Orang-orang Yatsrib adalah penduduk asli ketika kota itu berubah nama menjadi Madinah. Sedangkan orang-orang Makkah yang datang ke sana adalah pendatang. Yang pertama disebut anshar karena hakikatnya mereka adalah para penolong agama Ilahi, Nabi dan pengikut Sang Nabi. Yang kedua kita kenal dengan gelar muhajirin karena mereka meninggalkan negerinya demi agama tercinta; tanpa kejelasan masa depan.
Penduduk asli dan pendatang. Namun tiba-tiba keduanya menjadi saudara. Lebih dekat dari saudara kandung, lebih erat dari pertalian darah. Yang ada hanya ukhuwah. Kalaupun ada pertikaian kecil, itu hanya deburan ombak yang menjadikan perjalanan kapal di samudera semakin indah.
Muhajirin yang pendatang itu kelak –sebagiannya- menjadi orang-orang yang sejahtera. Bahkan melebihi anshar yang penduduk asli. Sebab orang Makkah memiliki keahlian bisnis, dan orang Madinah cakap dalam pertanian.
Bukan hanya aspek ekonomi. Dalam politik, muhajirin-lah yang kemudian menjadi khalifah. Semua khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali; semuanya muhajirin. Namun mereka dipilih justru setelah disepakatinya muhajirin lebih mulia; karena keimanan dan perjuangan. Bukan pertimbangan penduduk asli atau pendatang. Maka sejak awal kecemburuan sosial itu hilang.
Apa kuncinya? Sebab iman yang menjadi dasar. Iman yang menjadi imam dalam pengambilan keputusan. Juga menyetir segala logika dan perasaan. Maka interaksi anshar dan muhajirin hanya persaudaraan. Dari iman, kokohlah ukhuwah. Sebaliknya, tanpa iman, ukhuwah hanyalah tali lapuk yang mudah patah. Itu maksud yang bisa kita tangkap dari adanya adatul hashr “innamaa” pada ayat “innamal mu’minuuna ikhwah”. Dan karena iman itulah, sambutan penduduk asli kepada pendatang takkan keluar dari kalimat: uhibbukum fillah. Demikian pula sebaliknya. [Muchlisin]
0 comments:
Post a Comment